Kewajiban Bawa Hasil Rapid Test saat Naik Angkutan Umum Akan Digugat
Selasa, 23 Juni 2020 - 12:12 WIB
SURABAYA - Guna menekan penyebaran COVID-19, pemerintah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Gugus Tugas Nomor 7 tahun 2020 tentang kriteria dan persyaratan perjalanan orang dalam masa adaptasi kebiasaan baru menuju masyarakat produktif dan aman Corona Virus Disease (COVID-19). SE itu mengatur tentang kriteria dan persyaratan bagi individu untuk bepergian.
Di mana kriteria yang harus dipenuhi bagi semua orang yang akan bepergian adalah wajib mengenakan masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Kemudian, terkait persyaratan yang harus dipenuhi individu untuk dapat bepergian di antaranya, wajib menunjukkan identitas KTP atau tanda pengenal lainnya yang sah, menunjukkan surat keterangan uji tes PCR dengan hasil negatif yang berlaku 7 hari atau surat keterangan uji rapid test dengan hasil nonreaktif yang berlaku 3 hari.
Pengacara asal Surabaya, M Sholeh mengatakan, aturan wajib membawa hasil rapid test sangat memberatkan. Selain ribet, juga memakan biaya yang tidak murah. Untuk sekali rapid test, setidaknya masyarakat harus merogoh kocek minimal Rp300.000 hingga Rp400.000. Beberapa pekan lalu, dirinya sempat rapid test dan mengeluarkan biaya Rp300.000.
“Saya waktu itu mau berangkat ke Jakarta dan harus rapid test dulu. Karena sebelum naik pesawat, setiap penumpang harus membawa hasil rapid test,” katanya dalam sebuah channel berbagi video miliknya yang diunggah pada 22 Juni 2020.
Pria yang sempat maju sebagai calon Wali Kota Surabaya dari jalur Independen ini menilai, kewajiban membawa hasil rapid test bagi masyarakat yang akan memanfaatkan angkutan umum juga tidak adil. Dia menceritakan, beberapa waktu lalu dia sempat melakukan rapid test. Di sebelahnya ada keluarga yang terdiri dari tiga orang juga melakukan rapid test. Biaya per rapid test sekitar Rp350.000. Jika dikalikan tiga orang maka biaya total yang harus dikeluarkan sebesar Rp1.050.000.
“Keluarga ini mau pulang ke NTT (Nusa Tenggara Timur). Mereka naik kapal yang tiketnya hanya Rp312.000. Ini aneh, biaya rapid test lebih mahal daripada biaya naik kapal. Kalau orang yang mau ke NTT ini banyak duit, mereka tidak akan naik kapal. Apakah pemerintah tidak memikirkan bahwa biaya rapid test lebih mahal daripada naik angkutan kapal,” keluh Sholeh.
Sholeh menyatakan, selain biaya mahal, melakukan rapid test juga ribet. Bagaimana tidak, ketika orang itu rapid test sekitar pukul 10.00 WIB, hasilnya baru bisa diketahui pada pukul 18.00 WIB. Sehingga, orang akan bepergian tidak bisa berangkat pada hari itu juga. Parahnya lagi, meski hasil rapid test reaktif, tidak otomatis orang tersebut terinfeksi COVID-19. Bisa jadi karena ada virus lain selain virus corona. “Apa jaminan kalau sudah non reaktif hasil rapid test tidak kena virus corona. Padahal kalau kena virus lain pasti reaktif,” terangnya.
Seharusnya, kata dia, untuk memastikan orang itu sehat atau tidak, hanya perlu memasang alat pendeteksi suhu tubuh maupun thermal gun. Ini biayanya jauh lebih murah dan tidak ribet. Sebab, ada beberapa tempat publik misalnya, meski sudah ada hasil non reaktif rapid test, tidak diperkenankan masuk ketika suhu tubuhnya diatas 37 derajat.
“Kenapa tidak mengambil simpelnya saja. Pemerintah mewajibkan semua yang masuk fasilitas umum wajib tes suhu. Jadi tidak usah rapid test. Jadi ini ada apa sebenarnya. Ini banyak warga yang dirugikan karena kewajiban rapid test,” tandasnya.(Baca juga : IDI Melihat Banyak Kabar Hoax di Tengah Pandemi COVID-19 )
Anehnya, pada 19 Juni 2020 lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menerbitkan protokol pencegahan penularan virus COVID-19 di berbagai fasilitas umum. Mulai dari pasar, pelabuhan, tempat wisata, tempat olahraga, hingga rumah ibadah.Protokol pencegahan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020 tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum.
