Surau Lubuk Bauk, Antara Cinta Kandas dan Lahirnya Ulama Besar Buya Hamka
Minggu, 03 Mei 2020 - 05:32 WIB
Masjid Lubuk Bauk atau oleh masyarakat disebut Surau Lubuk Bauk terletak di daerah Nagari Lubuk Bauk, Batipuh Baru, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat (Sumbar). Surau ini pertama kali dibangun pada tahun 1896, dan rampung pada tahun 1901.
Walaupun letaknya di pinggir Jalan Raya Kota Padang Panjang menuru Danau Singkarak, Kota Solok, namun pada kenyataannya hanya sedikit saja orang yang mengetahui sejarah yang tersimpan di balik surau tersebut.
Bangunan dengan luas 154 meter persegi dan tinggi 13 meter ini, terdiri dari 3 lantai dengan fungsi masing-masing. Satu lantai surau memiliki fungsi sebagai kubah atau menara, letaknya di atas atap gonjong yang berbentuk segi delapan.
Mneurut cerita, surau dibangun oleh para ninik mamak yang berasal dari suku Jambak, Jurai Nan Ampek Suku. Tanah surau berasal dari wakaf Datuk Bandaro Panjang.
Bangunan surau memiliki atap bersusun tiga yang terbuat dari seng. Atap pertama dan kedua berbentuk limasan, sedangkan atap ketiga yang juga berfungsi sebagai menara memiliki bentuk gonjang. Dari keempat sisinya, dari puncak atasnya terdapat hiasan berbentuk catra seperti pada bagian puncak stupa.
Susunan atap dengan bangunan menara tersebut, melambangkan falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Dinding-dindingnya polos tanpa hiasan ukiran, atapnya bersusun empat tanpa kubah, atap susun ketiga merupakan atap gonjong menghadap ke rah mata angin.
Bagian dinding yang berbentuk segitiga dengan penutup gonjong dikeempat sisinya, terdapat hiasan berupa motif hiasan dari Minangkabau, Belanda, dan China.
Surau ini dulu merupakan tempat ulama besar Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) menimba ilmu Alquran. Bahkan, di surau ini pula Buya Hamka terinspirasi menulis novel berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wicjk yang terkenal itu.
Menurut Amni Destari, Juru Pelihara Surau Lubuk Bauk, novel tersebut sebenarnya tentang kisah hidup Buya Hamka saat menuntut ilmu di sana.
Walaupun letaknya di pinggir Jalan Raya Kota Padang Panjang menuru Danau Singkarak, Kota Solok, namun pada kenyataannya hanya sedikit saja orang yang mengetahui sejarah yang tersimpan di balik surau tersebut.
Bangunan dengan luas 154 meter persegi dan tinggi 13 meter ini, terdiri dari 3 lantai dengan fungsi masing-masing. Satu lantai surau memiliki fungsi sebagai kubah atau menara, letaknya di atas atap gonjong yang berbentuk segi delapan.
Mneurut cerita, surau dibangun oleh para ninik mamak yang berasal dari suku Jambak, Jurai Nan Ampek Suku. Tanah surau berasal dari wakaf Datuk Bandaro Panjang.
Bangunan surau memiliki atap bersusun tiga yang terbuat dari seng. Atap pertama dan kedua berbentuk limasan, sedangkan atap ketiga yang juga berfungsi sebagai menara memiliki bentuk gonjang. Dari keempat sisinya, dari puncak atasnya terdapat hiasan berbentuk catra seperti pada bagian puncak stupa.
Susunan atap dengan bangunan menara tersebut, melambangkan falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Dinding-dindingnya polos tanpa hiasan ukiran, atapnya bersusun empat tanpa kubah, atap susun ketiga merupakan atap gonjong menghadap ke rah mata angin.
Bagian dinding yang berbentuk segitiga dengan penutup gonjong dikeempat sisinya, terdapat hiasan berupa motif hiasan dari Minangkabau, Belanda, dan China.
Surau ini dulu merupakan tempat ulama besar Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) menimba ilmu Alquran. Bahkan, di surau ini pula Buya Hamka terinspirasi menulis novel berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wicjk yang terkenal itu.
Menurut Amni Destari, Juru Pelihara Surau Lubuk Bauk, novel tersebut sebenarnya tentang kisah hidup Buya Hamka saat menuntut ilmu di sana.
tulis komentar anda