Kisah Letnan Jenderal TNI (Purn) Soegito, Jual Sepeda dan Palsukan Tanda Tangan Bapaknya demi Masuk Akmil
loading...
A
A
A
Tak semua kisah perjalanan menuju puncak karier militer penuh dengan jalan mulus. Salah satu contoh inspiratif adalah Letnan Jenderal (Purn) Soegito , seorang jenderal legendaris dari Kopassus .
Soegito mengungkapkan cerita menarik dan menegangkan di balik usahanya untuk diterima di Akademi Militer Nasional (AMN) yang kini dikenal sebagai Akademi Militer (Akmil) di Magelang.
Sejak kecil, Soegito sudah memiliki impian besar untuk menjadi taruna di AMN. Namun, perjalanan menuju impian tersebut penuh dengan rintangan.
Keterbatasan finansial dan kesulitan akses informasi, Soegito menghadapi berbagai tantangan yang harus diatasi. Bagi mantan Pangkostrad ini, menjadi tentara pilihan yang paling menarik karena biaya pendidikan ditanggung sepenuhnya oleh negara.
Dengan informasi yang sangat terbatas itulah, ia dan beberapa temannya di SMA berniat menjadi tentara. Celakanya, semua proses seleksi untuk masuk ke AMN di Magelang diadakan di Semarang.
Proses seleksi berlangsung sebelum ada pengumuman hasil ujian akhir SMA. Bolak-balik ke Semarang tidak hanya menyita waktu tapi juga menguras isi kantong.
Dengan uang saku yang selalu pas-pasan dan kadang kurang, Soegito memang harus bisa mengatur sendiri keuangannya agar ketika dibutuhkan bisa langsung berangkat ke Semarang. Ketika itu setiap hasil seleksi disampaikan lewat surat, sehingga selalu butuh waktu antara satu seleksi ke seleksi berikutnya.
Karena sering bolak-balik ke Semarang, akhirnya kakaknya jadi tahu apa yang sedang dikerjakannya. Tanpa butuh waktu lama, berita itupun dengan cepat sampai di Cilacap, tempat orang tuanya tinggal. Suatu hari ketika bertandang ke Cilacap untuk meminta restu orang tua, Soegito dipanggil ayahnya.
Sambil memberi nasihat dan wejangan layaknya orang tua kepada anaknya, Soeleman lalu menyuruhnya mengambil selembar daun sirih dan gelas diisi air putih.
"Gito, ini daun sirih kamu gulung. Lalu kamu potong tiga kali persis di atas gelasnya," ujar Soeleman kepada Soegito sambil menyodorkan sebuah pisau dikutip dari buku "Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen", Selasa (17/9/20224).
Dengan pikiran polos, Soegito pun menuruti perintah bapaknya . Dalam tiga kali sayatannya, ketiga potongan daun sirih itu ndilalah masuk ke dalam gelas. "Alhamdulilah Gito," ucap bapaknya yang membuat Soegito bengong apa maksudnya.
Tanpa menunggu putranya bertanya lebih jauh, Soeleman pun menjelaskan. "Kamu jadi alat negara, kamu meninggal tidak dalam tugas." Mendengar itu, sang ibu yang duduk tidak terlalu jauh, langsung nyeletuk. "Alah, percaya sama Gusti Allah saja Gito."
Walaupun ongkos jalan dan penginapan di Semarang mendapat penggantian dari Panitia Seleksi AMN, tetap saja masih diperlukan biaya tambahan. Oleh sebab itu, Soegito lalu menjual sepedanya yang telah dipakainya selama lebih dari tiga tahun, yaitu sejak di SMP Cilacap sampai SMA di Purwokerto. Lumayanlah dapat tambahan dana.
Pada saat datang panggilan terakhir ke Semarang di tahun 1958, maka setiap calon harus membawa ijazah asli kelulusannya. Begitu juga Soegito, ia harus mendapatkan ijazah SMA sebelum menemui personel bagian penerimaan taruna di Semarang. Untuk itu ia harus menghadap Kepala Sekolah Soemarmo.
