Cerita Kolonial Belanda Ajarkan Gaya Hidup Tenggak Miras dan Makan Kentang
Kamis, 02 Maret 2023 - 08:29 WIB
Kebanyakan minuman keras impor, yakni terutama yang datang dari Paris merupakan minuman mahal. Anggur, whiskey atau cognag banyak muncul di pesta-pesta mewah dan bergengsi kaum elit di Batavia, utamanya orang-orang Eropa.
Gaya hidup kaum borjuasi barat itu diam-diam mencuri perhatian kaum elit bangsawan, yakni para priyayi, aristokrat bumi putera yang kerap dilibatkan dalam pesta.
Mereka kemudian menirunya, termasuk berusaha menjangkau miras harga mahal. Karena menunjukkan status sosial, para mandor pribumi, kepala desa, pegawai kuli perkebunan, akan merasa mendapat status sosial berbeda ketika berhasil menenggak miras harga mahal.
Tingkah laku pribumi di Batavia banyak yang berubah kebarat-baratan. Selain menenggak miras, mereka juga mulai gemar menyantap kentang.
Kebiasaan menghadirkan miras di setiap aktifitas meluas hingga pribumi kelas bawah. Kuli-kuli perkebunan, kuli lepas di tempat pelelangan ikan serta buruh-buruh desa mulai membiasakan diri.
Pada masa lalu, pribumi telah memiliki minuman kerasnya sendiri. Yakni sadjeng dan badeg yang berasal dari fermentasi beras ketan.
Kalaupun tak mampu menjangkau miras mahal, pribumi cukup puas dengan arak yang terklasifikasi paling bawah. Di mana dari situ kemudian muncul budaya oplosan atau kebiasaan mencampur minuman.
Gaya hidup penguasa pada masa pemerintahan kolonial, utamanya terkait budaya minum itu telah menjadi sebuah keharusan. Penguasa diharuskan bergaya hidup dengan ciri dan lambang yang berbeda dengan pribumi.
“Ciri-ciri dan lambang yang berbeda dengan rakyat yang dijajahnya sebagai upaya untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesarannya,” demikian yang tertulis dalam catatan Minuman Keras di Batavia Akhir Abad XIX.
Lihat Juga: Ribuan Pasukan Mati Akibat Wabah, Belanda Kesulitan Perangi Pangeran Diponegoro dan Tentaranya
Gaya hidup kaum borjuasi barat itu diam-diam mencuri perhatian kaum elit bangsawan, yakni para priyayi, aristokrat bumi putera yang kerap dilibatkan dalam pesta.
Mereka kemudian menirunya, termasuk berusaha menjangkau miras harga mahal. Karena menunjukkan status sosial, para mandor pribumi, kepala desa, pegawai kuli perkebunan, akan merasa mendapat status sosial berbeda ketika berhasil menenggak miras harga mahal.
Tingkah laku pribumi di Batavia banyak yang berubah kebarat-baratan. Selain menenggak miras, mereka juga mulai gemar menyantap kentang.
Kebiasaan menghadirkan miras di setiap aktifitas meluas hingga pribumi kelas bawah. Kuli-kuli perkebunan, kuli lepas di tempat pelelangan ikan serta buruh-buruh desa mulai membiasakan diri.
Pada masa lalu, pribumi telah memiliki minuman kerasnya sendiri. Yakni sadjeng dan badeg yang berasal dari fermentasi beras ketan.
Kalaupun tak mampu menjangkau miras mahal, pribumi cukup puas dengan arak yang terklasifikasi paling bawah. Di mana dari situ kemudian muncul budaya oplosan atau kebiasaan mencampur minuman.
Gaya hidup penguasa pada masa pemerintahan kolonial, utamanya terkait budaya minum itu telah menjadi sebuah keharusan. Penguasa diharuskan bergaya hidup dengan ciri dan lambang yang berbeda dengan pribumi.
“Ciri-ciri dan lambang yang berbeda dengan rakyat yang dijajahnya sebagai upaya untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesarannya,” demikian yang tertulis dalam catatan Minuman Keras di Batavia Akhir Abad XIX.
Lihat Juga: Ribuan Pasukan Mati Akibat Wabah, Belanda Kesulitan Perangi Pangeran Diponegoro dan Tentaranya
(msd)
tulis komentar anda