IDI Makassar Usulkan Pilkada Serentak Ditunda hingga Kasus COVID Melandai
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Makassar mengusulkan agar pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 ditunda, termasuk di Sulsel. Pesta demokrasi ini diharapkan bisa kembali digelar jika COVID-19 sudah menunjukkan penurunan kasus signifikan. Baca : KPU Tak Bisa Putuskan Sendirian Terkait Penundaan Pilkada 2020
Humas IDI Makassar, dr Wachyudi Muchsin mengaku jika sejak awal COVID-19 mulai mewabah, pihaknya sudah memberi masukan agar Pilkada serentak 2020 diundur. Kemunculan klaster baru COVID-19 berpotensi terjadi jika protokol kesehatan terus diabaikan.
"Awal September IDI Makassar kembali memberi peringatan keras kepada para calon kepala daerah, KPU serta Bawaslu untuk waspada klaster Pilkada 2020 . Namun tetap KPU tidak bergeming, malah kesannya melonggarkan," tukas Yudi kepada SINDOnews, kemarin.
Kondisi ini ditunjukkan saat tahapan pendaftaran calon kepala daerah, baik di Kota Makassar dan kabupaten/kota di Sulsel yang dipadati massa pendukung. Itupun tanpa pelaksanaan protap protokol kesehatan. Hal ini justru bisa memicu potensi penularan virus korona.
Dari data yang dihimpun, Yudi mengungkapkan, ada 60 calon kepala daerah hasil pemeriksaan kesehatan swab positif terpapar COVID-19 . Belum lagi banyaknya komisioner KPU, baik pusat serta daerah, ikut terpapar virus mematikan ini.
"Terakhir Ketua KPU Sulsel Faisal Amir juga terpapar selepas mendampingi Ketua KPU RI, Arief Budiman dalam kunjungan kerjanya di Makassar yang juga positif COVID-19 ," sambung dia.
Ancaman bahaya klaster Pilkada 2020 tidak cukup sampai disitu. Dokter Yudi memaparkan, jika jumlah calon kepala daerah seluruh Indonesia 1.468 orang, dengan asumsi ada 10 titik selama masa kampanye, yakni 71 hari, maka dari hasil hitungannya akan menciptakan 1.042.280 titik penyebaran COVID-19 dalam rentang waktu 26 September sampai 5 Desember 2020.
Selanjutnya, massa pendukung yang terlibat di 1.042.280 titik kampanye itu, jika yang menjalankan peraturan KPU, maksimal 100 orang, yakni sebanyak 104 juta orang. Jika positivity rate Indonesia 10%, maka 10 dari 100 orang yang hadir berpotensi positif orang tanpa gejala (OTG), atau dengan kalkulasi 10 x 1.042.280 titik.
"Dengan demikian, ada 10.422.800 orang yang berpotensi COVID-19 berkeliaran dalam 71 hari kampanye. Wow, ini bom waktu, dahsyatnya lebih dari bom Hiroshima dan Nagazaki," urai Yudi.
Selain itu, kasus harian selama seminggu terakhir ini menunjukkan yang terpapar virus COVID-19 di atas angka 3.500-an per hari. Kasus ini penularannya dari klaster keluarga hingga klaster perkantoran.
Kondisi ini semakin diperburuk dan kasus akan semakin melonjak dengan kemunculan klaster pilkada . Klaster yang muncul dari akibat mewadahi perkumpulan massa yang tidak bisa dikontrol. Baca Juga : 2 Paslon Tak Hadir Rakor Protkes Pemkot Makassar, Begini Tanggapan Bawaslu
"Dengan fakta ini, atas dasar kepentingan nyawa banyak orang, saatnya pemerintah lakukan rem darurat Pilkada 2020 . Sebab Sulsel dan Indonesia saat ini darurat COVID-19, belum ada tanda melandai sedikitpun," kata Yudi.
Harapan IDI Makassar , kata dia, sejalan dengan keinginan Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK). Untuk meminta Pilkada ditunda sampai vaksin COVID-19 ditemukan. JK khawatir akan banyak pelanggaran pada saat kampanye yang rentan akan penyebaran COVID-19.
