IDI Makassar Usulkan Pilkada Serentak Ditunda hingga Kasus COVID Melandai
Senin, 21 September 2020 - 07:13 WIB
MAKASSAR - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Makassar mengusulkan agar pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 ditunda, termasuk di Sulsel. Pesta demokrasi ini diharapkan bisa kembali digelar jika COVID-19 sudah menunjukkan penurunan kasus signifikan. Baca : KPU Tak Bisa Putuskan Sendirian Terkait Penundaan Pilkada 2020
Humas IDI Makassar, dr Wachyudi Muchsin mengaku jika sejak awal COVID-19 mulai mewabah, pihaknya sudah memberi masukan agar Pilkada serentak 2020 diundur. Kemunculan klaster baru COVID-19 berpotensi terjadi jika protokol kesehatan terus diabaikan.
"Awal September IDI Makassar kembali memberi peringatan keras kepada para calon kepala daerah, KPU serta Bawaslu untuk waspada klaster Pilkada 2020 . Namun tetap KPU tidak bergeming, malah kesannya melonggarkan," tukas Yudi kepada SINDOnews, kemarin.
Kondisi ini ditunjukkan saat tahapan pendaftaran calon kepala daerah, baik di Kota Makassar dan kabupaten/kota di Sulsel yang dipadati massa pendukung. Itupun tanpa pelaksanaan protap protokol kesehatan. Hal ini justru bisa memicu potensi penularan virus korona.
Dari data yang dihimpun, Yudi mengungkapkan, ada 60 calon kepala daerah hasil pemeriksaan kesehatan swab positif terpapar COVID-19 . Belum lagi banyaknya komisioner KPU, baik pusat serta daerah, ikut terpapar virus mematikan ini.
"Terakhir Ketua KPU Sulsel Faisal Amir juga terpapar selepas mendampingi Ketua KPU RI, Arief Budiman dalam kunjungan kerjanya di Makassar yang juga positif COVID-19 ," sambung dia.
Ancaman bahaya klaster Pilkada 2020 tidak cukup sampai disitu. Dokter Yudi memaparkan, jika jumlah calon kepala daerah seluruh Indonesia 1.468 orang, dengan asumsi ada 10 titik selama masa kampanye, yakni 71 hari, maka dari hasil hitungannya akan menciptakan 1.042.280 titik penyebaran COVID-19 dalam rentang waktu 26 September sampai 5 Desember 2020.
Selanjutnya, massa pendukung yang terlibat di 1.042.280 titik kampanye itu, jika yang menjalankan peraturan KPU, maksimal 100 orang, yakni sebanyak 104 juta orang. Jika positivity rate Indonesia 10%, maka 10 dari 100 orang yang hadir berpotensi positif orang tanpa gejala (OTG), atau dengan kalkulasi 10 x 1.042.280 titik.
"Dengan demikian, ada 10.422.800 orang yang berpotensi COVID-19 berkeliaran dalam 71 hari kampanye. Wow, ini bom waktu, dahsyatnya lebih dari bom Hiroshima dan Nagazaki," urai Yudi.
Humas IDI Makassar, dr Wachyudi Muchsin mengaku jika sejak awal COVID-19 mulai mewabah, pihaknya sudah memberi masukan agar Pilkada serentak 2020 diundur. Kemunculan klaster baru COVID-19 berpotensi terjadi jika protokol kesehatan terus diabaikan.
"Awal September IDI Makassar kembali memberi peringatan keras kepada para calon kepala daerah, KPU serta Bawaslu untuk waspada klaster Pilkada 2020 . Namun tetap KPU tidak bergeming, malah kesannya melonggarkan," tukas Yudi kepada SINDOnews, kemarin.
Kondisi ini ditunjukkan saat tahapan pendaftaran calon kepala daerah, baik di Kota Makassar dan kabupaten/kota di Sulsel yang dipadati massa pendukung. Itupun tanpa pelaksanaan protap protokol kesehatan. Hal ini justru bisa memicu potensi penularan virus korona.
Dari data yang dihimpun, Yudi mengungkapkan, ada 60 calon kepala daerah hasil pemeriksaan kesehatan swab positif terpapar COVID-19 . Belum lagi banyaknya komisioner KPU, baik pusat serta daerah, ikut terpapar virus mematikan ini.
"Terakhir Ketua KPU Sulsel Faisal Amir juga terpapar selepas mendampingi Ketua KPU RI, Arief Budiman dalam kunjungan kerjanya di Makassar yang juga positif COVID-19 ," sambung dia.
Ancaman bahaya klaster Pilkada 2020 tidak cukup sampai disitu. Dokter Yudi memaparkan, jika jumlah calon kepala daerah seluruh Indonesia 1.468 orang, dengan asumsi ada 10 titik selama masa kampanye, yakni 71 hari, maka dari hasil hitungannya akan menciptakan 1.042.280 titik penyebaran COVID-19 dalam rentang waktu 26 September sampai 5 Desember 2020.
Selanjutnya, massa pendukung yang terlibat di 1.042.280 titik kampanye itu, jika yang menjalankan peraturan KPU, maksimal 100 orang, yakni sebanyak 104 juta orang. Jika positivity rate Indonesia 10%, maka 10 dari 100 orang yang hadir berpotensi positif orang tanpa gejala (OTG), atau dengan kalkulasi 10 x 1.042.280 titik.
"Dengan demikian, ada 10.422.800 orang yang berpotensi COVID-19 berkeliaran dalam 71 hari kampanye. Wow, ini bom waktu, dahsyatnya lebih dari bom Hiroshima dan Nagazaki," urai Yudi.
tulis komentar anda