Dibangun Dinasti Sailendra dan Ditemukan Adipati Yogyakarta Tan Jin Sing, Begini Kemegahan Candi Borobudur Hasil Pencitaraan AI
loading...
A
A
A
Di tengah danau yang tenang dan sangat luas dan penub ketenangan, susunan batu itu berdiri dengan begitu megah. Air jernih yang mengelilinginya, membuat susunan batu menjulang tinggi yang kini dikenal dengan nama Candi Borobudur itu, terlihat anggun.
Layaknya bunga teratai yang bermekaran di tengah kolam air, Candi Borobudur terlihat secantik teratai yang berselimut kabut di lembah hijau penuh kedamaian. Sejumlah biksu begitu khusyuk memanjatkan doa-doa, duduk bersila di antara susunan batu berbentuk stupa.
Citra kemegahan Candi Borobudur di masa awal berdirinya itu, mampu dihadirkan kembali oleh @ainusantara melalui sebuah karya memanfaatkan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Berbagai foto hasil AI yang menggambarkan kemegahan Candi Borobudur, disajikan akun @ainusantara di Instagram.
Belasan gambar tentang kondisi Candi Borobudur, dihadirkan akun @ainusantara, layaknya kondisi di masa lampau. Candi Borobudur berdiri megah di tengah danau purba yang luas, lengkap dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya, serta aktifitas gajah dan para biksu.
Melansir dari situs kebudayaan.kemdikbud.go.id stupa yang hingga kini masih berdiri megah di Candi Borobudur, merupakan lambang dari agama Budha yang berbentuk mangkuk terbalik, dengan bentuk persegi empat dan atau segi delapan (harmika), serta bentuk tongkat di atasnya.
Stupa pada Candi Borobudur juga sering disebut berbentuk genta atau lonceng. Pada Candi Borobudur terdapat stupa induk, yang berada di puncak candi dan memiliki ukuran paling besar, yakni berdiameter 9,9 meter, dan tinggi 7 meter. Selain stupa induk, terdapat stupa teras dan stupa-stupa kecil sebagai ornamen tubuh candi atau sering juga disebut sebagai pagar langkan.
Candi Borobudur yang terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, memiliki panjang 121,66 meter, lebar 121,38 meter, dan tinggi 35,40 meter. Bangunan candi terdiri dari sembilan teras berundak, yakni enam teras berbentuk persegi, dan tiga teras berbentuk lingkaran.
Dalam laman borobudurpark.com, disebutkan Candi Borobudur dibangun dengan gaya Mandala, yakni gambaran tentang alam semesta menurut kepercayaan Buddha. Pada Candi Borobudur ada beberapa zona, yakni Kamadhatu, Arupadhatu, dan Arupadhatu.
Pada zona Kamadhatu yang terdiri dari 160 relief, digambarkan kondisi alam dunia yang terlihat dan sedang dialami oleh manusia sekarang. Relief-relief itu menjelaskan tentang Karmawibhangga Sutra, yaitu hukum sebab akibat, serta menggambarkan mengenai sifat dan nafsu manusia, seperti merampok, membunuh, memperkosa, penyiksaan, dan fitnah.
Zona Rupadhatu terdapat 328 patung Budha serta 1.300 relief berupa Gandhawyuha, Lalitawistara, Jataka, dan Awadana. Pantung dan relief yang membentang sepanjang 2,5 km dan terdiri dari 1.212 panel tersebut, menggambarkan tentang alam peralihan, di mana manusia telah dibebaskan dari urusan dunia.
Pada zona puncat atau tertinggi, terdapat Zona Arupadhatu yang menggambarkan tentang alam tertinggi, yakni rumah Tuhan, atau surga. Pada Candi Borobudur, zona ini terdapat tiga serambi berbentuk lingkaran mengarah ke stupa paling besar. Di stupa paling besar yang ada di puncak candi, tidak terdapat hiasan apapun yang diartikan sebagai gambaran kemurnian paling tinggi.