"Penundaan Pilkada sampai kasus COVID-19 melandai. Tapi ini harapan semoga pemangku kebijakan mendengar," beber alumni Fakultas Kedokteran UMI dan Fakultas Hukum Unhas ini.
Yudi menambahkan, kalaupun Pilkada serentak tetap dilakukan, dia berharap aturan betul-betul ditegakkan, utamanya pelaksanaan protokol kesehatan. Harus ada sanksi tegas yang diberikan jika pedoman itu dilanggar. " IDI Makassar meminta menteri dalam negeri memberi sanksi tegas bagi pihak yang tak mematuhi protokol kesehatan COVID-19 dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 baik itu kandidat calon kepala daerah sampai KPU serta Bawaslu," harap dia.
Pelaksanaan Pilkada dengan tetap menjalankan protokol kesehatan sudah diatur dalam PKPU Nomor 6/2020 tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Non-alam COVID-19.
Khusus Bawaslu, Yudi menilai, penegakkan sanksi bisa atas dasar penggunaan pasal 93 UU Nomor 6/2008 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Termasuk dalam UU Nomor 4/1984 tentang wabah penyakit menular yang memiliki sanksi pidana 1 tahun penjara bagi yang melanggar.
"Dimana penggunaan undang-undang tersebut sangat dimungkinkan. Mengingat Bawaslu memiliki fungsi penegakan terhadap UU pemilu , pelanggaran etika, pelanggaran administrasi, serta pelanggaran undang undang dalam proses Pilkada di tengah pandemik COVID-19 ," imbuh Yudi.
Terpisah Penjabat (Pj) Wali Kota Makassar, Rudy Djamaluddin menegaskan akan mengusulkan penundaan Pilwalkot Makassar tahun 2020 . Itu jika terdapat banyak pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh pasangan calon pada setiap pelaksanaan tahapan pilkada berlangsung.
“Pemerintah pusat mengizinkan digelar Pilkada , tapi dengan syarat tidak mengancam kesehatan dan ekonomi masyarakat. Jika pada saat proses pelaksanaannya ternyata mengancam keselamatan warga, bisa saja kita mengusulkan untuk dilakukan penundaan,” tegas Rudy saat memimpin Rapat Koordinasi Pemilu dan Peningkatan Disiplin serta Penegakan Hukum Protokol Kesehatan COVID-19 Kota Makassar, belum lama ini.
Menurut Prof Rudy, semua pihak harus memiliki komitmen untuk mengutamakan keselamatan masyarakat. Utamanya para paslon, diminta ikut memberi contoh ke masyarakat pentingnya pelaksanaan protokol kesehatan sebagai upaya pencegahan COVID-19.
“Paslon jangan hanya pintar membuat jargon-jargon yang kedengarannya bagus tapi fakta dilapangan tidak sesuai. Wujud nyata kecintaan terhadap masyarakat itu terlihat dari cara kita menerapkan protokol kesehatan, bukan pada jargon yang kedengarannya bagus tapi dilapangan justru membahayakan keselamatan warga,” jelas Rudy.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulsel tercatat, ada penambahan kasus baru positif COVID-19 sebanyak 178 kasus di Sulsel yang dilaporkan sejak kemarin. Penambahan kasus inipun rata-rata tersebar di daerah yang melaksanakan pilkada serentak.
Diantaranya, Kota Makassar berkontribusi penambahan 93 kasus. Kemudian disusul Jeneponto 26, Gowa 18, Maros 8, Sinjai 7, Bone 6, lalu Bantaeng dan Pangkep masing-masing bertambah 4 kasus baru. Selanjutnya, Palopo dan Sidrap masing-masing penambahan 3 kasus baru, Sidrap 2, serta masing-masing penambahan satu kasus baru di Bulukumba, Luwu Utara, Parepare, dan Takalar.
Namun jika merujuk pada akumulasi data sejak tanggal 14-20 September 2020, di Kota Makassar saja sudah mencatat ada 502 kasus positif Covid-19 selama sepekan terakhir. Disusul Luwu Timur 143, Gowa 69, Selayar 54, Maros 25, Luwu Utara 21, kemudian Toraja Utara 12.
