Kisah Syodanco Soeprijadi, Sebelum Lenyap Sempat Sembunyi di Rumah Mbah Syiroj Blitar

Minggu, 02 Mei 2021 - 05:09 WIB
Terlihat pohon sawo kecik tua yang rindang. Dahan dan daunnya yang lebat meneduhi halaman rumah. Terlihat rumah lain di samping kiri kanan masjid, yang juga masih kerabat. Dalam urutan trah keluarga besar, Nuh yang berstatus cucu merupakan generasi kelima. Di sebelah rumah Mbah Syiroj, Nuh yang juga mursyid tarekat naqsabandiyah itu bertempat tinggal.

"Ayah saya salah satu dari putra Mbah Syiroj," tutur Nuh menceritakan. Rumah Mbah Syiroj bagi Nuh adalah rumah keluarga besar. Sampai hari ini bentuknya dipertahankan. Begitu juga dengan ruangan-ruangannya. Di antara yang lain, ruangan tempat Soeprijadi pernah mengaso itu, berada paling selatan. Berukuran paling besar dengan bentuk memanjang. Lebar ruangan sekitar dua meter dengan panjang kurang lebih 10 meter.

"Mbah (Mbah Syiroj) nyebutnya kamar gajah ngising (gajah berak). Saya sampai sekarang gak tau kenapa dinamakan begitu," kata Nuh. Hanya hitungan beberapa jam usai pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar meletus (14 Agustus 1945), Syodanco Soeprijadi datang. Soeprijadi yang lahir 13 April 1923 di Trenggalek Jawa Timur itu adalah putra Darmadi, Bupati Blitar.



Makam Kiai Abdullah Syiroj pahlawan perintis kemerdekaan di belakang masjid Baitul Yaqin, Desa Krenceng, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Foto/SINDOnews/Solichan Arif

Pemberontakan yang berlangsung malam hari di markas PETA di Kota Blitar itu gagal. Kehabisan amunisi serta keroposnya koordinasi antar pasukan konon penyebab gagalnya pemberontakan. Mendiang nenek Nuh pernah cerita, rombongan Soeprijadi datang menjelang dini hari. Komandan tempur itu diikuti sekitar 40 orang pengikutnya.

Semuanya berseragam tentara, lengkap dengan senjata. "Oleh Mbah Syiroj semuanya diminta bergegas masuk ke dalam rumah," kata Nuh menirukan apa yang pernah diceritakan neneknya. Begitu tahu mereka baru saja memberontak, atas saran Mbah Syiroj, semua diminta melepas seragam tentara PETAnya. Termasuk Soeprijadi.

Saat itu juga para pemberontak Jepang tersebut bersalin baju biasa yang diperoleh dari warga sekitar. "Katanya, seragam tentara PETA itu kemudian dikubur di bawah salah satu ruangan rumah ini," terang Nuh. Di ruangan "Gajah Ngising" itu, Soeprijadi dan Mbah Syiroj sempat berbicara empat mata. Keduanya sama sama duduk bersila, berhadap hadapan.

Jauh sebelum memberontak, konon Soeprijadi banyak belajar soal ilmu kanuragan dari Mbah Syiroj. Dan di ruangan "Gajah Ngising" itu tidak ada yang tahu apa yang dipercakapkan mereka berdua. "Nenek juga tidak tahu apa yang dibicarakan," kata Nuh. Sejurus kemudian Soeprijadi merebahkan badan. Ia mengaso, dan sebelum terjaga sempat pulas barang 1-2 jam.

Sementara di dapur, Siti Fatimah yang dibantu warga sekitar sedang memasak makanan. Di salah kursi kayu di dapur, Soeprijadi yang sudah terjaga, kata Nuh sempat duduk. Posisinya menyandar dengan kedua tangan mendaplang. Tidak jauh dari kakinya, bedil pasukannya didirikan dengan posisi berjajar.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content