Motang Rua, Pahlawan Kebanggaan Orang Manggarai

Jum'at, 17 April 2020 - 05:15 WIB
Dari catatan pula, disebutkan bahwa Belanda tak berminat untuk mendirikan pusat administrasi di Todo-Pongkor karena kurang strategis. Belanda menemukan tempat yang cocok, yaitu di Puni, Ruteng. Belanda juga berhasil membujuk penguasa Todo-Pongkor agar memindahkan ibukota kerajaan ke Puni, Ruteng.

Awal konflik dimulai ketika Belanda hendak membangun kantor administrasi pada Maret 1908. Dalam agendanya, Belanda ingin meresmikan pemerintahan administratif daerah jajahan Manggarai pada 31 Juli 1909, bertepatan dengan Hari Raya Kerajaan Belanda. Demi tujuan itu, Belanda mulai memerintah masyarakat di tiap kampung untuk membawa material berupa balok/kaso dan alang-alang ke Puni.

Sementara itu, kerajaan sebelumnya telah menunjuk kepala kampung sebagai yang bertanggung jawab terhadap kampung dalam segala urusan dengan kerajaan. Kehadiran Belanda dan segala titahnya dirasa merusak sistem pemerintahan kerajaan, kesepakatan, dan harga diri.



Motang Rua, lelaki kelahiran Kampung Beokina, Desa Golo Langkok, Kecamatan Rahong Utara yang dipercaya sebagai kepala kampung kala itu bereaksi keras. Ia tidak mau menerima perintah Belanda begitu saja. Motang Rua menolak perintah Belanda karena dinilainya melanggar kesepakatan dan menginjak martabat masyarakat setempat.

Tidak hanya sebatas menolak, Motang Rua pun segera melakukan konsolidasi ke semua kampung dan dalu (level kecamatan) untuk membentuk kekuatan melawan kesewenangan Belanda. Keluarga, kerabat di kampung tetangga dan puluhan dalu berhasil digalang Motang Rua sehingga menjadi satu kekuatan besar.

Kekuatan rakyat di bawah komando Motang Rua lalu mendirikan Benteng Kuwu. Dari sini mereka melakukan aksi berupa memboikot warga lain yang membawa material untuk pembangunan kantor pemerintahan sipil Belanda. Pada kesempatan lain, anak buah Motang Rua mengirim alang-alang, ijuk, dan balok yang sudah dipotong-potong.

Aksi ini membuat Belanda kaget dan marah, lalu mengirim utusan untuk mengingatkan Motang Rua. Alih-alih pesan Belanda diterima, utusan malah dibunuh Motang Rua.

Merasa makin terancam, pada 31 Juli 1909, Belanda memerintahkan agar Motang Rua menghadap Belanda. Perintah ini dijawab tegas oleh Motang Rua dan pengikutnya. “Kami tidak akan tunduk kepada Belanda. Kami tidak ikhlas tanah kami serahkan kepada kulit putih”.

Pendekatan persuasif gagal. Belanda kemudian mengirim pasukan bersenjata sebanyak 12 orang untuk mengepung Beo Kina, tempat tinggal Motang Rua. Ekspedisi ini sudah diantisipasi oleh Motang Rua. Pasukan bersenjata dihadang pasukan Motang Rua di Ngalor Sua (kali) sebelum Beo Kina. Sebanyak 10 serdadu utusan Belanda tewas disergap pasukan Motang Rua. Senjata mereka lalu diambil. Sementara itu, 2 orang serdadu lari dan sembunyi di jurang.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More