KPAI: Pandemi Picu Potensi Meningkatnya Kasus Anak Putus Sekolah
Rabu, 17 Februari 2021 - 11:16 WIB
“Meskipun DKI Jakarta masuk pengaduan terbanyak, namun Dinas Pendidikan DKI Jakarta sangat kooperatif dalam upaya menyelesaikan dan memiliki program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan KJP Plus bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, sehingga memudahkan penyelesaian,” tutur Retno.
Faktor kedua, kata Retno, potensi meningkatnya angka putus sekolah karena siswa menikah atau bekerja. Selama pandemi COVID-19 dan kebijakan penutupan sekolah serta pemberlakuan belajar dari rumah atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi salah satu pemicunya.
"Siswa memilih menikah dini atau bekerja membantu ekonomi keluarga karena orang tua kehilangan pekerjaan. Ketika anak menikah atau bekerja, otomatis berhenti sekolah," ucapnya.
Saat KPAI melakukan pengawasan penyiapan buka sekolah di masa pandemi di delapan provinsi di Pulau Jawa ditambah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bengkulu, ternyata beberapa kepala sekolah menyampaikan bahwa ada peserta didik putus sekolah.
Menurut Retno, ada beberapa faktor penyebab. Misalnya, siswa tidak memiliki alat daring. Kalaupun punya tidak mampu membeli kuota internet. Sehingga anak-anak tersebut selama berbulan-bulan tidak bisa mengikuti PJJ. Akhirnya ada yang memutuskan bekerja dan menikah.
“Dari temuan KPAI, ada 119 peserta didik yang menikah, laki-laki maupun perempuan, yang usianya beriksar 15-18 tahun,” ujar Retno.
Pihak sekolah mengetahui siswanya menikah atau bekerja dari kunjungan ke rumah orang tua peserta didik, berawal dari tidak munculnya anak-anak tersebut saat PJJ berlangsung dan tidak pernah lagi mengumpulkan tugas.
Saat didatangi wali kelas dan guru bimbingan konseling, sekolah baru mengetahui bahwa siswa yang bersangkutan mau menikah atau sudah menikah, dan atau sudah bekerja.
Baca juga: Sepakat Berantas Buzzer Hoax, Farhan Sebut Sudah Waktunya UU ITE Direvisi
“Ada kisah inspiratif di Kabupaten Bima dan Lombok Barat, pihak sekolah berhasil membujuk siswa dan orang tua untuk melanjutkan pendidikan yang tinggal beberapa bulan lagi ujian kelulusan. Usaha para guru tersebut patut di apresiasi,” kata Retno.
Faktor kedua, kata Retno, potensi meningkatnya angka putus sekolah karena siswa menikah atau bekerja. Selama pandemi COVID-19 dan kebijakan penutupan sekolah serta pemberlakuan belajar dari rumah atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi salah satu pemicunya.
"Siswa memilih menikah dini atau bekerja membantu ekonomi keluarga karena orang tua kehilangan pekerjaan. Ketika anak menikah atau bekerja, otomatis berhenti sekolah," ucapnya.
Saat KPAI melakukan pengawasan penyiapan buka sekolah di masa pandemi di delapan provinsi di Pulau Jawa ditambah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bengkulu, ternyata beberapa kepala sekolah menyampaikan bahwa ada peserta didik putus sekolah.
Menurut Retno, ada beberapa faktor penyebab. Misalnya, siswa tidak memiliki alat daring. Kalaupun punya tidak mampu membeli kuota internet. Sehingga anak-anak tersebut selama berbulan-bulan tidak bisa mengikuti PJJ. Akhirnya ada yang memutuskan bekerja dan menikah.
“Dari temuan KPAI, ada 119 peserta didik yang menikah, laki-laki maupun perempuan, yang usianya beriksar 15-18 tahun,” ujar Retno.
Pihak sekolah mengetahui siswanya menikah atau bekerja dari kunjungan ke rumah orang tua peserta didik, berawal dari tidak munculnya anak-anak tersebut saat PJJ berlangsung dan tidak pernah lagi mengumpulkan tugas.
Saat didatangi wali kelas dan guru bimbingan konseling, sekolah baru mengetahui bahwa siswa yang bersangkutan mau menikah atau sudah menikah, dan atau sudah bekerja.
Baca juga: Sepakat Berantas Buzzer Hoax, Farhan Sebut Sudah Waktunya UU ITE Direvisi
“Ada kisah inspiratif di Kabupaten Bima dan Lombok Barat, pihak sekolah berhasil membujuk siswa dan orang tua untuk melanjutkan pendidikan yang tinggal beberapa bulan lagi ujian kelulusan. Usaha para guru tersebut patut di apresiasi,” kata Retno.
tulis komentar anda