Regulasi Ketat, Industri Rokok Tertekan
A
A
A
KEDIRI - Regulasi terkait industri rokok di dalam negeri maupun internasional makin ketat karena pertimbangan perlindungan konsumen dan kesehatan. Kondisi ini menyebabkan industri rokok nasional tertekan.
Beberapa peraturan terkait industri rokok antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Selain itu juga, PP No 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 64/MIND/ PER/7/2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Usaha Industri Rokok, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 205/PMK.011/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
”Ini menjadi tantangan tersendiri bagi industri rokok. Selain hal tersebut, kenaikan cukai juga menjadi faktor yang memengaruhi perkembangan industri rokok,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin saat berkunjung ke pabrik PT Gudang Garam Tbk, Kediri, Jawa Timur, kemarin.
Untuk itu, pemerintah terus berusaha membuat kebijakan yang dapat diterima oleh semua pihak dan perlu dijalankan sesuai dinamika perkembangan industri ini. Dalam skala nasional, pemerintah menempatkan industri rokok pada posisi strategis dan termasuk dalam Perpres No 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional.
”Industri hasil tembakau dikembangkan dengan tetap memperhatikan keseimbangan kesehatan, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara. Industri ini juga kearifan lokal yang telah mampu bersaing dan bertahan,” ungkap Menperin.
Sesuai Perpres No 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, industri hasil tembakau termasuk salah satu industri untuk dikembangkan dengan tetap memperhatikan keseimbangan kesehatan, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara.
Tahun lalu penerimaan negara dari cukai rokok mencapai Rp111,4 triliun, meningkat dibanding 2013 sebesar Rp100,7 triliun. Pada 2012 nilai ekspor rokok dan cerutu mencapai USD617,8 juta, pada 2014 meningkat menjadi USD804,7 juta atau rata-rata setiap tahun meningkat 14,1%.
Selain kontribusi materiil berupa penerimaan negara dari cukai dan lapangan kerja, industri berbahan baku tembakau ini juga diakui Menperin merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. ”Industri ini melibatkan tenaga kerja hingga 6,1 juta orang. Juga telah menjadi bagian sejarah bangsa dan budaya masyarakat kita, khususnya rokok keretek,” kata Saleh Husin.
Dia menambahkan, industri rokok telah menghasilkan tenaga kerja yang begitu besar sehingga harus didukung agar terus berkelanjutan. ”Kita sadari APBN datang dari cukai rokok. Maka (regulasi) kita tidak harus terlalu kencang supaya industri Tanah Air tidak terganggu dan penerimaan negara tetap berjalan sebagaimana mestinya,” lanjutnya.
Pangsa pasar saat ini untuk sigaret keretek mesin (SKM) sebesar 66,26%, sigaret keretek tangan (SKT) 26%, sigaret putih mesin (SPM) sebesar 6% dan lain-lain yaitu klobot, cerutu, klembak menyan, dan sigaret tangan filter sebesar 1,74%.
Direktur Minuman dan Tembakau Ditjen Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Faiz Ahmad mengatakan, Kemenperin telah mengusulkan cukai SKT golongan tiga tidak dinaikkan. ”Itu akhirnya diakomodasi Kemenkeu dengan tidak menaikkan (cukai), golongan 3b nol rupiah dan golongan 3a hanya Rp10 per batang,” ungkapnya.
Faiz menambahkan, kebijakan itu dilakukan agar bisa mempertahankan industri rokok berbasis SKT yang menyerap banyak tenaga kerja. ”Apalagi SKT masih punya pasar,” imbuhnya. Produksi rokok nasional tahun lalu mencapai 346,3 miliar batang atau mengalami kenaikan dibandingkan 2013 yang mencapai 346 miliar batang. ”Naiknya hanya sedikit karena ada penerapan pajak daerah pertama pada 2014,” tuturnya.
Wakil Direktur Sumber Daya Manusia dan Pelayanan Umum PT Gudang Garam (GG) Slamet Budiono mengatakan, GG ingin memperkuat SKT karena merupakan industri padat karya. Karena banyak regulasi, SKT sulit bersaing. ”Kita inginnya SKT kuat, SKM kuat, bahkan sebetulnya kami ingin SKT jauh lebih kuat karena padat karya,” kata Slamet Budiono.
Dia menambahkan, cukai SKT yang naik setiap tahun mengakibatkan industri rokok mengalami stagnasi. ”Penghasilan tidak berkurang, tapi profit margin berkurang,” sebutnya. Gudang Garam yang berdiri sejak 1958 telah memproduksi 74,475 miliar batang dan penjualan luar negeri sebesar 4,08 miliar batang. Perusahaan ini menyerap tenaga kerja sebanyak 43.000 orang.
