Pengamat Politik Ini Minta Pilkada Serentak Tetap Digelar 9 Desember
Minggu, 20 September 2020 - 10:41 WIB
SURABAYA - Pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam menilai, pilkada serentak harus tetap digelar pada 9 Desember 2020 mendatang.
Menurutnya, 9 Desember tersebut sudah merupakan jalan tengah mengingat pandemi COVID-19 tidak diketahui kapan berakhir.(Baca juga : Layak Ditunda, Pengamat: Pilkada Menyeramkan karena di Bawah Ancaman Covid-19 )
"Pilkada 9 Desember 2020 itu sudah tepat. Kalau nanti diundur lagi, resikonya malah lebih besar. Kita butuh segera ada kepala daerah definitif. Agar kebijakan strategis terkait penanganan COVID-19 bisa dilakukan. Khususnya sudah anggaran. Jika kepala daerah nanti berstatus Pj (penjabat), kewenangannya terbatas," katanya saat dihubungi SINDOnews.com, Minggu (20/9/2020).
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) UTM ini menambahkan, yang perlu ditekankan saat ini adalah memperkuat penerapan disiplin protokol kesehatan (prokes). Sejauh ini, kata dia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kurang tegas dan kurang disiplin dalam penerapan prokes.
"Sehingga muncul klaster pilkada. Banyak bakal calon kepala daerah yang membawa massa tanpa mengindahkan prokes. Kemudian Ketua KPU pusat kena COVID-19," terangnya.(Baca juga : Usulan Penundaan Pilkada, Ini Pendapat DKPP )
Menurut Surokim, jika ingin Pilkada Serentak 9 Desember 2020 sukses, KPU harus segera membuat aturan teknis pelaksanaan. Misalnya saat pencoblosan. Barangkali ada pembagian waktu bagi pemilih untuk menggunakan hak suaranya. Sehingga terjadi jaga jarak dan tidak ada kerumunan massa.
"Makanya harus ada simulasi-simulasi tentang tata cara pencoblosan di masa pandemi ini. Kita semua tahu kalau pilkada ini pilkada yang abnormal karena masa pandemi. Sehingga, harus ada petunjuk teknis pelaksanaannya. Agar tidak ada kebingungan nanti di lapangan," tandasnya.
Dia menambahkan, menunda maupun tidak menunda Pilkada Serentak, memiliki potensi resiko yang sama. Sebab, vaksin belum diketahui kapan akan ditemukan. Hal berbeda ketika bisa dipastikan kapan ditemukan vaksin COVID-19 .
"Maka, satunya-satunya cara adalah penegakan prokes. Sejauh ini tidak ada penegakan prokes. Mana ada bakal calon kepala daerah yang kena sanksi karena melanggar prokes. Ya karena tidak ada regulasi yang mengatur sanksi bagi pelanggar prokes," imbuhnya.
Menurutnya, 9 Desember tersebut sudah merupakan jalan tengah mengingat pandemi COVID-19 tidak diketahui kapan berakhir.(Baca juga : Layak Ditunda, Pengamat: Pilkada Menyeramkan karena di Bawah Ancaman Covid-19 )
"Pilkada 9 Desember 2020 itu sudah tepat. Kalau nanti diundur lagi, resikonya malah lebih besar. Kita butuh segera ada kepala daerah definitif. Agar kebijakan strategis terkait penanganan COVID-19 bisa dilakukan. Khususnya sudah anggaran. Jika kepala daerah nanti berstatus Pj (penjabat), kewenangannya terbatas," katanya saat dihubungi SINDOnews.com, Minggu (20/9/2020).
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) UTM ini menambahkan, yang perlu ditekankan saat ini adalah memperkuat penerapan disiplin protokol kesehatan (prokes). Sejauh ini, kata dia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kurang tegas dan kurang disiplin dalam penerapan prokes.
"Sehingga muncul klaster pilkada. Banyak bakal calon kepala daerah yang membawa massa tanpa mengindahkan prokes. Kemudian Ketua KPU pusat kena COVID-19," terangnya.(Baca juga : Usulan Penundaan Pilkada, Ini Pendapat DKPP )
Menurut Surokim, jika ingin Pilkada Serentak 9 Desember 2020 sukses, KPU harus segera membuat aturan teknis pelaksanaan. Misalnya saat pencoblosan. Barangkali ada pembagian waktu bagi pemilih untuk menggunakan hak suaranya. Sehingga terjadi jaga jarak dan tidak ada kerumunan massa.
"Makanya harus ada simulasi-simulasi tentang tata cara pencoblosan di masa pandemi ini. Kita semua tahu kalau pilkada ini pilkada yang abnormal karena masa pandemi. Sehingga, harus ada petunjuk teknis pelaksanaannya. Agar tidak ada kebingungan nanti di lapangan," tandasnya.
Dia menambahkan, menunda maupun tidak menunda Pilkada Serentak, memiliki potensi resiko yang sama. Sebab, vaksin belum diketahui kapan akan ditemukan. Hal berbeda ketika bisa dipastikan kapan ditemukan vaksin COVID-19 .
"Maka, satunya-satunya cara adalah penegakan prokes. Sejauh ini tidak ada penegakan prokes. Mana ada bakal calon kepala daerah yang kena sanksi karena melanggar prokes. Ya karena tidak ada regulasi yang mengatur sanksi bagi pelanggar prokes," imbuhnya.
(nun)
tulis komentar anda