Siapa sangka, Candi Borobudur ini ternyata ditemukan oleh Kapiten China, Tan Jin Sing, atau dikenal dengan nama Raden Luar, yang kemudian menjadi Bupati Jogjakarta, bergelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Secodiningrat. Dalam laman budaya.jogjaprov.go.id, disebutkan Tan Jin Sing sebagai pembuka jalan penemuan Candi Borobudur yang telah terkubur berabad-abad lamanya.
Menurut TS Werdoyo dalam bukunya yang berjudul "Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina Sampai Bupati Yogyakarta" disebutkan, jalan penemuan Candi Borobudur itu terbuka, saat Tan Jin Sing berkunjung ke Rumah Residen Inggris di Jogjakarta, John Crawfurd pada 3 Agustus 1812.
Dalam kunjungan itu, Tan Jin Sing ternyata juga bertemu dengan atasan John Crawfurd, yakni Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Saat bertemu Raffles, Tan Jin Sing akhirnya mengetahui Raffles memiliki ketertarikan dengan candi-candi yang ada di Jawa.
Bahkan, saat itu Raffles menyebut telah melihat Candi Prambanan, dan menyatakan ingin meneliti candi-candi yang ada di Jawa. Mendengar itu, Tan Jin Sing juga menceritakan jika salah satu mandornya pernah melihat candi besar di Desa Bumisegoro, yang lokasinya berada di dekat Muntilan.
Tak disangka, Raffles sangat tertarik dengan cerita Tan Jin Sing tentang keberadaan candi besar di Desa Bumisegoro tersebut. Raffles juga langsung meminta Tan Jin Sing untuk membuka jalan menuju lokasi candi itu.
Laman budaya.jogjaprov.go.id menyebutkan, jalan rintisan menuju Candi Borobudur tersebut, dibuka Tan Jin Sing dengan bantuan penduduk setempat bernama Paimin bersama teman-temannya. Jalan selebar 50 meter tersebut, selesai dibangun pada Desember 1813.
Kala itu, Tan Jin Sing bersama mandor pembangunan jalan bernama Rachmat, disebut sudah dapat melihat wujud Candi Borobudur. Namun, di sekitar Candi Borobudur masih rimbun dengan semak belukar, dan bagian bawahnya terkubur tanah.
Berbeda dengan Tan Jin Sing yang berhasil membuka jalan, dan melihat Candi Borobudur di awal penemuannya, Raffles justru belum sempat menyaksikan langsung kemegahan Candi Borobudur tersebut.
Meski demikan, pada Januari 1814 Raffles telah menugaskan seorang arkeolog berkebangsaan Belanda, Mayor Herman Christian Cornelius. Kala itu, Herman Christian Cornelis mengaku sangat terkesan dengan kerja-kerja yang dilakukan Tan Jin Sing. Area Candi Borobudur tersebut, baru berhasil dibersihkan seluruhnya pada tahun 1835.
Dalam buku berjudul "Babad Tanah Jawi" karya Soedjipto Abimanyu, disebutkan, Candi Borobudur dibangun pada masa Kerajaan Mataram kuno. Kerajaan ini, merupakan salah satu kerajaan tertua yang ada di Pulau Jawa.
Kerajaan Mataram kuno, awalnya lahir dan berkedudukan di Jawa Tengah, namun akhirnya memindahkan pemerintahannya ke Jawa Timur. Pemindahan pusat kerajaan tersebut, dipicu oleh bencana alam gunung meletus dan adanya peperangan.
Dalam periode Jawa Tengah, hingga Jawa Timur, dalam bukunya Soedjipto Abimanyu menyebut, terdapat sebanyak 16 raja yang berkuasa di Kerajaan Mataram kuno. Hal ini didasarkan pada Prasasti Mantyasih.
Diawali dari Sanjaya, yang merupakan pendiri Kerajaan Mataram kuno atau yang dikenal dengan Kerajaan Medang. Dilanjutkan dengan Rakai Panangkaran yang menandai awal berkuasanya Wangsa Sailendra, yakni yang mengawali pembangunan Candi Borobudur .
Kekuasaan dilanjutkan dengan Rakai Panunggalan alias Dharanindra, yang menjadi raja ketiga Mataram kuno. Pada masa Rakai Panunggalan, Kerajaan Sriwijaya berhasil ditaklukkan, bahkan perluasan wilayah kekuasaan sampai ke Kamboja, dan Campa.