Soegito menyampaikan maksudnya kepada kepala sekolah untuk mengambil ijazah. Sambil mengangguk-anggukan kepalanya, Soemarno lalu membuka sebuah buku besar. Matanya bergerak cepat mencari nama Soegito di antara daftar nama siswa. "Wah, siswa Gito kamu belum melunasi pembayaran uang gedung," tuturnya datar yang ditanggapi Soegito sambil diam dan sedikit menundukkan kepala.
"Tapi maaf saya sudah tidak punya uang lagi Pak karena sudah bolak-balik ke Semarang dan besok harus kembali ke Semarang terus ke Cimahi," jawabnya gelagapan.
Sempat terpikir meminjam uang kepada kakaknya, tapi Soegito merasa malu. Bayangan ibunya melintas saat terakhir memberikan uang untuk membayar keperluan terkait kelulusan di sekolahnya. Namun uangnya sudah terpakai untuk berbagai keperluan termasuk ongkos ke Semarang.
"Tapi siswa Gito harus membayarnya, bagaimana," suara Pak Marmo meninggi dan langsung membuyarkan lamunannya.
"Pak, saya benar-benar sudah tidak punya uang," pinta Soegito. "Ya sudah, nih," jawab kepala sekolah sambil menyodorkan ijazahnya dengan agak terpaksa.
Selain harus mengantongi ijazah, seorang calon juga sudah harus membawa surat keterangan tanda persetujuan dari orang tua untuk mengikuti pendidikan AMN. Kalau harus pergi lagi ke Cilacap, jelas saja butuh waktu dan ongkos. Sementara uangnya sudah pas-pasan.
Saat itu dari Purwokerto ke Cilacap cukup menyita waktu karena terbatasnya jumlah bus dan kondisi jalan yang rusak berat. Perjalanan darat sekitar dua sampai tiga jam melalui Sokaraja, Banyumas, Kota Buntu, Kroya, lalu melewati jembatan Serayu sebelum tiba di Cilacap.
Jalan lainnya melewati jembatan Maos tidak bisa dilewati karena kondisi jembatannya masih rusak setelah sengaja dihancurkan gerilyawan semasa Perang Kemerdekaan. "Makanya saya makin malas ke Cilacap," ucap Soegito.
Setelah menimbang-nimbang cukup lama, Soegito pun akhirnya menemukan cara paling mudah. Memalsukan tanda tangan bapaknya. Soegito memang paling pintar meniru tanda tangan, mungkin karena bakat menggambar dan kemampuan menulisnya yang bagus. Tidak hanya tanda tangan bapaknya, tanda tangan kakak iparnya pun ia bisa.
Alhasil setelah surat keterangan orang tua selesai diketik, tanpa kesulitan Soegito pun membubuhkan tanda tangan bapaknya di lembar persetujuan. "Selain ngirit, saya masuk AMN kan atas risiko saya dan kalau terjadi apa-apa kan urusan saya," Soegito beralasan.
Panggilan terakhir yang ditunggu pun datang. Nah, ini merupakan jawaban bahwa Soegito termasuk yang terpilih untuk mengikuti seleksi tahap akhir di Cimahi, Bandung. Pada hari yang ditentukan, Soegito telah berada di tempat seleksi calon taruna di Semarang. Di sini dikumpulkan semua calon taruna yang berasal dari Jawa Tengah, sekitar 100-an orang.
Mereka kemudian diberangkatkan ke Bandung dengan menumpang kereta api. Selama di perjalanan dari Semarang ke Bandung, mereka yang berasal dari Banyumas dan Purwokerto lebih memilih diam daripada ikutan teriak-teriak sambil becanda. Maklum, gaya bicara Banyumasan yang dikenal ngapak-ngapak dan dinilai kampungan. Seringkali jadi bahan tertawaan bagi yang mendengar. Di antara calon taruna yang suka ngeledek anak Banyumas adalah Pramono dan kelompoknya dari Yogya.
Terdapat ratusan orang calon taruna saat itu berkumpul di Garnisun Cimahi dari seluruh Indonesia. Beragam tingkah dan gaya mereka, sesuai karakter aslinya. Ada yang agak urakan, bergaya makelar, namun juga ada yang berpenampilan dewasa. Untuk penginapan, mereka ditampung di dua tempat yang salah satunya di Pusat Pendidikan Angkutan TNI AD di Cimahi. Di sini mereka ditempatkan selama hampir sebulan.
