Rupiah Makin Loyo

Kamis, 18 Juni 2015 - 09:01 WIB
Rupiah Makin Loyo
Rupiah Makin Loyo
A A A
Tiarap. Cukup satu kata itu untuk menggambarkan reaksi para pelaku bisnis menghadapi keperkasaan mata uang Negeri Paman Sam yang terus melemahkan nilai tukar rupiah.

Pada penutupan perdagangan kemarin di pasar spot mata uang, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada level Rp13.348 per USD dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya yang bertengger di posisi Rp13.347 per USD. Kurs Bank Indonesia juga turut terkoreksi dari posisi Rp13.333 per USD ke level Rp13.367 per USD.

Melihat kecenderungan rupiah yang terus ”tenggelam”, sejumlah analis ekonomi mulai berani memprediksi rupiah bisa berada di level Rp15.000 per USD pada akhir tahun, dengan alasan belum ada indikator yang kuat bisa menahan keperkasaan dolar AS, justru faktor pelemah semakin variatif. Mulai kebutuhan dolar AS sejumlah perusahaan besar dalam waktu dekat semakin mendesak, beberapa aktivitas bisnis termasuk di pelabuhan masih bertransaksi dengan mata uang AS, situasi perekonomian global yang masih kurang bersahabat, dan rencana bank sentral AS (The Fed) yang akan menaikkan suku bunga.

Di dalam negeri memang terdapat faktor positif dengan terbukukan surplus neraca perdagangan pada Mei lalu, namun tidak cukup untuk menarik nilai tukar rupiah yang terus merosot. Sebaliknya, indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sempat menembus level di atas 5.000 lalu terkoreksi tajam dalam beberapa pekan ini mulai berbalik arah. Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks kembali berotot dengan kenaikan 73,15 poin atau 1,5% pada level 4.945,75 dibandingkan penutupan perdagangan sehari sebelumnya.

Tercatat nilai transaksi sebesar Rp5 triliun dengan volume 5,11 miliar lot saham. Hampir semua sektor memperlihatkan zona hijau dan tercatat sebanyak 208 harga saham naik, sekitar 83 harga saham turun dan terdapat 87 harga saham stagnan. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah mencapai 7,7% dari sejak awal 2015, menjadikan mata uang Garuda sebagai salah satu mata uang yang terdepresiasi cukup dalam di antara mata uang di kawasan regional.

Awal tahun, posisi rupiah masih tercatat pada kisaran Rp12.400 per USD dan terus menanjak hingga nyaris menembus Rp13.500 per USD dalam pekan ini. Dari sisi internal, faktor pelemahan rupiah tidak bisa dipisahkan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang melambat dengan pencapaian jauh dari target pemerintah.

Faktor eksternal dipicu oleh antisipasi investor terhadap rencana kenaikan tingkat suku bunga The Fed. Memang, BI terus berjibaku untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, misalnya menerbitkan aturan kewajiban menggunakan rupiah untuk setiap transaksi di dalam negeri. Hal itu dituangkan dalam Surat Edaran BI (SEBI) N0 17/11/DKSP tertanggal 1 Juni 2015 menyangkut Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Indonesia.

Pihak bank sentral menyatakan kebijakan itu bukan hanya sebatas untuk menarik keterpurukan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tetapi lebih jauh adalah persoalan kedaulatan rupiah di negeri sendiri. Karena itu, BI akan mengenakan sanksi berupa denda ataupun kurungan bila terbukti ada pihak yang melanggar aturan tersebut. Berdasarkan data BI yang dirilis belum lama ini, nilai transaksi valuta asing (valas) oleh perusahaan domestik sebesar USD6 miliar atau sekitar Rp60 triliun dengan asumsi kurs sebesar Rp13.000 per USD.

Transaksi yang menggunakan dolar AS didominasi oleh pembayaran di perusahaan minyak dan gas, manufaktur dan pelabuhan. Pihak BI menyatakan nilai transaksi tersebut sangat fantastis sehingga harus diminimalisasi. Kita berharap kebijakan BI tersebut dapat segera berdampak positif untuk menegakkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sebab nilai tukar mata uang yang terus merosot salah satu leading indicator economy menuju resesi.

Kita tidak tahu sampai kapan rupiah bangkit lagi, tetapi yang pasti kalangan pelaku bisnis mulai sibuk menghitung ulang bagaimana mengantisipasi pelemahan rupiah, bahkan beberapa industri terutama industri padat karya seperti pabrik sepatu dan garmen sudah merumahkan karyawan. Aktivitas perdagangan elektronik juga mulai lesu sebagai dampak penguatan mata uang Paman Sam.
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3640 seconds (0.1#10.140)