Raja keempat Mataram kuno, adalah Rakai Warak alias Samaragrawira, ayah dari Balaputradewa, Raja Sriwijaya, Wirawairimathana. Berlanjut ke Rakai Garung atau Samaratungga Sri Maharaja Samaratungga.
Pada masa pemerintahan Raja Samaratungga, yang memerintah selama tahun 792-835 Masehi, Candi Borobudur berhasil diselesaikan pembangunannya. Penyelesaian pembangunan Candi Borobudur, tepatnya terjadi pada tahun 825 Masehi.
Samaratungga, tidak hanya menyelesaikan pembangunan Candi Borobudur. Dia ternyata juga membangun Candi Bhumisambhara, yang juga dikenal dengan nama Candi Jinalaya. Dalam pembangunan candi, Samaratungga, selalu mempercayakannya kepada seorang arsitek bernama Gunadharma.
Untuk membangun candi-candi tersebut, Samaratungga juga melibatkan Kumarabacya dari Gandhadwipa (Bangalore) dan Visvawarman, yang merupakan ahli ajaran Buddha Tantra Vijrayana dari Kashmir, India. Pendapat adanya kisah pendirian candi megah itu juga sejalan dengan Prasasti Kulrak yang dikeluarkan pada 784 M.
Untuk memperkuat aliansi Dinasti Sailendra dengan penguasa Sriwijaya, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari pernikahan itu memiliki seorang putra pewaris tahta Balaputradewa, dan Pramodawardhani yang menikahi dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang.
Rakai Pikatan suami Pramodawardhani menjadi raja keenam, yang menjadi awal kebangkitan Dinasti Sanjaya, dengan ditandai pembangunan Candi Prambanan. Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para Raja Mataram versi Prasasti Mantyasih. Namun nama aslinya menurut Prasasti Argapura adalah Mpu Manuku.
Raja ketujuh dari Kerajaan Medang, yakni Rakai Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Menurut Prasasti Wantil atau Prasasti Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala naik tahta jadi raja menggantikan ayahnya sang Jatiningrat, gelar Rakai Pikatan sebagai brahmana.
Rakai Watuhumalang menjadi raja kedelapan Mataram kuno. Dia naik tahta setelah terjadi perebutan kekuasaan antara Rakai Gurunwangi dan Rakai Kayuwangi, yang merupakan anak dari Rakai Pikatan.
Sementara Rakai Watukura Dyah Balitung, menjadi raja kesembilan di Medang. Ia naik tahta sepeninggal Rakai Watukura, usai berhasil menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus. Pada akhir pemerintahan Dyah Balitung, terjadi persekutuan antara Mpu Daksa denhan Rakai Gurunwangi, sesuai dengan sumber di Prasasti Taji Gunung. Di masa Dyah Balitung pula pusat kerajaan telah berpindah dari Mamratipura ke Poh Pitu, sekitar Kedu.
Raja ke-10 Mataram kuno yakni Mpu Daksa. Dia naik tahta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini, didasari pada bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung pada beberapa prasasti.
Rakai Layang Dyah Tulodong, naik tahta menjadi raja ke-11 menggantikan Mpu Daksa. Pada Prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa, terdapat tokoh Rakryan Layang, namun nama aslinya tidak terbaca. Namun identifikasi dari ciri-cirinya diketahui sosok Rakryan Layang merupakan seorang perempuan.
Diduga kuat Rakryan Layang ini merupakan anak dari Mpu Daksa, yang kemudian menikahi dengan seorang laki-laki bernama Dyah Tulodong. Ia pun mendapatkan gelar Rakai Layang, yang naik tahta menggantikan mertuanya Mpu Daksa.
Rakai Sumba Dyah Wawa menjadi raja berikutnya dari Kerajaan Mataram kuno. Ia naik tahta menjadi raja ke-12 didasari pada bukti sejarah Prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928. Namun tak banyak sumber informasi mengenai Dyah Wawa saat memerintah di Kerajaan Mataram kuno.
