Kisah Eks Pasukan Jepang di Malang yang Berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia
Rabu, 21 Agustus 2024 - 11:00 WIB
Perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaan pasca 17 Agustus 1945 dipenuhi dengan kisah heroik dan pengorbanan. Di balik pertempuran yang terus berkecamuk melawan agresi militer Belanda, ada sebuah cerita luar biasa dari sekelompok eks pasukan Jepang yang memilih berpihak pada Indonesia. Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa semangat kemerdekaan mampu melampaui batas-batas nasionalisme dan sejarah perang.
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan menyerahkan kekuasaan atas Indonesia, sebagian bekas tentara Jepang memutuskan untuk tidak kembali ke negara asal mereka. Di Malang, sejumlah tentara Jepang yang pernah menjadi bagian dari pasukan pendudukan justru berbalik arah. Mereka bersimpati kepada perjuangan rakyat Indonesia dan memutuskan untuk turut serta mengangkat senjata melawan pasukan Belanda yang kembali datang untuk merebut tanah air.
Eko Irawan, seorang pemerhati sejarah dari Malang, mengungkapkan bahwa di antara bekas tentara Jepang ini, ada yang membentuk pasukan khusus yang dikenal sebagai Pasukan Gerilya Istimewa (PGI). “Pasukan ini terdiri dari orang-orang eks pasukan Jepang yang memilih untuk berjuang bersama Indonesia melawan Belanda,” jelas Eko saat ditemui di Museum Reenactor, Kota Malang.
Menariknya, beberapa anggota eks pasukan Jepang ini bahkan mengubah identitas mereka, baik dengan mengganti nama maupun memeluk agama Islam. Salah satu tokoh yang paling dikenal adalah Tatsuo-Ichiki, yang kemudian mengganti namanya menjadi Abdul Rahman. Ia menjadi penggerak utama, mengumpulkan puluhan eks tentara Jepang di wilayah Blitar dan Malang, yang kemudian membentuk PGI di bawah komando Brigade Surahmad, atau yang dikenal sebagai Brigade "S".
Kehebatan PGI tidak dapat dipandang sebelah mata. Dengan pelatihan militer yang mereka miliki, bekas tentara Jepang ini mampu melakukan serangan gerilya yang sangat terorganisir dan efektif. Salah satu serangan yang paling dikenang adalah pada 3 Oktober 1948, ketika PGI bersama laskar rakyat dari Wajak menyerang Pos Belanda di Tumpang. Serangan ini dilakukan dengan cepat dan tepat, menggunakan bahan peledak dan taktik pembakaran, yang berhasil membakar asrama pasukan Belanda dan menewaskan tiga serdadu musuh.
“Serangan ini tidak hanya menghancurkan pos Belanda di Tumpang, tetapi juga menunjukkan bahwa eks tentara Jepang yang tergabung dalam PGI memiliki kemampuan militer yang sangat tinggi, bahkan membingungkan pasukan Belanda yang awalnya mengira mereka hanya pejuang gerilya biasa,” ungkap Eko.
Kini, lokasi-lokasi bersejarah seperti Pasar Jeru Lama dan Kantor Kecamatan Tumpang, yang dulu menjadi saksi bisu perlawanan heroik ini, menyimpan cerita tentang persatuan, perjuangan, dan keberanian yang melampaui batas nasional. Kisah para eks pasukan Jepang ini tidak hanya menambah warna dalam sejarah perjuangan Indonesia, tetapi juga mengingatkan kita bahwa dalam perjuangan untuk kemerdekaan, sekutu bisa datang dari tempat yang tak terduga.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan menyerahkan kekuasaan atas Indonesia, sebagian bekas tentara Jepang memutuskan untuk tidak kembali ke negara asal mereka. Di Malang, sejumlah tentara Jepang yang pernah menjadi bagian dari pasukan pendudukan justru berbalik arah. Mereka bersimpati kepada perjuangan rakyat Indonesia dan memutuskan untuk turut serta mengangkat senjata melawan pasukan Belanda yang kembali datang untuk merebut tanah air.
Eko Irawan, seorang pemerhati sejarah dari Malang, mengungkapkan bahwa di antara bekas tentara Jepang ini, ada yang membentuk pasukan khusus yang dikenal sebagai Pasukan Gerilya Istimewa (PGI). “Pasukan ini terdiri dari orang-orang eks pasukan Jepang yang memilih untuk berjuang bersama Indonesia melawan Belanda,” jelas Eko saat ditemui di Museum Reenactor, Kota Malang.
Baca Juga
Menariknya, beberapa anggota eks pasukan Jepang ini bahkan mengubah identitas mereka, baik dengan mengganti nama maupun memeluk agama Islam. Salah satu tokoh yang paling dikenal adalah Tatsuo-Ichiki, yang kemudian mengganti namanya menjadi Abdul Rahman. Ia menjadi penggerak utama, mengumpulkan puluhan eks tentara Jepang di wilayah Blitar dan Malang, yang kemudian membentuk PGI di bawah komando Brigade Surahmad, atau yang dikenal sebagai Brigade "S".
Kehebatan PGI tidak dapat dipandang sebelah mata. Dengan pelatihan militer yang mereka miliki, bekas tentara Jepang ini mampu melakukan serangan gerilya yang sangat terorganisir dan efektif. Salah satu serangan yang paling dikenang adalah pada 3 Oktober 1948, ketika PGI bersama laskar rakyat dari Wajak menyerang Pos Belanda di Tumpang. Serangan ini dilakukan dengan cepat dan tepat, menggunakan bahan peledak dan taktik pembakaran, yang berhasil membakar asrama pasukan Belanda dan menewaskan tiga serdadu musuh.
“Serangan ini tidak hanya menghancurkan pos Belanda di Tumpang, tetapi juga menunjukkan bahwa eks tentara Jepang yang tergabung dalam PGI memiliki kemampuan militer yang sangat tinggi, bahkan membingungkan pasukan Belanda yang awalnya mengira mereka hanya pejuang gerilya biasa,” ungkap Eko.
Kini, lokasi-lokasi bersejarah seperti Pasar Jeru Lama dan Kantor Kecamatan Tumpang, yang dulu menjadi saksi bisu perlawanan heroik ini, menyimpan cerita tentang persatuan, perjuangan, dan keberanian yang melampaui batas nasional. Kisah para eks pasukan Jepang ini tidak hanya menambah warna dalam sejarah perjuangan Indonesia, tetapi juga mengingatkan kita bahwa dalam perjuangan untuk kemerdekaan, sekutu bisa datang dari tempat yang tak terduga.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(hri)
tulis komentar anda