Kisah Kerajaan Kanjuruhan, Perjuangan di Tengah Kepungan Mataram Kuno
Senin, 02 September 2024 - 06:11 WIB
Di lereng timur Gunung Kawi, di tepi aliran Kali Metro, berdiri sebuah kerajaan yang megah dan penuh kejayaan. Kerajaan Kanjuruhan , sebuah nama yang mungkin tak seterkenal kerajaan lain di Jawa Timur, namun memiliki sejarah yang panjang dan gemilang. Kanjuruhan merupakan kerajaan tertua di wilayah ini, sejajar dengan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, berdiri kokoh pada abad ke-6 hingga ke-7 Masehi.
Kerajaan Kanjuruhan mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Gajayana. Prasasti Dinoyo, yang ditemukan di sekitar Sungai Metro, mencatat kebesaran kerajaan ini pada tahun 760 Masehi. Di bawah kepemimpinan Gajayana, kekuasaan Kanjuruhan meluas hingga ke lereng timur dan barat Gunung Kawi, mencakup Pegunungan Tengger Semeru, pesisir Laut Jawa di utara, hingga pantai selatan Pulau Jawa. Gajayana dikenal sebagai raja yang bijaksana dan tangguh, memimpin dengan tangan yang kokoh namun penuh dengan kebijaksanaan.
Namun, setelah Raja Gajayana wafat, Kanjuruhan mulai mengalami kemunduran. Kerajaan ini dipimpin oleh menantu Gajayana, Pangeran Jananiya, yang menikahi satu-satunya putri Gajayana, Uttejana. Meskipun mereka berdua memimpin dengan bijaksana, ancaman dari luar mulai mengintai.
Pada tahun 847 Masehi, kekuatan baru dari Jawa Tengah mulai bangkit. Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu dari Kerajaan Mataram Kuno memulai ekspansi kekuasaannya ke timur. Gelombang kekuatan Mataram Kuno tak terbendung, meluas hingga memasuki wilayah Kanjuruhan. Pasukan Mataram, dengan strategi militer yang cerdik dan kekuatan yang besar, berhasil menaklukkan wilayah-wilayah Kanjuruhan, sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya, kerajaan yang dahulu berjaya ini hanya menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Mataram Kuno.
Keruntuhan Kerajaan Kanjuruhan bukan hanya sekadar kekalahan militer, tetapi juga simbol peralihan zaman. Di satu sisi, kerajaan ini menjadi saksi bisu dari kebesaran masa lalu, namun di sisi lain, ia juga menggambarkan bagaimana kekuatan politik dan militer dapat mengubah peta kekuasaan di tanah Jawa.
Meski kini Kerajaan Kanjuruhan telah musnah, jejak-jejak kejayaannya masih dapat ditemui di Malang Raya. Candi Badut, yang terletak di Karangwidoro, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, adalah salah satu peninggalan yang masih berdiri kokoh hingga kini. Prasasti Dinoyo, dengan catatan sejarahnya, masih menjadi saksi bisu dari masa kejayaan Kanjuruhan.
Nama Raja Gajayana dan Kanjuruhan diabadikan dalam dua stadion kebanggaan di Malang: Stadion Gajayana, stadion tertua di Indonesia, dan Stadion Kanjuruhan di Kepanjen, Kabupaten Malang. Keduanya menjadi simbol kebanggaan masyarakat Malang, mengingatkan kita akan masa lalu yang penuh dengan kejayaan dan keberanian.
Kerajaan Kanjuruhan mungkin telah lenyap dari peta kekuasaan, namun kisahnya tetap hidup, menginspirasi generasi penerus untuk selalu mengenang dan menghargai sejarah. Sebuah kerajaan yang berdiri di tengah alam yang megah, yang berjaya di masa lalu, dan meski akhirnya runtuh, tetap meninggalkan jejak yang tak terlupakan.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Kerajaan Kanjuruhan mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Gajayana. Prasasti Dinoyo, yang ditemukan di sekitar Sungai Metro, mencatat kebesaran kerajaan ini pada tahun 760 Masehi. Di bawah kepemimpinan Gajayana, kekuasaan Kanjuruhan meluas hingga ke lereng timur dan barat Gunung Kawi, mencakup Pegunungan Tengger Semeru, pesisir Laut Jawa di utara, hingga pantai selatan Pulau Jawa. Gajayana dikenal sebagai raja yang bijaksana dan tangguh, memimpin dengan tangan yang kokoh namun penuh dengan kebijaksanaan.
Namun, setelah Raja Gajayana wafat, Kanjuruhan mulai mengalami kemunduran. Kerajaan ini dipimpin oleh menantu Gajayana, Pangeran Jananiya, yang menikahi satu-satunya putri Gajayana, Uttejana. Meskipun mereka berdua memimpin dengan bijaksana, ancaman dari luar mulai mengintai.
Pada tahun 847 Masehi, kekuatan baru dari Jawa Tengah mulai bangkit. Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu dari Kerajaan Mataram Kuno memulai ekspansi kekuasaannya ke timur. Gelombang kekuatan Mataram Kuno tak terbendung, meluas hingga memasuki wilayah Kanjuruhan. Pasukan Mataram, dengan strategi militer yang cerdik dan kekuatan yang besar, berhasil menaklukkan wilayah-wilayah Kanjuruhan, sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya, kerajaan yang dahulu berjaya ini hanya menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Mataram Kuno.
Keruntuhan Kerajaan Kanjuruhan bukan hanya sekadar kekalahan militer, tetapi juga simbol peralihan zaman. Di satu sisi, kerajaan ini menjadi saksi bisu dari kebesaran masa lalu, namun di sisi lain, ia juga menggambarkan bagaimana kekuatan politik dan militer dapat mengubah peta kekuasaan di tanah Jawa.
Meski kini Kerajaan Kanjuruhan telah musnah, jejak-jejak kejayaannya masih dapat ditemui di Malang Raya. Candi Badut, yang terletak di Karangwidoro, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, adalah salah satu peninggalan yang masih berdiri kokoh hingga kini. Prasasti Dinoyo, dengan catatan sejarahnya, masih menjadi saksi bisu dari masa kejayaan Kanjuruhan.
Nama Raja Gajayana dan Kanjuruhan diabadikan dalam dua stadion kebanggaan di Malang: Stadion Gajayana, stadion tertua di Indonesia, dan Stadion Kanjuruhan di Kepanjen, Kabupaten Malang. Keduanya menjadi simbol kebanggaan masyarakat Malang, mengingatkan kita akan masa lalu yang penuh dengan kejayaan dan keberanian.
Kerajaan Kanjuruhan mungkin telah lenyap dari peta kekuasaan, namun kisahnya tetap hidup, menginspirasi generasi penerus untuk selalu mengenang dan menghargai sejarah. Sebuah kerajaan yang berdiri di tengah alam yang megah, yang berjaya di masa lalu, dan meski akhirnya runtuh, tetap meninggalkan jejak yang tak terlupakan.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(hri)
tulis komentar anda