Raja ke-13 Mataram kuno adalah Mpu Sindok. Di masa Mpu Sindok inilah pusat ibu kota Kerajaan Mataram berpindah ke Jawa Timur. Tercatat ini merupakan pemindahan keempat setelah pemindahan dari Medang, dipindahkan oleh Rakai Pikatan ke Mamrati, berlanjut ke Poh Pitu, kemudian dikembalikan lagi ke Mataram atau Medang di masa Dyah Wawa.
Lantas Mpu Sindok akhirnya memindahkan ibu kota Kerajaan Mataram ke Jawa Timur, karena adanya dugaan bencana alam gunung meletus dan adanya peperangan. Sri Lokapala, menjadi raja ke-14 dan merupakan menantu dari Mpu Sindok.
Lokapala yang berasal dari Bali ini dinikahkan dengan anak Mpu Sindok Sri Isana Tunggawijaya. Peninggalan sejarah Sri Lokapala yakni Prasasti Gedangan pada 950 yang berisi anugerah Desa Bungur Lor, dan Desa Ansana, kepada para pendeta Buddha di Bodhinimba.
Makuthawangsawardhana menjadi raja penerus seusai Lokapala. Ia menjadi raja ke-15 di Kerajaan Mataram kuno era Jawa Timur. Sayang di masa pemerintahannya tak banyak yang diketahui secara pasti. Namanya hanya ditemukan di Prasasti Pucangan sebagai kakek dari Airlangga. Pada prasasti itu disebutkan Makuthawangsawardhana memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.
Raja terakhir Kerajaan Mataram Kuno yakni Dharmawangsa Teguh, sebagaimana terdapat di Prasasti Pucangan 1041 yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga. Airlangga sendiri menyebut dirinya merupakan anggota keluarga Dharmawangsa Teguh.
Di masa Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Mataram kuno akhirnya lenyap dari peradaban, setelah mendapatkan serangan mendadak Raja Wurawuri dari Lwaram. Raja Wurawuri merupakan sekutu dari Kerajaan Sriwijaya.
Serangan mendadak itu, dilancarkan saat Raja Dharmawangsa Teguh tengah mengadakan pesta pernikahan putrinya dengan Airlangga. Dharmawangsa Teguh tewas dalam serangan tersebut, sementara Airlangga berhasil melarikan diri dan membuat kerajaan baru bernama Kerajaan Kahuripan.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Layaknya bunga teratai yang bermekaran di tengah kolam air, Candi Borobudur terlihat secantik teratai yang berselimut kabut di lembah hijau penuh kedamaian. Sejumlah biksu begitu khusyuk memanjatkan doa-doa, duduk bersila di antara susunan batu berbentuk stupa.
Citra kemegahan Candi Borobudur di masa awal berdirinya itu, mampu dihadirkan kembali oleh @ainusantara melalui sebuah karya memanfaatkan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Berbagai foto hasil AI yang menggambarkan kemegahan Candi Borobudur, disajikan akun @ainusantara di Instagram.
Belasan gambar tentang kondisi Candi Borobudur, dihadirkan akun @ainusantara, layaknya kondisi di masa lampau. Candi Borobudur berdiri megah di tengah danau purba yang luas, lengkap dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya, serta aktifitas gajah dan para biksu.
Melansir dari situs kebudayaan.kemdikbud.go.id stupa yang hingga kini masih berdiri megah di Candi Borobudur, merupakan lambang dari agama Budha yang berbentuk mangkuk terbalik, dengan bentuk persegi empat dan atau segi delapan (harmika), serta bentuk tongkat di atasnya.
Stupa pada Candi Borobudur juga sering disebut berbentuk genta atau lonceng. Pada Candi Borobudur terdapat stupa induk, yang berada di puncak candi dan memiliki ukuran paling besar, yakni berdiameter 9,9 meter, dan tinggi 7 meter. Selain stupa induk, terdapat stupa teras dan stupa-stupa kecil sebagai ornamen tubuh candi atau sering juga disebut sebagai pagar langkan.
Candi Borobudur yang terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, memiliki panjang 121,66 meter, lebar 121,38 meter, dan tinggi 35,40 meter. Bangunan candi terdiri dari sembilan teras berundak, yakni enam teras berbentuk persegi, dan tiga teras berbentuk lingkaran.
