Kisah Letnan Jenderal TNI (Purn) Soegito, Jual Sepeda dan Palsukan Tanda Tangan Bapaknya demi Masuk Akmil

Selasa, 17 September 2024 - 06:22 WIB
Saat itu dari Purwokerto ke Cilacap cukup menyita waktu karena terbatasnya jumlah bus dan kondisi jalan yang rusak berat. Perjalanan darat sekitar dua sampai tiga jam melalui Sokaraja, Banyumas, Kota Buntu, Kroya, lalu melewati jembatan Serayu sebelum tiba di Cilacap.

Jalan lainnya melewati jembatan Maos tidak bisa dilewati karena kondisi jembatannya masih rusak setelah sengaja dihancurkan gerilyawan semasa Perang Kemerdekaan. "Makanya saya makin malas ke Cilacap," ucap Soegito.

Setelah menimbang-nimbang cukup lama, Soegito pun akhirnya menemukan cara paling mudah. Memalsukan tanda tangan bapaknya. Soegito memang paling pintar meniru tanda tangan, mungkin karena bakat menggambar dan kemampuan menulisnya yang bagus. Tidak hanya tanda tangan bapaknya, tanda tangan kakak iparnya pun ia bisa.

Alhasil setelah surat keterangan orang tua selesai diketik, tanpa kesulitan Soegito pun membubuhkan tanda tangan bapaknya di lembar persetujuan. "Selain ngirit, saya masuk AMN kan atas risiko saya dan kalau terjadi apa-apa kan urusan saya," Soegito beralasan.

Panggilan terakhir yang ditunggu pun datang. Nah, ini merupakan jawaban bahwa Soegito termasuk yang terpilih untuk mengikuti seleksi tahap akhir di Cimahi, Bandung. Pada hari yang ditentukan, Soegito telah berada di tempat seleksi calon taruna di Semarang. Di sini dikumpulkan semua calon taruna yang berasal dari Jawa Tengah, sekitar 100-an orang.

Mereka kemudian diberangkatkan ke Bandung dengan menumpang kereta api. Selama di perjalanan dari Semarang ke Bandung, mereka yang berasal dari Banyumas dan Purwokerto lebih memilih diam daripada ikutan teriak-teriak sambil becanda. Maklum, gaya bicara Banyumasan yang dikenal ngapak-ngapak dan dinilai kampungan. Seringkali jadi bahan tertawaan bagi yang mendengar. Di antara calon taruna yang suka ngeledek anak Banyumas adalah Pramono dan kelompoknya dari Yogya.

Terdapat ratusan orang calon taruna saat itu berkumpul di Garnisun Cimahi dari seluruh Indonesia. Beragam tingkah dan gaya mereka, sesuai karakter aslinya. Ada yang agak urakan, bergaya makelar, namun juga ada yang berpenampilan dewasa. Untuk penginapan, mereka ditampung di dua tempat yang salah satunya di Pusat Pendidikan Angkutan TNI AD di Cimahi. Di sini mereka ditempatkan selama hampir sebulan.

Sejak tiba di Cimahi, mereka mulai mendapatkan suasana yang berbeda. Mereka untuk pertama kali mengenal tradisi kemiliteran seperti apel. Setiap pagi mereka juga harus melaksanakan senam pagi di tengah dinginnya udara Cimahi sambil bertelanjang dada, mengenakan pakaian dinas yang selalu kedodoran atau menyandang senapan Lee Enfield (LE) yang melecetkan pundak mereka. Tapi karena semua datang dengan tekad yang sama untuk menjadi taruna, maka apa pun rintangan yang diterima dijalani dengan tegar.

Seperti sebelumnya, seleksi yang harus dijalani di Cimahi tidak jauh beda dengan yang sudah mereka jalani di daerah masing-masing. Mencakup ujian Badan I dan II, ujian Psychotechnic, I dan II, dan Ketangkasan Jasmani. Sepertinya selalu begitu, lagi dan lagi diperiksa sepertinya memastikan keakuratan data dari seleksi terdahulu.

Kepada setiap peserta diberikan pakaian satu stel berwarna hijau yang ukurannya "nasib-nasiban". Maksudnya beruntung jika dapat seukuran badan. Namun tidak sedikit yang dapat pakaian berukuran lebih kecil atau malah kedodoran. Soegito sendiri dapat pakaian yang ukurannya lebih besar, sehingga harus dijahitnya sendiri supaya pas di badan. Dengan modal satu stel pakaian hijau itulah mereka mengikuti seleksi.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content