Kampoeng Siaga Maling
A
A
A
Hingga akhir 2014, Mojo merupakan salah wilayah yang menjadi sasaran para pencuri beraksi. Maling-maling sering menyatroni kawasan tersebut karena banyak terdapat kos-kosan maupun kontrakan mahasiswa. Dibanding penghuni asli, para mahasiswa ini sering kali teledor sehingga kesempatan itulah yang membuat aksi pencurian sering terjadi.
Salah satu korbannya adalah Ubaid, mahasiswa Universitas Airlangga (Unair). Ketika itu dia bertandang ke kontrakan temannya di kawasan tersebut. Dia hanya masuk sebentar, sedangkan motor Yamaha Jupiternya diparkir di tepi jalan. Motor itu sudah dikunci setir, tetapi kunci pengamannya tidak ditutup. Sekitar 5 menit kemudian, dia keluar dan mendapati motornya tidak ada.
“Padahal saya itu hanya sebentar. Motor sudah saya kunci, cuma memang kunci magnetnya tidak saya tutup,” tuturnya dengan logat Madura. Kasus yang dialami Ubaid hanya satu dari sekian banyak kejadian pencurian lainnya. Intensitas kejahatan Pasal 363 itu tidak hanya membuat para mahasiswa selalu waswas dan memendam dendam, tetapi warga Mojo juga merasakan amarah yang sama.
Bahkan, amarah itu dilampiaskan dengan menghajar massa hingga babak belur ketika berhasil ditangkap. Salah satu aksi massa main hakim sendiri itu adalah saat ada pencurian di Mojo III sekitar Oktober 2014. Maling itu bernama AN, warga Kedinding Lor, Surabaya. Sebelum beraksi, pria 35 tahun itu menyaru seperti mahasiswa yang sedang mencari tempat kos.
Dengan alasan itu, dia keluarmasuk tempat kos hingga akhirnya beraksi di tempat Ahmad di Jalan Karangmenjangan III. Korban saat itu curiga dengan gerak-gerik pelaku. Saat diawasi, ternyata pelaku menggasak ponsel yang tergeletak di kamar kos. Pelaku belum puas hingga akan menggasak dompet korban. Korban langsung memergokinya. Lha kok ndilalah , pencuri itu menantang duel korban.
Namun, itu belum terjadi karena pelaku kabur. Melihat itu, korban berusaha mengejar sambil berteriak maling. “Maling itu sempat berhenti dan malah menantang duel korban,” kata Aji, mahasiswa asal Banyuwangi yang menjadi saksi peristiwa itu. “Mungkin dikira warga tidak peduli. Tapi perkiraannya salah, warga yang dari tadi nongkrong di warung kopi langsung menyerbu,” ujar Aji yang tidak bisa lupa dengan kejadian itu karena massa begitu brutal dan amarahnya begitu mengerikan.
Pelaku itu pun sampai babak belur dan berdarah akibat amukan massa. Setelah itu, bandit nahas tersebut diserahkan ke Polsek Gubeng. “Bagaimana tidak parah, lha wong dia dihajar tidak hanya pakai tangan, tapi juga benda keras. Saya sendiri tidak tega melihatnya. Tapi bagaimana lagi, warga sudah telanjur marah karena sering sekali ada pencurian,” lanjutnya.
Sekitar sebulan lalu kami melintas di kawasan Mojo. Di kampung itu banyak terpasang spanduk berwarna merah dengan tulisan “Kampoeng Siaga Maling” ada juga “Ayo Kang Dulur Kabeh Warga Mojo, Mosok Re Kampoenge Diobok-obok Maling Terus”. Mungkin tidak ada yang aneh atau unik atau luar biasa dari bunyi spanduk tersebut, meski dominasi warna merah secara hermeneutik bisa dimaknai sebagai keberanian serta kemarahan terhadap aksiaksi pencurian.
Namun, ada spanduk yang berbeda di Mojo I, yang tertulis “Kampoeng Siaga Maling, Matek Yo Wes Maling e....”. Ekspresi Spontan Berefek Deterrent “Mengerikan sekali tulisan di spanduk itu. Sebuah ancaman pembunuhan yang disebar secara terang-terangan,” kata Mashuri, peneliti di Balai Bahasa Surabaya.