Selanjutnya, Kabupaten Pangkep ada 9 kasus terkonfirmasi positif selama sepekan terakhir, disusul Soppeng dengan 8 kasus. Lalu Tana Toraja dan Barru masing-masing 7 kasus. Kemudian Bulukumba sebanyak 6 kasus positif dalam kurun waktu tanggal 14-20 September 2020.
Sebelumnya Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah juga menyampaikan kekhawatirannya akan kemunculan klaster baru COVID-19 di tengah pelaksanaan Pilkada . Hal ini bahkan ia sampaikan langsung di hadapan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan saat rapat tindak lanjut penanganan COVID-19 yang digelar secara virtual telekonferensi, Rabu (16/09/2020) lalu.
"Kami berharap tidak ada klaster baru COVID-19 pada kontestasi pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020. Karena memang jujur saja, ini yang mengkhawatirkan bagi kami munculnya klaster baru di pilkada i ni," ucap Nurdin.
Dirinya pun sudah melakukan koordinasi kepada panitia penyelenggaran di Sulsel untuk antisipasi kemunculan klaster pilkada . KPU dan Bawaslu, dibantu kolaborasi TNI-Polri untuk ikut melakukan sosialisasi dan mengawasi pelaksanaan pilkada dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Hanya saja, menurut Nurdin hal ini tidak cukup. Di hadapan Menko Kemaritiman dan Investasi, dirinya menyampaikan, perlu adanya regulasi yang secara ketat mengatur pemberian sanksi bagi para kandidat yang tidak melaksanakan protokol kesehatan.
"Terkait dengan wacana keputusan menunda pelaksanaan pilkada , kali ini kami serahkan ke pemerintah pusat. Tapi kami berharap agar pemerintah pusat dapat mengeluarkan regulasi yang memuat sanksi tegas bagi kontestan yang melanggar protokol kesehatan, tentu dalam setiap tahapan pilkada ," imbuh Nurdin.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulsel hingga tanggal 20 September 2020, akumulasi kasus Covid-19 di Sulsel dilaporkan sudah mencapai 14.357 kasus positif. Namun 10.425 orang diantaranya telah dinyatakan sembuh, dan 397 lainnya meninggal dunia. Baca Lagi : Kasus COVID-19 Terus Naik, Penundaan Pilkada Dinilai Masuk Akal
Humas IDI Makassar, dr Wachyudi Muchsin mengaku jika sejak awal COVID-19 mulai mewabah, pihaknya sudah memberi masukan agar Pilkada serentak 2020 diundur. Kemunculan klaster baru COVID-19 berpotensi terjadi jika protokol kesehatan terus diabaikan.
"Awal September IDI Makassar kembali memberi peringatan keras kepada para calon kepala daerah, KPU serta Bawaslu untuk waspada klaster Pilkada 2020 . Namun tetap KPU tidak bergeming, malah kesannya melonggarkan," tukas Yudi kepada SINDOnews, kemarin.
Kondisi ini ditunjukkan saat tahapan pendaftaran calon kepala daerah, baik di Kota Makassar dan kabupaten/kota di Sulsel yang dipadati massa pendukung. Itupun tanpa pelaksanaan protap protokol kesehatan. Hal ini justru bisa memicu potensi penularan virus korona.
Dari data yang dihimpun, Yudi mengungkapkan, ada 60 calon kepala daerah hasil pemeriksaan kesehatan swab positif terpapar COVID-19 . Belum lagi banyaknya komisioner KPU, baik pusat serta daerah, ikut terpapar virus mematikan ini.
"Terakhir Ketua KPU Sulsel Faisal Amir juga terpapar selepas mendampingi Ketua KPU RI, Arief Budiman dalam kunjungan kerjanya di Makassar yang juga positif COVID-19 ," sambung dia.
Ancaman bahaya klaster Pilkada 2020 tidak cukup sampai disitu. Dokter Yudi memaparkan, jika jumlah calon kepala daerah seluruh Indonesia 1.468 orang, dengan asumsi ada 10 titik selama masa kampanye, yakni 71 hari, maka dari hasil hitungannya akan menciptakan 1.042.280 titik penyebaran COVID-19 dalam rentang waktu 26 September sampai 5 Desember 2020.
