Disharmoni Orang Tua Picu Trauma Anak

Minggu, 18 Januari 2015 - 10:06 WIB
Disharmoni Orang Tua Picu Trauma Anak
Disharmoni Orang Tua Picu Trauma Anak
A A A
SURABAYA - Disharmoni orang tua bisa memunculkan trauma bagi anak. Nasihat sembarangan alias asal-asalan tidak bisa diberikan ke mereka.

Demikian ditegaskan Soerjantini Rahayu, psikolog sekaligus pengajar Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya (Ubaya) dalam lokakarya (workshop ) ”Psychological First Aid” yang digelar di Politeknik Ubaya kemarin. Workshop itu diikuti guru Bimbingan dan Konseling (BK) SMA serta SMK se-Jatim. Di acara itu juga disampaikan materi identifikasi dan pendampingan siswa pascatrauma.

Pada workshop itu disampaikan bahwa nasihat agar anak bersabar atau istigfar justru akan memunculkan sumbatan bagi anak mengekspresikan perasaannya. Cara yang pertama kali harus dilakukan adalah menjadi pendengar yang baik sehingga individu mau menceritakan peristiwa dan mengekspresikan semua perasaan yang menekan akibat peristiwa yang dialaminya. Soerjantini mengungkapkan, banyak orang yang sulit berhadap dengan orang yang sudah menangis.

”Lebih baik mencari tempat privat. Batasi orang yang boleh ada di ruang itu dan posisikan dia dengan kondisi relaks,” ungkapnya. Psikolog berhijab ini menegaskan, pengalaman traumatik tidak bisa dihapuskan. Ini harus dipahami guru BK atau psikolog sehingga bisa membantu mengatasi tekanan emosional dan membantu individu untuk dapat kembali menjalankan rutinitas sehari-hari.

Biarkan anak bercerita tuntas, jangan dipotong dengan memberinya nasihat. Pemberian harapan yang tidak jelas kepada anak juga harus dihindari. Dalam menyampaikan pertanyaan, guru BK atau psikolog harus relevan dan netral. Hindarkan istilah korban dan sebisa mungkin menggunakan nada suara pelan dengan pemilihan kalimat yang tidak memberi kesan panik atau mengancam.

”Respons yang diberikan juga jangan menambah trauma. Misalnya ketika dia bercerita langsung bilang aduh atau astagfirullah dengan suara tinggi. Itu malah membuat panik,” ungkapnya. Terkait kasus-kasus ranah hukum, seperti pemerkosaan, psikolog maupun guru BK bisa bekerja sama dengan petugas bantuan hukum dan rohaniawan.

Tahapan berikut melakukan protect setelah informasi penting terkait keadaan individu, peristiwa dan penyebabnya didapat. Di sini sekolah mengambil tindakan untuk melindungi individu agar kondisi luka tidak makin parah atau berulang. Upaya yang harus dilakukan, menghindarkan individu dari lingkungan yang menjadi sumber trauma, menghindarkan individu dari tindakan atau proses yang membuatnya bersentuhan dengan peristiwa trauma.

”Harus pula diinformasikan ke individu yang bersangkutan mengenai tindakan yang bertujuan membantunya sehingga dia merasa terlindungi. Tahapan berikut, membantu individu untuk terhubungkan dengan dukungan sosial dan kondisi yang stabil. ”Jika memang dia harus kembali ke sekolah, teman-temannya harus dikondisikan untuk mendukungnya, bukan malah membangkitkan traumanya lagi,” ungkapnya.

Sekadar diketahui, trauma yang kerap dialami siswa SMA/- SMK adalah ketika mereka melihat pertengkaran orang tua. Testimoni Jefri Mahardika, guru BK SMK Trisila Surabaya, menguatkan hal itu. Pada workshop itu, Jefri menyebut siswa yang trauma sering murung dan mengalami ketakutan yang berlebihan dibandingkan temantemannya.

”Melihat kondisi ini, biasanya saya langsung memanggil siswa tersebut untuk didengarkan keluh kesahnya. ”Setelah dia bercerita semuanya, barulah kita bisa memberikan nasihat- nasihat dan mengarahkan ke yang lebih baik,” ucapnya.

Soeprayitno
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1699 seconds (0.1#10.140)