Dia menerangkan, bahasa yang digunakan memang khas Suroboyoan yang blak-blakan tanpa basa-basi. “Bahasanya sudah sangat verbal tidak ada yang tidak tahu maknanya. Itu jelas ditujukan kepada siapa saja yang hendak mencuri agar tidak mencoba-coba atau nyawa taruhannya,” ujar Mashuri. Sementara itu, Lurah Mojo Maria Agustin mengakui pemasangan spanduk itu memang dipicu maraknya aksi pencurian.
“Kita memang kan ada program FKPM (Forum Kemitraan Polisi Masyarakat). Salah satunya memang pencanangan Kampung Siaga Maling tersebut,” ujar Maria. Pemasangan spanduk-spanduk tersebut merupakan salah satu upaya untuk menekan aksi pencurian. “Di wilayah Mojo memang banyak koskosan sehingga sering jadi target para pencuri,” tandasnya.
Diharapkan dengan pemasangan spanduk itu, para pelaku pencurian tidak berani beraksi di wilayah Mojo karena warga selalu siaga. Terkait spanduk ancaman yang sangat sarkas, Maria pun tidak menampik. “Iya, itu ada di sekitar Mojo I,” katanya sambil tertawa kecil. “Memang sangat kasar, tetapi itu adalah bentuk spontanitas warga yang sudah terlalu geram terhadap para pencuri.
Spandukspanduk tersebut murni inisiatif warga yang dibuat dengan dana swadaya,” bebernya. Meski demikian, dia mengatakan, warganya tidak akan melakukan pembunuhan terhadap pelaku pencurian. “Warga tidak akan melakukan hal sekejam itu. Tulisan itu hanya shock therapy agar pencuri tidak berani beraksi.
Sebab, warga sudah melakukan pengamanan di lingkungannya serta selalu berkoordinasi dengan Polsek Gubeng,” tandas Maria. Kapolsek Gubeng Kompol Bagus Dwi Rusiawan mengaku sudah memerintahkan Bhabinkamtibmas untuk selalu melakukan patroli dialogis di wilayah binaannya masing-masing. “Masyarakat selalu diimbau agar tidak main hakim sendiri.
Bhabin kamtibmas juga selalu blusukan untuk berkoordinasi dengan warga agar tercipta situasi yang aman dan kondusif,” ucap mantan Kapolsek Tandes ini. Menurut dia, jika ada spanduk yang berbunyi agak sarkas, itu hanya untuk efek deterrent agar para pelaku tidak berani beraksi di wilayah tersebut. “Itu memang spontanitas warga yang geram dengan ulah pelaku. Itu bisa untuk efek deterrent ,” pungkasnya.
Zaki zubaidi
Salah satu korbannya adalah Ubaid, mahasiswa Universitas Airlangga (Unair). Ketika itu dia bertandang ke kontrakan temannya di kawasan tersebut. Dia hanya masuk sebentar, sedangkan motor Yamaha Jupiternya diparkir di tepi jalan. Motor itu sudah dikunci setir, tetapi kunci pengamannya tidak ditutup. Sekitar 5 menit kemudian, dia keluar dan mendapati motornya tidak ada.
“Padahal saya itu hanya sebentar. Motor sudah saya kunci, cuma memang kunci magnetnya tidak saya tutup,” tuturnya dengan logat Madura. Kasus yang dialami Ubaid hanya satu dari sekian banyak kejadian pencurian lainnya. Intensitas kejahatan Pasal 363 itu tidak hanya membuat para mahasiswa selalu waswas dan memendam dendam, tetapi warga Mojo juga merasakan amarah yang sama.
Bahkan, amarah itu dilampiaskan dengan menghajar massa hingga babak belur ketika berhasil ditangkap. Salah satu aksi massa main hakim sendiri itu adalah saat ada pencurian di Mojo III sekitar Oktober 2014. Maling itu bernama AN, warga Kedinding Lor, Surabaya. Sebelum beraksi, pria 35 tahun itu menyaru seperti mahasiswa yang sedang mencari tempat kos.
Dengan alasan itu, dia keluarmasuk tempat kos hingga akhirnya beraksi di tempat Ahmad di Jalan Karangmenjangan III. Korban saat itu curiga dengan gerak-gerik pelaku. Saat diawasi, ternyata pelaku menggasak ponsel yang tergeletak di kamar kos. Pelaku belum puas hingga akan menggasak dompet korban. Korban langsung memergokinya. Lha kok ndilalah , pencuri itu menantang duel korban.