Menperin berharap, GG mempertahankan produksi kereteknya demi penyerapan tenaga kerja, terutama bagi masyarakat sekitar lingkungan pabrik.
Oktiani endarwati
Beberapa peraturan terkait industri rokok antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Selain itu juga, PP No 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 64/MIND/ PER/7/2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Usaha Industri Rokok, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 205/PMK.011/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
”Ini menjadi tantangan tersendiri bagi industri rokok. Selain hal tersebut, kenaikan cukai juga menjadi faktor yang memengaruhi perkembangan industri rokok,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin saat berkunjung ke pabrik PT Gudang Garam Tbk, Kediri, Jawa Timur, kemarin.
Untuk itu, pemerintah terus berusaha membuat kebijakan yang dapat diterima oleh semua pihak dan perlu dijalankan sesuai dinamika perkembangan industri ini. Dalam skala nasional, pemerintah menempatkan industri rokok pada posisi strategis dan termasuk dalam Perpres No 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional.
”Industri hasil tembakau dikembangkan dengan tetap memperhatikan keseimbangan kesehatan, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara. Industri ini juga kearifan lokal yang telah mampu bersaing dan bertahan,” ungkap Menperin.
Sesuai Perpres No 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, industri hasil tembakau termasuk salah satu industri untuk dikembangkan dengan tetap memperhatikan keseimbangan kesehatan, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara.
Tahun lalu penerimaan negara dari cukai rokok mencapai Rp111,4 triliun, meningkat dibanding 2013 sebesar Rp100,7 triliun. Pada 2012 nilai ekspor rokok dan cerutu mencapai USD617,8 juta, pada 2014 meningkat menjadi USD804,7 juta atau rata-rata setiap tahun meningkat 14,1%.
Selain kontribusi materiil berupa penerimaan negara dari cukai dan lapangan kerja, industri berbahan baku tembakau ini juga diakui Menperin merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. ”Industri ini melibatkan tenaga kerja hingga 6,1 juta orang. Juga telah menjadi bagian sejarah bangsa dan budaya masyarakat kita, khususnya rokok keretek,” kata Saleh Husin.
Dia menambahkan, industri rokok telah menghasilkan tenaga kerja yang begitu besar sehingga harus didukung agar terus berkelanjutan. ”Kita sadari APBN datang dari cukai rokok. Maka (regulasi) kita tidak harus terlalu kencang supaya industri Tanah Air tidak terganggu dan penerimaan negara tetap berjalan sebagaimana mestinya,” lanjutnya.
Pangsa pasar saat ini untuk sigaret keretek mesin (SKM) sebesar 66,26%, sigaret keretek tangan (SKT) 26%, sigaret putih mesin (SPM) sebesar 6% dan lain-lain yaitu klobot, cerutu, klembak menyan, dan sigaret tangan filter sebesar 1,74%.
Direktur Minuman dan Tembakau Ditjen Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Faiz Ahmad mengatakan, Kemenperin telah mengusulkan cukai SKT golongan tiga tidak dinaikkan. ”Itu akhirnya diakomodasi Kemenkeu dengan tidak menaikkan (cukai), golongan 3b nol rupiah dan golongan 3a hanya Rp10 per batang,” ungkapnya.
Faiz menambahkan, kebijakan itu dilakukan agar bisa mempertahankan industri rokok berbasis SKT yang menyerap banyak tenaga kerja. ”Apalagi SKT masih punya pasar,” imbuhnya. Produksi rokok nasional tahun lalu mencapai 346,3 miliar batang atau mengalami kenaikan dibandingkan 2013 yang mencapai 346 miliar batang. ”Naiknya hanya sedikit karena ada penerapan pajak daerah pertama pada 2014,” tuturnya.
Wakil Direktur Sumber Daya Manusia dan Pelayanan Umum PT Gudang Garam (GG) Slamet Budiono mengatakan, GG ingin memperkuat SKT karena merupakan industri padat karya. Karena banyak regulasi, SKT sulit bersaing. ”Kita inginnya SKT kuat, SKM kuat, bahkan sebetulnya kami ingin SKT jauh lebih kuat karena padat karya,” kata Slamet Budiono.
Dia menambahkan, cukai SKT yang naik setiap tahun mengakibatkan industri rokok mengalami stagnasi. ”Penghasilan tidak berkurang, tapi profit margin berkurang,” sebutnya. Gudang Garam yang berdiri sejak 1958 telah memproduksi 74,475 miliar batang dan penjualan luar negeri sebesar 4,08 miliar batang. Perusahaan ini menyerap tenaga kerja sebanyak 43.000 orang.
Menperin berharap, GG mempertahankan produksi kereteknya demi penyerapan tenaga kerja, terutama bagi masyarakat sekitar lingkungan pabrik.
Oktiani endarwati
(bhr)