Mantan Pelaku Terorisme Bagikan Strategi Cegah Paham Radikal ke Pelajar SMA di Semarang
loading...
A
A
A
SEMARANG - Pengurus Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani) membagikan strategi untuk bisa mencegah paham radikal teror kepada anak-anak SMA di Kota Semarang. Yayasan yang anggotanya para mantan pelaku tindak pidana terorisme itu mengemukakan ada perubahan pola perekrutan dari era lama di 90-an ke masa sekarang yakni melalui media sosial.
“Jadi teroris itu butuh waktu, tidak mak bedunduk (tiba-tiba muncul),” kata Hadi Masykur alias Hamas, mantan pelaku tindak pidana terorisme dalam kegiatan bertema 'Memperkuat Moderasi Beragama Menuju Generasi Handal Aset Bangsa' di Kota Semarang, Selasa (12/9/2023).
Hamas ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri pada tahun 2020, 4 hari menjelang Hari Raya Idulfitri. Tahun lalu, tepatnya 15 September dia bebas setelah menjalani pidana terorisme. Dia dulu terlibat di kelompok 'Neo' Jamaah Islamiyah (JI) pimpinan Parawijayanto. Saat penahanan dia sudah menyatakan ikrar setia NKRI. Setelah bebas, Hamas, salah satu nama sapaannya, aktif dalam berbagai kegiatan bersifat edukasi.
Dia menceritakan, mulai terpapar sekira tahun 1992, di kampungnya ada pengajian Minggu pagi oleh mahasiswa. Ketika itu dia masih kelas 2 SMP. Seiring berjalannya waktu, pengajian itu makin ekslusif hingga kerap diputarkan konflik di Bosnia dengan narasi kaum Muslim dibantai, jika pemuda tidak ambil tindakan tidak menutup kemungkinan nanti peristiwa itu juga akan terjadi di Indonesia.
Narasi itu ternyata membuatnya tergerak hingga bergabung ke kelompok eksklusif itu yang belakangan baru diketahui ternyata kelompok JI. Kelompok yang keberadaannya sudah dilarang di Indonesia dan bertanggung jawab atas sejumlah aksi pemboman di Indonesia.
“Saat saya ditahan di Rutan Cikeas, ternyata 30 persen narapidana terorisme di sana terpapar karena ‘Syaikh Google’ alias googling, jadi belajar agama tanpa guru, mereka hanya terikat jaringan internet, di Telegram atau WhastApp Grup. Berbeda dengan kami yang dulu memiliki jaringan yang konkrit,” jelasnya di depan para pelajar.
Dua pola itu, yakni pola pengajian bertemu langsung alias offline kemudian menjadi eksklusif dan pola terpapar melalui internet itu, kata Hamas, perlu menjadi kewaspadaan bersama.
“Kalau di internet menemukan yang berbau radikal, tanyakan kepada guru atau seseorang yang mengerti, jangan mudah men-share, tidak semua yang ada di media sosial, di YouTube itu betul,” lanjutnya seraya menanggapi pertanyaan dari Qori, siswi SMA N 1 Semarang, salah satu peserta yang hadir di ruangan.
“Jadi teroris itu butuh waktu, tidak mak bedunduk (tiba-tiba muncul),” kata Hadi Masykur alias Hamas, mantan pelaku tindak pidana terorisme dalam kegiatan bertema 'Memperkuat Moderasi Beragama Menuju Generasi Handal Aset Bangsa' di Kota Semarang, Selasa (12/9/2023).
Hamas ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri pada tahun 2020, 4 hari menjelang Hari Raya Idulfitri. Tahun lalu, tepatnya 15 September dia bebas setelah menjalani pidana terorisme. Dia dulu terlibat di kelompok 'Neo' Jamaah Islamiyah (JI) pimpinan Parawijayanto. Saat penahanan dia sudah menyatakan ikrar setia NKRI. Setelah bebas, Hamas, salah satu nama sapaannya, aktif dalam berbagai kegiatan bersifat edukasi.
Dia menceritakan, mulai terpapar sekira tahun 1992, di kampungnya ada pengajian Minggu pagi oleh mahasiswa. Ketika itu dia masih kelas 2 SMP. Seiring berjalannya waktu, pengajian itu makin ekslusif hingga kerap diputarkan konflik di Bosnia dengan narasi kaum Muslim dibantai, jika pemuda tidak ambil tindakan tidak menutup kemungkinan nanti peristiwa itu juga akan terjadi di Indonesia.
Narasi itu ternyata membuatnya tergerak hingga bergabung ke kelompok eksklusif itu yang belakangan baru diketahui ternyata kelompok JI. Kelompok yang keberadaannya sudah dilarang di Indonesia dan bertanggung jawab atas sejumlah aksi pemboman di Indonesia.
“Saat saya ditahan di Rutan Cikeas, ternyata 30 persen narapidana terorisme di sana terpapar karena ‘Syaikh Google’ alias googling, jadi belajar agama tanpa guru, mereka hanya terikat jaringan internet, di Telegram atau WhastApp Grup. Berbeda dengan kami yang dulu memiliki jaringan yang konkrit,” jelasnya di depan para pelajar.
Dua pola itu, yakni pola pengajian bertemu langsung alias offline kemudian menjadi eksklusif dan pola terpapar melalui internet itu, kata Hamas, perlu menjadi kewaspadaan bersama.
“Kalau di internet menemukan yang berbau radikal, tanyakan kepada guru atau seseorang yang mengerti, jangan mudah men-share, tidak semua yang ada di media sosial, di YouTube itu betul,” lanjutnya seraya menanggapi pertanyaan dari Qori, siswi SMA N 1 Semarang, salah satu peserta yang hadir di ruangan.