Kontroversi Sultan Yogya IV, dari Skandal Seks hingga Penunjukan Etnis Tionghoa Jadi Pejabat

Rabu, 22 November 2023 - 07:26 WIB
Sultan Hamengkubuwono IV. Foto/Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Sultan Hamengkubuwono IV naik tahta di Keraton Yogyakarta usai pendahulunya Hamengkubuwono III mangkat. Perjalanan waktu pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV konon memiliki kontroversi ketika bertahta pada 1814 hingga 1822.

Sang Sultan Yogya ini konon sering digambarkan sebagai pribadi yang tidak bersih hatinya. Konon hal ini karena kebiasaannya yang kerap bersenang-senang dan memiliki beberapa skandal pribadi, sebagaimana dikutip dari "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785 -1855.

Sejalan dengan berlalunya waktu, sifat-sifat yang suka mencari kenikmatan diri sendiri ini mulai menggerogoti kepribadiannya. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IV (1814- 1822), ia sering digambarkan sebagai sosok yang "tidak bersih hatinya".



Kegemaran bersenang-senang dan besarnya ambisi pribadi membuatnya menyalahgunakan kekuasaan. Konon dari sana sering tercium ada aroma suap dan skandal seks dalam kasus-kasus yang ditangani dan diputuskan di penghakiman Kepatihan.



Di masa Perang Jawa, korupsi memang merajalela. Salah satu teks Jawa dari masa itu menyebutnya sebagai "setan berbaju manusia" atau istilahnya sétan kulambi manungsa, yang "merampok uang rakyat sembari duduk-duduk.

Kontroversi lainnya yakni adanya kebijakan pengangkatan Kapitan Cina, Tan Jin Sing. Ia menjabat dari 1803 - 1813 sebagai Bupati Yogya dengan gelar Raden Tumenggung Secodiningrat dengan tanah jabatan 800 cacah.

Sebagian besar tanah ini berlokasi di Lowanu di sebelah timur Bagelen. Surat penunjukannya pada 6 Desember 1813 secara tegas menyatakan, ia diberi gelar tersebut dalam rangka penghargaan atas pengabdiannya kepada Inggris. Keputusan pengangkatan atau penunjukkan ini pasti dibuat keraton di bawah tekanan.

Sebab, belum pernah ada cerita seorang Tionghoa diberi jabatan yang demikian tinggi di lingkungan Keraton Yogya. Memang benar, di abad ke-17 dan awal abad ke-18, pernah ada kasus dimana orang-orang Tionghoa pemungut pajak dari para petani diberi wewenang mengelola distrik-distrik administratif di Pantai Utara atas nama penguasa Mataram.

Namun hal ini tidak pernah terjadi lagi di masa pasca Perjanjian Giyanti. Sultan Mangkubumi secara tegas melarang orang Tionghoa menjalin hubungan yang terlampau dekat dengan keluarga keraton, dengan alasan bahwa hal tersebut dapat mengakibatkan ketidakharmonisan.

Kedudukan serba sulit dari Kapitan Cina, yang harus bermain di antara tiga dunia, kemudian teringkaskan dalam olok-olok gaya khas Yogya "tidak lagi Cina, Belanda belum, Jawa pun tanggung" (cina wurung, londo durung, jawa tanggung), kondisi yang mirip dengan kondisi orang Jawa yang menerima pendidikan asing seperti putra-putra Suro-Adimenggolo.
(hri)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content