Namun, itu belum terjadi karena pelaku kabur. Melihat itu, korban berusaha mengejar sambil berteriak maling. “Maling itu sempat berhenti dan malah menantang duel korban,” kata Aji, mahasiswa asal Banyuwangi yang menjadi saksi peristiwa itu. “Mungkin dikira warga tidak peduli. Tapi perkiraannya salah, warga yang dari tadi nongkrong di warung kopi langsung menyerbu,” ujar Aji yang tidak bisa lupa dengan kejadian itu karena massa begitu brutal dan amarahnya begitu mengerikan.
Pelaku itu pun sampai babak belur dan berdarah akibat amukan massa. Setelah itu, bandit nahas tersebut diserahkan ke Polsek Gubeng. “Bagaimana tidak parah, lha wong dia dihajar tidak hanya pakai tangan, tapi juga benda keras. Saya sendiri tidak tega melihatnya. Tapi bagaimana lagi, warga sudah telanjur marah karena sering sekali ada pencurian,” lanjutnya.
Sekitar sebulan lalu kami melintas di kawasan Mojo. Di kampung itu banyak terpasang spanduk berwarna merah dengan tulisan “Kampoeng Siaga Maling” ada juga “Ayo Kang Dulur Kabeh Warga Mojo, Mosok Re Kampoenge Diobok-obok Maling Terus”. Mungkin tidak ada yang aneh atau unik atau luar biasa dari bunyi spanduk tersebut, meski dominasi warna merah secara hermeneutik bisa dimaknai sebagai keberanian serta kemarahan terhadap aksiaksi pencurian.
Namun, ada spanduk yang berbeda di Mojo I, yang tertulis “Kampoeng Siaga Maling, Matek Yo Wes Maling e....”. Ekspresi Spontan Berefek Deterrent “Mengerikan sekali tulisan di spanduk itu. Sebuah ancaman pembunuhan yang disebar secara terang-terangan,” kata Mashuri, peneliti di Balai Bahasa Surabaya.
Dia menerangkan, bahasa yang digunakan memang khas Suroboyoan yang blak-blakan tanpa basa-basi. “Bahasanya sudah sangat verbal tidak ada yang tidak tahu maknanya. Itu jelas ditujukan kepada siapa saja yang hendak mencuri agar tidak mencoba-coba atau nyawa taruhannya,” ujar Mashuri. Sementara itu, Lurah Mojo Maria Agustin mengakui pemasangan spanduk itu memang dipicu maraknya aksi pencurian.
“Kita memang kan ada program FKPM (Forum Kemitraan Polisi Masyarakat). Salah satunya memang pencanangan Kampung Siaga Maling tersebut,” ujar Maria. Pemasangan spanduk-spanduk tersebut merupakan salah satu upaya untuk menekan aksi pencurian. “Di wilayah Mojo memang banyak koskosan sehingga sering jadi target para pencuri,” tandasnya.
Diharapkan dengan pemasangan spanduk itu, para pelaku pencurian tidak berani beraksi di wilayah Mojo karena warga selalu siaga. Terkait spanduk ancaman yang sangat sarkas, Maria pun tidak menampik. “Iya, itu ada di sekitar Mojo I,” katanya sambil tertawa kecil. “Memang sangat kasar, tetapi itu adalah bentuk spontanitas warga yang sudah terlalu geram terhadap para pencuri.
Spandukspanduk tersebut murni inisiatif warga yang dibuat dengan dana swadaya,” bebernya. Meski demikian, dia mengatakan, warganya tidak akan melakukan pembunuhan terhadap pelaku pencurian. “Warga tidak akan melakukan hal sekejam itu. Tulisan itu hanya shock therapy agar pencuri tidak berani beraksi.
Sebab, warga sudah melakukan pengamanan di lingkungannya serta selalu berkoordinasi dengan Polsek Gubeng,” tandas Maria. Kapolsek Gubeng Kompol Bagus Dwi Rusiawan mengaku sudah memerintahkan Bhabinkamtibmas untuk selalu melakukan patroli dialogis di wilayah binaannya masing-masing. “Masyarakat selalu diimbau agar tidak main hakim sendiri.
Bhabin kamtibmas juga selalu blusukan untuk berkoordinasi dengan warga agar tercipta situasi yang aman dan kondusif,” ucap mantan Kapolsek Tandes ini. Menurut dia, jika ada spanduk yang berbunyi agak sarkas, itu hanya untuk efek deterrent agar para pelaku tidak berani beraksi di wilayah tersebut. “Itu memang spontanitas warga yang geram dengan ulah pelaku. Itu bisa untuk efek deterrent ,” pungkasnya.
Zaki zubaidi
(bbg)