Sejak tiba di Cimahi, mereka mulai mendapatkan suasana yang berbeda. Mereka untuk pertama kali mengenal tradisi kemiliteran seperti apel. Setiap pagi mereka juga harus melaksanakan senam pagi di tengah dinginnya udara Cimahi sambil bertelanjang dada, mengenakan pakaian dinas yang selalu kedodoran atau menyandang senapan Lee Enfield (LE) yang melecetkan pundak mereka. Tapi karena semua datang dengan tekad yang sama untuk menjadi taruna, maka apa pun rintangan yang diterima dijalani dengan tegar.
Seperti sebelumnya, seleksi yang harus dijalani di Cimahi tidak jauh beda dengan yang sudah mereka jalani di daerah masing-masing. Mencakup ujian Badan I dan II, ujian Psychotechnic, I dan II, dan Ketangkasan Jasmani. Sepertinya selalu begitu, lagi dan lagi diperiksa sepertinya memastikan keakuratan data dari seleksi terdahulu.
Kepada setiap peserta diberikan pakaian satu stel berwarna hijau yang ukurannya "nasib-nasiban". Maksudnya beruntung jika dapat seukuran badan. Namun tidak sedikit yang dapat pakaian berukuran lebih kecil atau malah kedodoran. Soegito sendiri dapat pakaian yang ukurannya lebih besar, sehingga harus dijahitnya sendiri supaya pas di badan. Dengan modal satu stel pakaian hijau itulah mereka mengikuti seleksi.
Paling seru pada saat tes renang. Mereka yang tidak bisa renang sudah keder duluan sebelum nyemplung ke kolam. Anehnya, ada yang tidak bisa berenang tapi kok bisa lolos. Mungkin karena yang menguji kurang teliti. Seperti Budihardjo, yang tidak bisa berenang tapi lolos. Ketika sudah jadi perwira, sambil berseloroh dia pernah bilang kepada teman-temannya begini. "Salah satu keuntungan saya masuk AMN adalah bisa berenang ha..ha..ha..." ujarnya bangga.
Melewati masa pengujian akhir di Cimahi ini cukup melelahkan. Namun Soegito menjalani dengan semangat, berusaha keras menyelesaikan setiap ujian yang dilaluinya. Mampunya Soegito melewati setiap tahap seleksi fisik, tentu tidak terlepas dari kegemarannya berolahraga. Kelenturan tubuhnya mungkin menjadi kelebihannya dibanding teman-temannya yang mengikuti seleksi waktu itu.
Wajar saja, senam merupakan salah satu olahraga yang disukainya. Meliuk-liukkan badan di atas kuda-kuda dan keseimbangan balok plus salto bisa dilakukannya. Semua kelebihan dalam olah fisik ini sangat dirasakan manfaatnya ketika ia menjadi anggota Kopassus.
Di akhir masa seleksi diumumkanlah hasilnya. Disampaikan bahwa peserta yang dinyatakan lulus berjumlah 170 orang. Kegembiraan merebak di antara mereka yang namanya disebutkan, namun tidak demikian kepada yang sebaliknya.
Muka mereka tertunduk lesu, seperti kehilangan kekuatan karena tidak menyangka akan gagal setelah melalui tahapan seleksi yang sangat melelahkan. Pramono termasuk ke dalam kelompok ini. Hebatnya dia, mencoba lagi di tahun berikutnya dan malah dinyatakan lulus. Beberapa teman lain yang gagal, ternyata diterima di AAL dan AAU.
Mereka yang berjumlah 170 orang itu, berasal dari berbagai suku di Tanah Air. Rinciannya sebagai berikut Aceh 1 orang, Batak 12 orang, Minang 1 orang, Palembang 2 orang, Sunda 16 orang, Betawi 1 orang, Jawa 120 orang, Bali 1 orang, Manado 5 orang. Toraja 1 orang, Bugis Makassar 4 orang, Dayak 2 orang, Banjar 1 orang, Timor 1 orang, dan Ambon 2 orang.
Soegito mendapat nomor stambuk taruna 5026. Angka 5 menunjukkan bahwa mereka itu angkatan kelima dihitung sejak Akademi Militer Yogya, yaitu Angkatan 1 dan 2 di Yogya, Angkatan 3 dari KMA Breda, dan Angkatan 4 yang masuk tahun 1957 rombongan Edi Sudrajat, Syaiful Sulun, dan lain-lain.