Dalam laman borobudurpark.com, disebutkan Candi Borobudur dibangun dengan gaya Mandala, yakni gambaran tentang alam semesta menurut kepercayaan Buddha. Pada Candi Borobudur ada beberapa zona, yakni Kamadhatu, Arupadhatu, dan Arupadhatu.
Pada zona Kamadhatu yang terdiri dari 160 relief, digambarkan kondisi alam dunia yang terlihat dan sedang dialami oleh manusia sekarang. Relief-relief itu menjelaskan tentang Karmawibhangga Sutra, yaitu hukum sebab akibat, serta menggambarkan mengenai sifat dan nafsu manusia, seperti merampok, membunuh, memperkosa, penyiksaan, dan fitnah.
Baca Juga
Zona Rupadhatu terdapat 328 patung Budha serta 1.300 relief berupa Gandhawyuha, Lalitawistara, Jataka, dan Awadana. Pantung dan relief yang membentang sepanjang 2,5 km dan terdiri dari 1.212 panel tersebut, menggambarkan tentang alam peralihan, di mana manusia telah dibebaskan dari urusan dunia.
Pada zona puncat atau tertinggi, terdapat Zona Arupadhatu yang menggambarkan tentang alam tertinggi, yakni rumah Tuhan, atau surga. Pada Candi Borobudur, zona ini terdapat tiga serambi berbentuk lingkaran mengarah ke stupa paling besar. Di stupa paling besar yang ada di puncak candi, tidak terdapat hiasan apapun yang diartikan sebagai gambaran kemurnian paling tinggi.
Siapa sangka, Candi Borobudur ini ternyata ditemukan oleh Kapiten China, Tan Jin Sing, atau dikenal dengan nama Raden Luar, yang kemudian menjadi Bupati Jogjakarta, bergelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Secodiningrat. Dalam laman budaya.jogjaprov.go.id, disebutkan Tan Jin Sing sebagai pembuka jalan penemuan Candi Borobudur yang telah terkubur berabad-abad lamanya.
Menurut TS Werdoyo dalam bukunya yang berjudul "Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina Sampai Bupati Yogyakarta" disebutkan, jalan penemuan Candi Borobudur itu terbuka, saat Tan Jin Sing berkunjung ke Rumah Residen Inggris di Jogjakarta, John Crawfurd pada 3 Agustus 1812.
Dalam kunjungan itu, Tan Jin Sing ternyata juga bertemu dengan atasan John Crawfurd, yakni Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Saat bertemu Raffles, Tan Jin Sing akhirnya mengetahui Raffles memiliki ketertarikan dengan candi-candi yang ada di Jawa.
Bahkan, saat itu Raffles menyebut telah melihat Candi Prambanan, dan menyatakan ingin meneliti candi-candi yang ada di Jawa. Mendengar itu, Tan Jin Sing juga menceritakan jika salah satu mandornya pernah melihat candi besar di Desa Bumisegoro, yang lokasinya berada di dekat Muntilan.
Baca Juga
Tak disangka, Raffles sangat tertarik dengan cerita Tan Jin Sing tentang keberadaan candi besar di Desa Bumisegoro tersebut. Raffles juga langsung meminta Tan Jin Sing untuk membuka jalan menuju lokasi candi itu.
Laman budaya.jogjaprov.go.id menyebutkan, jalan rintisan menuju Candi Borobudur tersebut, dibuka Tan Jin Sing dengan bantuan penduduk setempat bernama Paimin bersama teman-temannya. Jalan selebar 50 meter tersebut, selesai dibangun pada Desember 1813.
Kala itu, Tan Jin Sing bersama mandor pembangunan jalan bernama Rachmat, disebut sudah dapat melihat wujud Candi Borobudur. Namun, di sekitar Candi Borobudur masih rimbun dengan semak belukar, dan bagian bawahnya terkubur tanah.
Berbeda dengan Tan Jin Sing yang berhasil membuka jalan, dan melihat Candi Borobudur di awal penemuannya, Raffles justru belum sempat menyaksikan langsung kemegahan Candi Borobudur tersebut.