“Dalam aturan Kemenkes ini tidak ada kewajiban membawa hasil rapid test ketika masuk ke fasilitas umum. Kenapa gugus tugas mewajibkan rapid test. Ini ada apa. Kenapa kebijakan instansi yang satu dengan yang lain berbeda. Jadi jangan salahkan kalau saya bergerak untuk menggugat surat edaran (Gugus Tugas) itu,” pungkas Sholeh.
Di mana kriteria yang harus dipenuhi bagi semua orang yang akan bepergian adalah wajib mengenakan masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Kemudian, terkait persyaratan yang harus dipenuhi individu untuk dapat bepergian di antaranya, wajib menunjukkan identitas KTP atau tanda pengenal lainnya yang sah, menunjukkan surat keterangan uji tes PCR dengan hasil negatif yang berlaku 7 hari atau surat keterangan uji rapid test dengan hasil nonreaktif yang berlaku 3 hari.
Pengacara asal Surabaya, M Sholeh mengatakan, aturan wajib membawa hasil rapid test sangat memberatkan. Selain ribet, juga memakan biaya yang tidak murah. Untuk sekali rapid test, setidaknya masyarakat harus merogoh kocek minimal Rp300.000 hingga Rp400.000. Beberapa pekan lalu, dirinya sempat rapid test dan mengeluarkan biaya Rp300.000.
“Saya waktu itu mau berangkat ke Jakarta dan harus rapid test dulu. Karena sebelum naik pesawat, setiap penumpang harus membawa hasil rapid test,” katanya dalam sebuah channel berbagi video miliknya yang diunggah pada 22 Juni 2020.
Pria yang sempat maju sebagai calon Wali Kota Surabaya dari jalur Independen ini menilai, kewajiban membawa hasil rapid test bagi masyarakat yang akan memanfaatkan angkutan umum juga tidak adil. Dia menceritakan, beberapa waktu lalu dia sempat melakukan rapid test. Di sebelahnya ada keluarga yang terdiri dari tiga orang juga melakukan rapid test. Biaya per rapid test sekitar Rp350.000. Jika dikalikan tiga orang maka biaya total yang harus dikeluarkan sebesar Rp1.050.000.
“Keluarga ini mau pulang ke NTT (Nusa Tenggara Timur). Mereka naik kapal yang tiketnya hanya Rp312.000. Ini aneh, biaya rapid test lebih mahal daripada biaya naik kapal. Kalau orang yang mau ke NTT ini banyak duit, mereka tidak akan naik kapal. Apakah pemerintah tidak memikirkan bahwa biaya rapid test lebih mahal daripada naik angkutan kapal,” keluh Sholeh.
Sholeh menyatakan, selain biaya mahal, melakukan rapid test juga ribet. Bagaimana tidak, ketika orang itu rapid test sekitar pukul 10.00 WIB, hasilnya baru bisa diketahui pada pukul 18.00 WIB. Sehingga, orang akan bepergian tidak bisa berangkat pada hari itu juga. Parahnya lagi, meski hasil rapid test reaktif, tidak otomatis orang tersebut terinfeksi COVID-19. Bisa jadi karena ada virus lain selain virus corona. “Apa jaminan kalau sudah non reaktif hasil rapid test tidak kena virus corona. Padahal kalau kena virus lain pasti reaktif,” terangnya.
Seharusnya, kata dia, untuk memastikan orang itu sehat atau tidak, hanya perlu memasang alat pendeteksi suhu tubuh maupun thermal gun. Ini biayanya jauh lebih murah dan tidak ribet. Sebab, ada beberapa tempat publik misalnya, meski sudah ada hasil non reaktif rapid test, tidak diperkenankan masuk ketika suhu tubuhnya diatas 37 derajat.
“Kenapa tidak mengambil simpelnya saja. Pemerintah mewajibkan semua yang masuk fasilitas umum wajib tes suhu. Jadi tidak usah rapid test. Jadi ini ada apa sebenarnya. Ini banyak warga yang dirugikan karena kewajiban rapid test,” tandasnya.(Baca juga : IDI Melihat Banyak Kabar Hoax di Tengah Pandemi COVID-19 )
Anehnya, pada 19 Juni 2020 lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menerbitkan protokol pencegahan penularan virus COVID-19 di berbagai fasilitas umum. Mulai dari pasar, pelabuhan, tempat wisata, tempat olahraga, hingga rumah ibadah.Protokol pencegahan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020 tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum.
“Dalam aturan Kemenkes ini tidak ada kewajiban membawa hasil rapid test ketika masuk ke fasilitas umum. Kenapa gugus tugas mewajibkan rapid test. Ini ada apa. Kenapa kebijakan instansi yang satu dengan yang lain berbeda. Jadi jangan salahkan kalau saya bergerak untuk menggugat surat edaran (Gugus Tugas) itu,” pungkas Sholeh.
(nun)
tulis komentar anda