Soegito mengungkapkan cerita menarik dan menegangkan di balik usahanya untuk diterima di Akademi Militer Nasional (AMN) yang kini dikenal sebagai Akademi Militer (Akmil) di Magelang.
Sejak kecil, Soegito sudah memiliki impian besar untuk menjadi taruna di AMN. Namun, perjalanan menuju impian tersebut penuh dengan rintangan.
Keterbatasan finansial dan kesulitan akses informasi, Soegito menghadapi berbagai tantangan yang harus diatasi. Bagi mantan Pangkostrad ini, menjadi tentara pilihan yang paling menarik karena biaya pendidikan ditanggung sepenuhnya oleh negara.
Dengan informasi yang sangat terbatas itulah, ia dan beberapa temannya di SMA berniat menjadi tentara. Celakanya, semua proses seleksi untuk masuk ke AMN di Magelang diadakan di Semarang.
Proses seleksi berlangsung sebelum ada pengumuman hasil ujian akhir SMA. Bolak-balik ke Semarang tidak hanya menyita waktu tapi juga menguras isi kantong.
Dengan uang saku yang selalu pas-pasan dan kadang kurang, Soegito memang harus bisa mengatur sendiri keuangannya agar ketika dibutuhkan bisa langsung berangkat ke Semarang. Ketika itu setiap hasil seleksi disampaikan lewat surat, sehingga selalu butuh waktu antara satu seleksi ke seleksi berikutnya.
Karena sering bolak-balik ke Semarang, akhirnya kakaknya jadi tahu apa yang sedang dikerjakannya. Tanpa butuh waktu lama, berita itupun dengan cepat sampai di Cilacap, tempat orang tuanya tinggal. Suatu hari ketika bertandang ke Cilacap untuk meminta restu orang tua, Soegito dipanggil ayahnya.
Sambil memberi nasihat dan wejangan layaknya orang tua kepada anaknya, Soeleman lalu menyuruhnya mengambil selembar daun sirih dan gelas diisi air putih.
"Gito, ini daun sirih kamu gulung. Lalu kamu potong tiga kali persis di atas gelasnya," ujar Soeleman kepada Soegito sambil menyodorkan sebuah pisau dikutip dari buku "Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen", Selasa (17/9/20224).
Dengan pikiran polos, Soegito pun menuruti perintah bapaknya . Dalam tiga kali sayatannya, ketiga potongan daun sirih itu ndilalah masuk ke dalam gelas. "Alhamdulilah Gito," ucap bapaknya yang membuat Soegito bengong apa maksudnya.
Tanpa menunggu putranya bertanya lebih jauh, Soeleman pun menjelaskan. "Kamu jadi alat negara, kamu meninggal tidak dalam tugas." Mendengar itu, sang ibu yang duduk tidak terlalu jauh, langsung nyeletuk. "Alah, percaya sama Gusti Allah saja Gito."
Walaupun ongkos jalan dan penginapan di Semarang mendapat penggantian dari Panitia Seleksi AMN, tetap saja masih diperlukan biaya tambahan. Oleh sebab itu, Soegito lalu menjual sepedanya yang telah dipakainya selama lebih dari tiga tahun, yaitu sejak di SMP Cilacap sampai SMA di Purwokerto. Lumayanlah dapat tambahan dana.
Pada saat datang panggilan terakhir ke Semarang di tahun 1958, maka setiap calon harus membawa ijazah asli kelulusannya. Begitu juga Soegito, ia harus mendapatkan ijazah SMA sebelum menemui personel bagian penerimaan taruna di Semarang. Untuk itu ia harus menghadap Kepala Sekolah Soemarmo.
Soegito menyampaikan maksudnya kepada kepala sekolah untuk mengambil ijazah. Sambil mengangguk-anggukan kepalanya, Soemarno lalu membuka sebuah buku besar. Matanya bergerak cepat mencari nama Soegito di antara daftar nama siswa. "Wah, siswa Gito kamu belum melunasi pembayaran uang gedung," tuturnya datar yang ditanggapi Soegito sambil diam dan sedikit menundukkan kepala.
