Misteri Kakek Tua Berjenggot yang Lenyapkan Kolera di Pulau Jawa
Senin, 01 Januari 2024 - 06:49 WIB
Sebagai terima kasih dan hormatnya kepada Mbah Djugo, Bupati Blitar memberi hadiah sebidang tanah. Di atas tanah bebas pajak tersebut didirikan sebuah rumah yang dalam perjalanannya menjadi padepokan.
Sejak itu Mbah Djugo yang juga dikenal dengan panggilan Ki Ageng Djugo atau Panembahan Djugo berhenti berkelana. Ia menetap di Desa Djugo. Mulai dari rakyat jelata hingga priyayi pejabat yang datang untuk mencari kesembuhan penyakit, mengalir tak putus-putus.
Konon, dengan kehadiran Mbah Djugo, Gunung Kelud yang rutin meletus dan menimbulkan banyak korban jiwa, juga berhenti erupsi. Hingga pada tahun 1901. Gunung Kelud tiba-tiba kembali meletus, dan terulang lagi pada tahun 1919.
Ribuan penduduk Blitar banyak yang menjadi korban. Peristiwa alam tersebut terjadi setelah Mbah Djugo hijrah ke Gunung Kawi. Tepatnya tahun 1876. Padepokan Mbah Djugo di Desa Djugo, Kecamatan Kesamben ditinggalkan. Dengan berbekal kayu dari hutan Brongkos, Kecamatan Kesamben, Mbah Djugo mendirikan padepokan di lereng Gunung Kawi.
Di bawah gunung setinggi 2.860 meter. Lokasi padepokan bertempat di Dusun Wonosari, Desa Ngajum, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Di sekelilingnya banyak tumbuh rindang pohon cendana, nagasari, dewandaru, margoutomo, kepel, blimbing, kukusan, jambu dan cerme. Mbah Djugo ditemani Mbah Iman Sudjono putra angkatnya yang konon berasal dari trah priyayi Mataram.
Gunung Kawi yang berlokasi jauh dan sepi, sontak berubah ramai. Mereka yang ingin bertemu Mbah Djugo datang dari mana-mana. Tidak hanya warga Jawa Timur. Yang datang dari luar Jawa, juga tidak sedikit. Bahkan banyak diantaranya etnis Tionghoa. Tidak hanya mencari obat kesembuhan atas penyakit yang diderita.
Berbagai persoalan hidup juga disampaikan kepada Mbah Djugo untuk dimintakan jalan keluar. Sebagai wujud rasa syukur. Mereka yang harapannya terkabul, seringkali membuat tumpeng untuk dimakan bersama.
Dalam perjalanannya ungkapan rasa syukur tersebut menjadi tradisi mereka yang datang ke Gunung Kawi. Tahun 1879. Tepatnya Minggu Legi, bulan Selo (Penanggalan Jawa). Mbah Djugo tutup usia.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Mbah Djugo menjalani laku tapa Ngelowong. Yakni tidak makan minum dan hanya menghirup udara selama 36 hari. "Pada hari ke-37, dengan diiringi oleh Raden Mas Iman Sudjono dan sekalian cantrik hulugintung Mbah Djugo berangkat dari padepokannya naik menuju tempat pekuburannya," tulis Im Yang Tju.
Di liang kubur, dalam posisi duduk bersila Mbah Djugo menghembuskan nafas terakhirnya. Konon liang lahat tersebut disiapkan oleh tangan Mbah Djugo sendiri tujuh tahun sebelumnya (1872). Sekitar delapan tahun kemudian.
Sejak itu Mbah Djugo yang juga dikenal dengan panggilan Ki Ageng Djugo atau Panembahan Djugo berhenti berkelana. Ia menetap di Desa Djugo. Mulai dari rakyat jelata hingga priyayi pejabat yang datang untuk mencari kesembuhan penyakit, mengalir tak putus-putus.
Konon, dengan kehadiran Mbah Djugo, Gunung Kelud yang rutin meletus dan menimbulkan banyak korban jiwa, juga berhenti erupsi. Hingga pada tahun 1901. Gunung Kelud tiba-tiba kembali meletus, dan terulang lagi pada tahun 1919.
Ribuan penduduk Blitar banyak yang menjadi korban. Peristiwa alam tersebut terjadi setelah Mbah Djugo hijrah ke Gunung Kawi. Tepatnya tahun 1876. Padepokan Mbah Djugo di Desa Djugo, Kecamatan Kesamben ditinggalkan. Dengan berbekal kayu dari hutan Brongkos, Kecamatan Kesamben, Mbah Djugo mendirikan padepokan di lereng Gunung Kawi.
Di bawah gunung setinggi 2.860 meter. Lokasi padepokan bertempat di Dusun Wonosari, Desa Ngajum, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Di sekelilingnya banyak tumbuh rindang pohon cendana, nagasari, dewandaru, margoutomo, kepel, blimbing, kukusan, jambu dan cerme. Mbah Djugo ditemani Mbah Iman Sudjono putra angkatnya yang konon berasal dari trah priyayi Mataram.
Gunung Kawi yang berlokasi jauh dan sepi, sontak berubah ramai. Mereka yang ingin bertemu Mbah Djugo datang dari mana-mana. Tidak hanya warga Jawa Timur. Yang datang dari luar Jawa, juga tidak sedikit. Bahkan banyak diantaranya etnis Tionghoa. Tidak hanya mencari obat kesembuhan atas penyakit yang diderita.
Berbagai persoalan hidup juga disampaikan kepada Mbah Djugo untuk dimintakan jalan keluar. Sebagai wujud rasa syukur. Mereka yang harapannya terkabul, seringkali membuat tumpeng untuk dimakan bersama.
Dalam perjalanannya ungkapan rasa syukur tersebut menjadi tradisi mereka yang datang ke Gunung Kawi. Tahun 1879. Tepatnya Minggu Legi, bulan Selo (Penanggalan Jawa). Mbah Djugo tutup usia.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Mbah Djugo menjalani laku tapa Ngelowong. Yakni tidak makan minum dan hanya menghirup udara selama 36 hari. "Pada hari ke-37, dengan diiringi oleh Raden Mas Iman Sudjono dan sekalian cantrik hulugintung Mbah Djugo berangkat dari padepokannya naik menuju tempat pekuburannya," tulis Im Yang Tju.
Di liang kubur, dalam posisi duduk bersila Mbah Djugo menghembuskan nafas terakhirnya. Konon liang lahat tersebut disiapkan oleh tangan Mbah Djugo sendiri tujuh tahun sebelumnya (1872). Sekitar delapan tahun kemudian.
Lihat Juga :
tulis komentar anda