Selanjutnya, massa pendukung yang terlibat di 1.042.280 titik kampanye itu, jika yang menjalankan peraturan KPU, maksimal 100 orang, yakni sebanyak 104 juta orang. Jika positivity rate Indonesia 10%, maka 10 dari 100 orang yang hadir berpotensi positif orang tanpa gejala (OTG), atau dengan kalkulasi 10 x 1.042.280 titik.
"Dengan demikian, ada 10.422.800 orang yang berpotensi COVID-19 berkeliaran dalam 71 hari kampanye. Wow, ini bom waktu, dahsyatnya lebih dari bom Hiroshima dan Nagazaki," urai Yudi.
Selain itu, kasus harian selama seminggu terakhir ini menunjukkan yang terpapar virus COVID-19 di atas angka 3.500-an per hari. Kasus ini penularannya dari klaster keluarga hingga klaster perkantoran.
Kondisi ini semakin diperburuk dan kasus akan semakin melonjak dengan kemunculan klaster pilkada . Klaster yang muncul dari akibat mewadahi perkumpulan massa yang tidak bisa dikontrol. Baca Juga : 2 Paslon Tak Hadir Rakor Protkes Pemkot Makassar, Begini Tanggapan Bawaslu
"Dengan fakta ini, atas dasar kepentingan nyawa banyak orang, saatnya pemerintah lakukan rem darurat Pilkada 2020 . Sebab Sulsel dan Indonesia saat ini darurat COVID-19, belum ada tanda melandai sedikitpun," kata Yudi.
Harapan IDI Makassar , kata dia, sejalan dengan keinginan Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK). Untuk meminta Pilkada ditunda sampai vaksin COVID-19 ditemukan. JK khawatir akan banyak pelanggaran pada saat kampanye yang rentan akan penyebaran COVID-19.
"Penundaan Pilkada sampai kasus COVID-19 melandai. Tapi ini harapan semoga pemangku kebijakan mendengar," beber alumni Fakultas Kedokteran UMI dan Fakultas Hukum Unhas ini.
Yudi menambahkan, kalaupun Pilkada serentak tetap dilakukan, dia berharap aturan betul-betul ditegakkan, utamanya pelaksanaan protokol kesehatan. Harus ada sanksi tegas yang diberikan jika pedoman itu dilanggar. " IDI Makassar meminta menteri dalam negeri memberi sanksi tegas bagi pihak yang tak mematuhi protokol kesehatan COVID-19 dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 baik itu kandidat calon kepala daerah sampai KPU serta Bawaslu," harap dia.
Pelaksanaan Pilkada dengan tetap menjalankan protokol kesehatan sudah diatur dalam PKPU Nomor 6/2020 tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Non-alam COVID-19.
Khusus Bawaslu, Yudi menilai, penegakkan sanksi bisa atas dasar penggunaan pasal 93 UU Nomor 6/2008 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Termasuk dalam UU Nomor 4/1984 tentang wabah penyakit menular yang memiliki sanksi pidana 1 tahun penjara bagi yang melanggar.
"Dimana penggunaan undang-undang tersebut sangat dimungkinkan. Mengingat Bawaslu memiliki fungsi penegakan terhadap UU pemilu , pelanggaran etika, pelanggaran administrasi, serta pelanggaran undang undang dalam proses Pilkada di tengah pandemik COVID-19 ," imbuh Yudi.
Terpisah Penjabat (Pj) Wali Kota Makassar, Rudy Djamaluddin menegaskan akan mengusulkan penundaan Pilwalkot Makassar tahun 2020 . Itu jika terdapat banyak pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh pasangan calon pada setiap pelaksanaan tahapan pilkada berlangsung.
“Pemerintah pusat mengizinkan digelar Pilkada , tapi dengan syarat tidak mengancam kesehatan dan ekonomi masyarakat. Jika pada saat proses pelaksanaannya ternyata mengancam keselamatan warga, bisa saja kita mengusulkan untuk dilakukan penundaan,” tegas Rudy saat memimpin Rapat Koordinasi Pemilu dan Peningkatan Disiplin serta Penegakan Hukum Protokol Kesehatan COVID-19 Kota Makassar, belum lama ini.