Meski demikan, pada Januari 1814 Raffles telah menugaskan seorang arkeolog berkebangsaan Belanda, Mayor Herman Christian Cornelius. Kala itu, Herman Christian Cornelis mengaku sangat terkesan dengan kerja-kerja yang dilakukan Tan Jin Sing. Area Candi Borobudur tersebut, baru berhasil dibersihkan seluruhnya pada tahun 1835.
Dalam buku berjudul "Babad Tanah Jawi" karya Soedjipto Abimanyu, disebutkan, Candi Borobudur dibangun pada masa Kerajaan Mataram kuno. Kerajaan ini, merupakan salah satu kerajaan tertua yang ada di Pulau Jawa.
Kerajaan Mataram kuno, awalnya lahir dan berkedudukan di Jawa Tengah, namun akhirnya memindahkan pemerintahannya ke Jawa Timur. Pemindahan pusat kerajaan tersebut, dipicu oleh bencana alam gunung meletus dan adanya peperangan.
Dalam periode Jawa Tengah, hingga Jawa Timur, dalam bukunya Soedjipto Abimanyu menyebut, terdapat sebanyak 16 raja yang berkuasa di Kerajaan Mataram kuno. Hal ini didasarkan pada Prasasti Mantyasih.
Diawali dari Sanjaya, yang merupakan pendiri Kerajaan Mataram kuno atau yang dikenal dengan Kerajaan Medang. Dilanjutkan dengan Rakai Panangkaran yang menandai awal berkuasanya Wangsa Sailendra, yakni yang mengawali pembangunan Candi Borobudur .
Kekuasaan dilanjutkan dengan Rakai Panunggalan alias Dharanindra, yang menjadi raja ketiga Mataram kuno. Pada masa Rakai Panunggalan, Kerajaan Sriwijaya berhasil ditaklukkan, bahkan perluasan wilayah kekuasaan sampai ke Kamboja, dan Campa.
Raja keempat Mataram kuno, adalah Rakai Warak alias Samaragrawira, ayah dari Balaputradewa, Raja Sriwijaya, Wirawairimathana. Berlanjut ke Rakai Garung atau Samaratungga Sri Maharaja Samaratungga.
Pada masa pemerintahan Raja Samaratungga, yang memerintah selama tahun 792-835 Masehi, Candi Borobudur berhasil diselesaikan pembangunannya. Penyelesaian pembangunan Candi Borobudur, tepatnya terjadi pada tahun 825 Masehi.
Samaratungga, tidak hanya menyelesaikan pembangunan Candi Borobudur. Dia ternyata juga membangun Candi Bhumisambhara, yang juga dikenal dengan nama Candi Jinalaya. Dalam pembangunan candi, Samaratungga, selalu mempercayakannya kepada seorang arsitek bernama Gunadharma.
Untuk membangun candi-candi tersebut, Samaratungga juga melibatkan Kumarabacya dari Gandhadwipa (Bangalore) dan Visvawarman, yang merupakan ahli ajaran Buddha Tantra Vijrayana dari Kashmir, India. Pendapat adanya kisah pendirian candi megah itu juga sejalan dengan Prasasti Kulrak yang dikeluarkan pada 784 M.
Untuk memperkuat aliansi Dinasti Sailendra dengan penguasa Sriwijaya, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari pernikahan itu memiliki seorang putra pewaris tahta Balaputradewa, dan Pramodawardhani yang menikahi dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang.
Rakai Pikatan suami Pramodawardhani menjadi raja keenam, yang menjadi awal kebangkitan Dinasti Sanjaya, dengan ditandai pembangunan Candi Prambanan. Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para Raja Mataram versi Prasasti Mantyasih. Namun nama aslinya menurut Prasasti Argapura adalah Mpu Manuku.
Raja ketujuh dari Kerajaan Medang, yakni Rakai Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Menurut Prasasti Wantil atau Prasasti Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala naik tahta jadi raja menggantikan ayahnya sang Jatiningrat, gelar Rakai Pikatan sebagai brahmana.
Rakai Watuhumalang menjadi raja kedelapan Mataram kuno. Dia naik tahta setelah terjadi perebutan kekuasaan antara Rakai Gurunwangi dan Rakai Kayuwangi, yang merupakan anak dari Rakai Pikatan.
