Kembalikan Harmonisasi Alam dan Masyarakat

Sabtu, 20 Desember 2014 - 12:20 WIB
Kembalikan Harmonisasi Alam dan Masyarakat
Kembalikan Harmonisasi Alam dan Masyarakat
A A A
TULUNGAGUNG - Harmonisasi kehidupan di sepanjang aliran Sungai Brantas berubah drastis saat tentara Tar Tar menyerang.

Tidak tahu alasan pasti, sebagai Raja Pertama Majapahit, Raden Wijaya yang juga menantu Raja Kertanegara, melarang seluruh pedagang China menetap dan bertempat tinggal di daerah sekitar Sungai Brantas. Peraturan baru itu tidak berlaku bagi pedagang Arab dan Melayu.

Kondisi saat ini, pemerintah pusat tengah berupaya keras membalikkan arus pertahanan ekonomi dan kedaulatan pangan dari darat ke lautan (maritim), Triyono berpendapat, ini saatnya Sungai Brantas menemukan kembali kejayaannya, bahwa peradaban sungai bisa berjalan beriringan dengan peradaban darat (sutra).

“Dan untuk mengembalikan semua itu perlu sentuhan tangan pemerintah. Sebab tidak hanya terkait regulasi, tetapi juga komitmen bersama dan biaya yang tidak kecil,” katanya. Faktanya sebagian besar lingkungan Brantas telah rusak.

Menurut Aktivis NGO Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi, Tulungagung, Maliki Nusantara, Brantas kekinian lebih disemarakkan riuh penambang pasir liar, baik itu penambang manual yang “bersenjatakan” cangkul, sekop, dan ayakan, hingga penambang mesin mekanik memiliki kemampuan sedot pasir tak terbatas.

Dari pantauan PPLH, kehadiran para perusak lingkungan itu nyaris merata di sepanjang 11.800 km total rentang Brantas, yakni mulai dari wilayah Malang berdekatan dengan hulu Gunung Arjuna, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto, dan kemudian terbelah menjadi Kali Mas Surabaya dan Kali Porong Sidoarjo.

“Karena itu, kalau memang peradaban atau kebudayaan Sungai Brantas dikembalikan, hal itu harus dibarengi dengan pemulihan lingkungan yang telah rusak,” ujarnya.

Dari hasil investigasi PPLH, kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan pasir liar begitu akut. Mekanik yang digunakan tidak lagi menyedot pasir yang berada di atas dasar sungai. Sebab sebagian besar pasir di atas dasar sungai telah ludes tak tersisa.

Pipa-pipa yang terjulur beralih mengeruki pasir dibalik dasar sungai. “Akibatnya Sungai Brantas semakin dalam dan arusnya semakin deras. Selain itu, para pencari ikan yang biasanya berenang di Brantas tidak berani tidak memakai alas kaki. Sebab mereka khawatir terluka terkena dasar sungai yang berupa padas keras,” katanya.

Di sisi lain, kualitas air Sungai Brantas, khususnya yang mengalir di wilayah Tulungagung, sudah tercemar. Hal itu selain limbah rumah tangga, limbah industri kecil dan pabrik kertas juga mengalir langsung ke Sungai Brantas. Hasil sensus serangga menunjukkan index biotilik air Brantas mencapai 7,6.

Sementara air sehat index biolitik-nya dibawah angka 6. “Artinya pencemaran terhadap air Brantas tergolong berat,” ujarnya. Tidak heran sejumlah biota, seperti jenggrong atau larva capung, cacing sutra, ikan bader, dan ikan keting semakin sulit ditemukan.

Bahkan bulus, sejenis penyu yang merupakan binatang endemik Brantas telah lama punah. “Kalau jenis ikan keting masih ada. Walaupun jarang sekali. Yang hilang sama sekali adalah bulus Brantas. Yang masih kuat terhadap pencemaran itu ikan jenis lele, gabus, bekel, dan patin,” katanya.

Tidak hanya Sungai Brantas, kerusakan juga terjadi pada sejumlah sungai yang berstatus sub DAS Brantas, yakni Sungai Ngrowo yang bersumber dari Kecamatan Kalidawir. Kemudian Sungai Ngasinan dan Song yang berhulu di wilayah Kecamatan Sendang. Karena itu, renaisans Suangi Brantas benar-benar terealisasi PPLH berharap pemerintah juga menyiapkan skenario kawasan hijau di sepanjang DAS Brantas.

“Bagi kami pengembalian kejayaan peradaban Brantas hanya akan sia-sia tanpa ada komitmen pemerintah dan masyarakat untuk menjaga keharmonisan ekologinya. Sebab ini saling berkaitan,” katanya.

Solichan Arif
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6969 seconds (0.1#10.140)
pixels