Mantan Pelaku Terorisme Bagikan Strategi Cegah Paham Radikal ke Pelajar SMA di Semarang

Selasa, 12 September 2023 - 14:14 WIB
loading...
Mantan Pelaku Terorisme Bagikan Strategi Cegah Paham Radikal ke Pelajar SMA di Semarang
Yayasan Persadani menggelar Dialog Kebangsaan bertema Memperkuat Moderasi Beragama Menuju Generasi Handal Aset Bangsa di Kota Semarang, Selasa (12/9/2023). Persadani adalah yayasan yang anggotanya mantan pelaku terorisme. Foto/Eka Setiawan/MPI
A A A
SEMARANG - Pengurus Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani) membagikan strategi untuk bisa mencegah paham radikal teror kepada anak-anak SMA di Kota Semarang. Yayasan yang anggotanya para mantan pelaku tindak pidana terorisme itu mengemukakan ada perubahan pola perekrutan dari era lama di 90-an ke masa sekarang yakni melalui media sosial.

“Jadi teroris itu butuh waktu, tidak mak bedunduk (tiba-tiba muncul),” kata Hadi Masykur alias Hamas, mantan pelaku tindak pidana terorisme dalam kegiatan bertema 'Memperkuat Moderasi Beragama Menuju Generasi Handal Aset Bangsa' di Kota Semarang, Selasa (12/9/2023).

Hamas ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri pada tahun 2020, 4 hari menjelang Hari Raya Idulfitri. Tahun lalu, tepatnya 15 September dia bebas setelah menjalani pidana terorisme. Dia dulu terlibat di kelompok 'Neo' Jamaah Islamiyah (JI) pimpinan Parawijayanto. Saat penahanan dia sudah menyatakan ikrar setia NKRI. Setelah bebas, Hamas, salah satu nama sapaannya, aktif dalam berbagai kegiatan bersifat edukasi.

Dia menceritakan, mulai terpapar sekira tahun 1992, di kampungnya ada pengajian Minggu pagi oleh mahasiswa. Ketika itu dia masih kelas 2 SMP. Seiring berjalannya waktu, pengajian itu makin ekslusif hingga kerap diputarkan konflik di Bosnia dengan narasi kaum Muslim dibantai, jika pemuda tidak ambil tindakan tidak menutup kemungkinan nanti peristiwa itu juga akan terjadi di Indonesia.



Narasi itu ternyata membuatnya tergerak hingga bergabung ke kelompok eksklusif itu yang belakangan baru diketahui ternyata kelompok JI. Kelompok yang keberadaannya sudah dilarang di Indonesia dan bertanggung jawab atas sejumlah aksi pemboman di Indonesia.

“Saat saya ditahan di Rutan Cikeas, ternyata 30 persen narapidana terorisme di sana terpapar karena ‘Syaikh Google’ alias googling, jadi belajar agama tanpa guru, mereka hanya terikat jaringan internet, di Telegram atau WhastApp Grup. Berbeda dengan kami yang dulu memiliki jaringan yang konkrit,” jelasnya di depan para pelajar.

Dua pola itu, yakni pola pengajian bertemu langsung alias offline kemudian menjadi eksklusif dan pola terpapar melalui internet itu, kata Hamas, perlu menjadi kewaspadaan bersama.

“Kalau di internet menemukan yang berbau radikal, tanyakan kepada guru atau seseorang yang mengerti, jangan mudah men-share, tidak semua yang ada di media sosial, di YouTube itu betul,” lanjutnya seraya menanggapi pertanyaan dari Qori, siswi SMA N 1 Semarang, salah satu peserta yang hadir di ruangan.



Selain itu, titik balik yang membuat Hamas sadar adalah rasa ‘bersalah’ kepada ibu. Sebab, ketika tergelincir bergabung kelompok JI, hampir 20 tahun mengabaikan keluarganya termasuk ibu. Saat ditangkap dan dipenjara itulah perenungan demi perenungan membuatnya mantap meninggalkan paham dan kelompok lamanya.

“Apalagi saat ditangkap, ada seorang jenderal Densus 88 mendatangi saya, saat itu mata saya ditutup, beliau berbicara ‘seorang yang sukses tidak lepas dari ibu, harus berbakti kepada ibu’,” ceritanya sembari percaya prosesnya sampai hari ini, apalagi saat ditangkap dan bebas dengan proses yang relatif lancar tidak lepas dari doa ibunya.

Dia berpesan kepada para pelajar yang hadir untuk bisa belajar mengenai hal-hal itu, agar ke depan bisa menjadi agen-agen perdamaian, menyerukan nilai-nilai toleransi dan moderasi beragama.

Sementara itu, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Semarang Ahmad Farid meminta semuanya berhati-hati sebab kerap ada provokasi dari kelompok tertentu yang menyebut “thagut” kepada pemerintah, artinya pemerintah dianggap tidak benar, melampaui batas sehingga tidak perlu diiikuti.

“Muara beragama itu ketentraman hidup. Perbedaan itu dibingkai keselarasan, jangan merasa paling benar. Di kajian-kajian tertentu memang yang dibidik usia pelajar ini, untuk disetting punya pemikiran hanya jihad jalan menuju khilafah,” bebernya yang juga narasumber pada kegiatan itu.

Pembina Yayasan Persadani sekaligus penyuluh dari Kemenag Kota Semarang Syarif Hidayatullah berharap dari pengalaman para mantan napiter itu bisa membantu pemerintah secara cepat untuk mencetak generasi muda yang moderat yang kelak menjadi para pemimpin negeri ini.

“Kegiatan ini sebagai bukti nyata bila para mantan napiter sudah pada tahap menggaungkan satu prioritas Kemenag yaitu pengoatan moderasi beragama dengan sasaran para pelajar SMA se-Kota Semarang,” katanya.

Kepala Badan Kesbangpol Kota Semarang Sapto Adi Sugihartono mengajak semuanya untuk terus mempelajari wawasan kebangsaan agar persatuan dan kesatuan tetap terjaga di Indonesia.

Pada kegiatan itu pelajar yang hadir dari SMA sederajat adalah mereka yang aktif di OSIS ataupun Rohis. Para guru pendampingnya juga ikut menjadi pesertanya.
(hri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2693 seconds (0.1#10.140)