Menurut Prof Rudy, semua pihak harus memiliki komitmen untuk mengutamakan keselamatan masyarakat. Utamanya para paslon, diminta ikut memberi contoh ke masyarakat pentingnya pelaksanaan protokol kesehatan sebagai upaya pencegahan COVID-19.
“Paslon jangan hanya pintar membuat jargon-jargon yang kedengarannya bagus tapi fakta dilapangan tidak sesuai. Wujud nyata kecintaan terhadap masyarakat itu terlihat dari cara kita menerapkan protokol kesehatan, bukan pada jargon yang kedengarannya bagus tapi dilapangan justru membahayakan keselamatan warga,” jelas Rudy.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulsel tercatat, ada penambahan kasus baru positif COVID-19 sebanyak 178 kasus di Sulsel yang dilaporkan sejak kemarin. Penambahan kasus inipun rata-rata tersebar di daerah yang melaksanakan pilkada serentak.
Diantaranya, Kota Makassar berkontribusi penambahan 93 kasus. Kemudian disusul Jeneponto 26, Gowa 18, Maros 8, Sinjai 7, Bone 6, lalu Bantaeng dan Pangkep masing-masing bertambah 4 kasus baru. Selanjutnya, Palopo dan Sidrap masing-masing penambahan 3 kasus baru, Sidrap 2, serta masing-masing penambahan satu kasus baru di Bulukumba, Luwu Utara, Parepare, dan Takalar.
Namun jika merujuk pada akumulasi data sejak tanggal 14-20 September 2020, di Kota Makassar saja sudah mencatat ada 502 kasus positif Covid-19 selama sepekan terakhir. Disusul Luwu Timur 143, Gowa 69, Selayar 54, Maros 25, Luwu Utara 21, kemudian Toraja Utara 12.
Selanjutnya, Kabupaten Pangkep ada 9 kasus terkonfirmasi positif selama sepekan terakhir, disusul Soppeng dengan 8 kasus. Lalu Tana Toraja dan Barru masing-masing 7 kasus. Kemudian Bulukumba sebanyak 6 kasus positif dalam kurun waktu tanggal 14-20 September 2020.
Sebelumnya Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah juga menyampaikan kekhawatirannya akan kemunculan klaster baru COVID-19 di tengah pelaksanaan Pilkada . Hal ini bahkan ia sampaikan langsung di hadapan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan saat rapat tindak lanjut penanganan COVID-19 yang digelar secara virtual telekonferensi, Rabu (16/09/2020) lalu.
"Kami berharap tidak ada klaster baru COVID-19 pada kontestasi pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020. Karena memang jujur saja, ini yang mengkhawatirkan bagi kami munculnya klaster baru di pilkada i ni," ucap Nurdin.
Dirinya pun sudah melakukan koordinasi kepada panitia penyelenggaran di Sulsel untuk antisipasi kemunculan klaster pilkada . KPU dan Bawaslu, dibantu kolaborasi TNI-Polri untuk ikut melakukan sosialisasi dan mengawasi pelaksanaan pilkada dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Hanya saja, menurut Nurdin hal ini tidak cukup. Di hadapan Menko Kemaritiman dan Investasi, dirinya menyampaikan, perlu adanya regulasi yang secara ketat mengatur pemberian sanksi bagi para kandidat yang tidak melaksanakan protokol kesehatan.
"Terkait dengan wacana keputusan menunda pelaksanaan pilkada , kali ini kami serahkan ke pemerintah pusat. Tapi kami berharap agar pemerintah pusat dapat mengeluarkan regulasi yang memuat sanksi tegas bagi kontestan yang melanggar protokol kesehatan, tentu dalam setiap tahapan pilkada ," imbuh Nurdin.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulsel hingga tanggal 20 September 2020, akumulasi kasus Covid-19 di Sulsel dilaporkan sudah mencapai 14.357 kasus positif. Namun 10.425 orang diantaranya telah dinyatakan sembuh, dan 397 lainnya meninggal dunia. Baca Lagi : Kasus COVID-19 Terus Naik, Penundaan Pilkada Dinilai Masuk Akal
(sri)