"Tapi maaf saya sudah tidak punya uang lagi Pak karena sudah bolak-balik ke Semarang dan besok harus kembali ke Semarang terus ke Cimahi," jawabnya gelagapan.
Sempat terpikir meminjam uang kepada kakaknya, tapi Soegito merasa malu. Bayangan ibunya melintas saat terakhir memberikan uang untuk membayar keperluan terkait kelulusan di sekolahnya. Namun uangnya sudah terpakai untuk berbagai keperluan termasuk ongkos ke Semarang.
"Tapi siswa Gito harus membayarnya, bagaimana," suara Pak Marmo meninggi dan langsung membuyarkan lamunannya.
"Pak, saya benar-benar sudah tidak punya uang," pinta Soegito. "Ya sudah, nih," jawab kepala sekolah sambil menyodorkan ijazahnya dengan agak terpaksa.
Selain harus mengantongi ijazah, seorang calon juga sudah harus membawa surat keterangan tanda persetujuan dari orang tua untuk mengikuti pendidikan AMN. Kalau harus pergi lagi ke Cilacap, jelas saja butuh waktu dan ongkos. Sementara uangnya sudah pas-pasan.
Saat itu dari Purwokerto ke Cilacap cukup menyita waktu karena terbatasnya jumlah bus dan kondisi jalan yang rusak berat. Perjalanan darat sekitar dua sampai tiga jam melalui Sokaraja, Banyumas, Kota Buntu, Kroya, lalu melewati jembatan Serayu sebelum tiba di Cilacap.
Jalan lainnya melewati jembatan Maos tidak bisa dilewati karena kondisi jembatannya masih rusak setelah sengaja dihancurkan gerilyawan semasa Perang Kemerdekaan. "Makanya saya makin malas ke Cilacap," ucap Soegito.
Setelah menimbang-nimbang cukup lama, Soegito pun akhirnya menemukan cara paling mudah. Memalsukan tanda tangan bapaknya. Soegito memang paling pintar meniru tanda tangan, mungkin karena bakat menggambar dan kemampuan menulisnya yang bagus. Tidak hanya tanda tangan bapaknya, tanda tangan kakak iparnya pun ia bisa.
Alhasil setelah surat keterangan orang tua selesai diketik, tanpa kesulitan Soegito pun membubuhkan tanda tangan bapaknya di lembar persetujuan. "Selain ngirit, saya masuk AMN kan atas risiko saya dan kalau terjadi apa-apa kan urusan saya," Soegito beralasan.
Panggilan terakhir yang ditunggu pun datang. Nah, ini merupakan jawaban bahwa Soegito termasuk yang terpilih untuk mengikuti seleksi tahap akhir di Cimahi, Bandung. Pada hari yang ditentukan, Soegito telah berada di tempat seleksi calon taruna di Semarang. Di sini dikumpulkan semua calon taruna yang berasal dari Jawa Tengah, sekitar 100-an orang.
Mereka kemudian diberangkatkan ke Bandung dengan menumpang kereta api. Selama di perjalanan dari Semarang ke Bandung, mereka yang berasal dari Banyumas dan Purwokerto lebih memilih diam daripada ikutan teriak-teriak sambil becanda. Maklum, gaya bicara Banyumasan yang dikenal ngapak-ngapak dan dinilai kampungan. Seringkali jadi bahan tertawaan bagi yang mendengar. Di antara calon taruna yang suka ngeledek anak Banyumas adalah Pramono dan kelompoknya dari Yogya.
Terdapat ratusan orang calon taruna saat itu berkumpul di Garnisun Cimahi dari seluruh Indonesia. Beragam tingkah dan gaya mereka, sesuai karakter aslinya. Ada yang agak urakan, bergaya makelar, namun juga ada yang berpenampilan dewasa. Untuk penginapan, mereka ditampung di dua tempat yang salah satunya di Pusat Pendidikan Angkutan TNI AD di Cimahi. Di sini mereka ditempatkan selama hampir sebulan.
