Kisah Pilu Bapak Intelijen Indonesia hingga Memendam Dendam ke Penguasa di Akhir Hayat

Sabtu, 15 Februari 2025 - 09:10 WIB
Lubis menekankan pentingnya kejujuran dan rendah hati. Satu pesan yang tak pernah dia lewatkan: jangan pernah meninggalkan salat. Menurut Lubis, filsafat hidupnya hanya dua: berpegang teguh pada yang benar dan mengamalkannya serta berbuat baik sebanyak mungkin kepada orang lain.

Lubis dalam kesehariannya kerap bercanda dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Dia memang menyukai anak-anak. Dia kerap mengajak mereka berlibur ke pantai atau pegunungan. "Cucu-cucunya jadi lebih dekat dengan Eyang kakungnya. Ayah lebih telaten ketimbang ibu," kata Furqan.

Dari bacaan-bacaannya, Lubis memendam banyak kecewa. Menurut dia, Pemerintahan Orde Baru tak demokratis. Dia memberikan contoh bahwa pemilihan umum hanya bisa diikuti oleh orang-orang yang berpartai, tak peduli orang itu punya kecakapan atau tidak.

Lubis berpendapat, orang tak berpartai pun berhak mendapatkan posisi di pemerintahan asal punya kemampuan dan memiliki dukungan. Orang juga makin egois.

Makin di atas makin jauh dari kebenaran. Indonesia pun masih jauh dari apa yang dia cita-citakan semasa perjuangan. "Kalau masih bisa memberontak, saya akan memberontak," kata Lubis.

Berbeda dengan teman-temannya dari Generasi '45, yang mengungkapkan kekecewaannya dengan membentuk kelompok macam Petisi 50, Lubis memilih berjalan seorang diri. Dia sengaja menjauhi hiruk-pikuk seperti itu.

Baginya, membela kebenaran adalah tanggung jawab personal, dan tak perlu menunggu teman untuk melakukannya. Setiap hari, Lubis bangun paling lambat pukul empat, pun ketika masih aktif di dunia militer dengan segudang kesibukan menemani.

Setelah salat tahajud, dia melanjutkannya dengan zikir hingga subuh. Bangun pagi merupakan didikan orangtuanya. "Siapa yang bangun pagi, emas sudah ada di mulutnya," kata Lubis menirukan pesan orang tua.

Lubis juga tak lupa menjaga kesehatannya. Setiap pagi dia biasa olah pernapasan sebelum berangkat kerja. Fisiknya tetap bugar. Nyaris tak pernah sakit parah. Sebuah tongkat selalu menemaninya, bukan sebagai alat bantu untuk berdiri, tetapi meneruskan kebiasaan lama sejak masih aktif di militer.

Makanya, banyak orang kaget ketika dia harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Pertamina dan akhirnya pada 23 Juni 1993 berpulang. "Sakitnya tak diketahui. Ayah juga tak punya riwayat sakit yang parah," kata Furqan.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content