Baca Juga
Sementara Rakai Watukura Dyah Balitung, menjadi raja kesembilan di Medang. Ia naik tahta sepeninggal Rakai Watukura, usai berhasil menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus. Pada akhir pemerintahan Dyah Balitung, terjadi persekutuan antara Mpu Daksa denhan Rakai Gurunwangi, sesuai dengan sumber di Prasasti Taji Gunung. Di masa Dyah Balitung pula pusat kerajaan telah berpindah dari Mamratipura ke Poh Pitu, sekitar Kedu.
Raja ke-10 Mataram kuno yakni Mpu Daksa. Dia naik tahta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini, didasari pada bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung pada beberapa prasasti.
Rakai Layang Dyah Tulodong, naik tahta menjadi raja ke-11 menggantikan Mpu Daksa. Pada Prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa, terdapat tokoh Rakryan Layang, namun nama aslinya tidak terbaca. Namun identifikasi dari ciri-cirinya diketahui sosok Rakryan Layang merupakan seorang perempuan.
Diduga kuat Rakryan Layang ini merupakan anak dari Mpu Daksa, yang kemudian menikahi dengan seorang laki-laki bernama Dyah Tulodong. Ia pun mendapatkan gelar Rakai Layang, yang naik tahta menggantikan mertuanya Mpu Daksa.
Rakai Sumba Dyah Wawa menjadi raja berikutnya dari Kerajaan Mataram kuno. Ia naik tahta menjadi raja ke-12 didasari pada bukti sejarah Prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928. Namun tak banyak sumber informasi mengenai Dyah Wawa saat memerintah di Kerajaan Mataram kuno.
Raja ke-13 Mataram kuno adalah Mpu Sindok. Di masa Mpu Sindok inilah pusat ibu kota Kerajaan Mataram berpindah ke Jawa Timur. Tercatat ini merupakan pemindahan keempat setelah pemindahan dari Medang, dipindahkan oleh Rakai Pikatan ke Mamrati, berlanjut ke Poh Pitu, kemudian dikembalikan lagi ke Mataram atau Medang di masa Dyah Wawa.
Baca Juga
Lantas Mpu Sindok akhirnya memindahkan ibu kota Kerajaan Mataram ke Jawa Timur, karena adanya dugaan bencana alam gunung meletus dan adanya peperangan. Sri Lokapala, menjadi raja ke-14 dan merupakan menantu dari Mpu Sindok.
Lokapala yang berasal dari Bali ini dinikahkan dengan anak Mpu Sindok Sri Isana Tunggawijaya. Peninggalan sejarah Sri Lokapala yakni Prasasti Gedangan pada 950 yang berisi anugerah Desa Bungur Lor, dan Desa Ansana, kepada para pendeta Buddha di Bodhinimba.
Makuthawangsawardhana menjadi raja penerus seusai Lokapala. Ia menjadi raja ke-15 di Kerajaan Mataram kuno era Jawa Timur. Sayang di masa pemerintahannya tak banyak yang diketahui secara pasti. Namanya hanya ditemukan di Prasasti Pucangan sebagai kakek dari Airlangga. Pada prasasti itu disebutkan Makuthawangsawardhana memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.
Raja terakhir Kerajaan Mataram Kuno yakni Dharmawangsa Teguh, sebagaimana terdapat di Prasasti Pucangan 1041 yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga. Airlangga sendiri menyebut dirinya merupakan anggota keluarga Dharmawangsa Teguh.
Di masa Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Mataram kuno akhirnya lenyap dari peradaban, setelah mendapatkan serangan mendadak Raja Wurawuri dari Lwaram. Raja Wurawuri merupakan sekutu dari Kerajaan Sriwijaya.
Serangan mendadak itu, dilancarkan saat Raja Dharmawangsa Teguh tengah mengadakan pesta pernikahan putrinya dengan Airlangga. Dharmawangsa Teguh tewas dalam serangan tersebut, sementara Airlangga berhasil melarikan diri dan membuat kerajaan baru bernama Kerajaan Kahuripan.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(eyt)