Sejak tiba di Cimahi, mereka mulai mendapatkan suasana yang berbeda. Mereka untuk pertama kali mengenal tradisi kemiliteran seperti apel. Setiap pagi mereka juga harus melaksanakan senam pagi di tengah dinginnya udara Cimahi sambil bertelanjang dada, mengenakan pakaian dinas yang selalu kedodoran atau menyandang senapan Lee Enfield (LE) yang melecetkan pundak mereka. Tapi karena semua datang dengan tekad yang sama untuk menjadi taruna, maka apa pun rintangan yang diterima dijalani dengan tegar.
Seperti sebelumnya, seleksi yang harus dijalani di Cimahi tidak jauh beda dengan yang sudah mereka jalani di daerah masing-masing. Mencakup ujian Badan I dan II, ujian Psychotechnic, I dan II, dan Ketangkasan Jasmani. Sepertinya selalu begitu, lagi dan lagi diperiksa sepertinya memastikan keakuratan data dari seleksi terdahulu.
Kepada setiap peserta diberikan pakaian satu stel berwarna hijau yang ukurannya "nasib-nasiban". Maksudnya beruntung jika dapat seukuran badan. Namun tidak sedikit yang dapat pakaian berukuran lebih kecil atau malah kedodoran. Soegito sendiri dapat pakaian yang ukurannya lebih besar, sehingga harus dijahitnya sendiri supaya pas di badan. Dengan modal satu stel pakaian hijau itulah mereka mengikuti seleksi.
Paling seru pada saat tes renang. Mereka yang tidak bisa renang sudah keder duluan sebelum nyemplung ke kolam. Anehnya, ada yang tidak bisa berenang tapi kok bisa lolos. Mungkin karena yang menguji kurang teliti. Seperti Budihardjo, yang tidak bisa berenang tapi lolos. Ketika sudah jadi perwira, sambil berseloroh dia pernah bilang kepada teman-temannya begini. "Salah satu keuntungan saya masuk AMN adalah bisa berenang ha..ha..ha..." ujarnya bangga.
Melewati masa pengujian akhir di Cimahi ini cukup melelahkan. Namun Soegito menjalani dengan semangat, berusaha keras menyelesaikan setiap ujian yang dilaluinya. Mampunya Soegito melewati setiap tahap seleksi fisik, tentu tidak terlepas dari kegemarannya berolahraga. Kelenturan tubuhnya mungkin menjadi kelebihannya dibanding teman-temannya yang mengikuti seleksi waktu itu.
Wajar saja, senam merupakan salah satu olahraga yang disukainya. Meliuk-liukkan badan di atas kuda-kuda dan keseimbangan balok plus salto bisa dilakukannya. Semua kelebihan dalam olah fisik ini sangat dirasakan manfaatnya ketika ia menjadi anggota Kopassus.
Di akhir masa seleksi diumumkanlah hasilnya. Disampaikan bahwa peserta yang dinyatakan lulus berjumlah 170 orang. Kegembiraan merebak di antara mereka yang namanya disebutkan, namun tidak demikian kepada yang sebaliknya.
Muka mereka tertunduk lesu, seperti kehilangan kekuatan karena tidak menyangka akan gagal setelah melalui tahapan seleksi yang sangat melelahkan. Pramono termasuk ke dalam kelompok ini. Hebatnya dia, mencoba lagi di tahun berikutnya dan malah dinyatakan lulus. Beberapa teman lain yang gagal, ternyata diterima di AAL dan AAU.
Mereka yang berjumlah 170 orang itu, berasal dari berbagai suku di Tanah Air. Rinciannya sebagai berikut Aceh 1 orang, Batak 12 orang, Minang 1 orang, Palembang 2 orang, Sunda 16 orang, Betawi 1 orang, Jawa 120 orang, Bali 1 orang, Manado 5 orang. Toraja 1 orang, Bugis Makassar 4 orang, Dayak 2 orang, Banjar 1 orang, Timor 1 orang, dan Ambon 2 orang.
Soegito mendapat nomor stambuk taruna 5026. Angka 5 menunjukkan bahwa mereka itu angkatan kelima dihitung sejak Akademi Militer Yogya, yaitu Angkatan 1 dan 2 di Yogya, Angkatan 3 dari KMA Breda, dan Angkatan 4 yang masuk tahun 1957 rombongan Edi Sudrajat, Syaiful Sulun, dan lain-lain.
(kri)