Wariskan Seni dan Keahlian hingga Anak-Cucu

Senin, 01 Desember 2014 - 12:00 WIB
Wariskan Seni dan Keahlian...
Wariskan Seni dan Keahlian hingga Anak-Cucu
A A A
Belum banyak gerai dan workshop gerabah yang buka di pagi hari saat kaki menapak jalan Dusun Kasongan, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, akhir pekan lalu.

Namun, dari kaca bening yang tak tertutup gorden, jelas terlihat tumpukan gerabah yang menunggu para pembeli. Indah, unik, dan eksotis. Terletak sekitar 10 km di selatan Kota Yogyakarta, Dusun Kasongan ini memang telah mendunia. Daerah tersebut merupakan menjadi pusat pengembangan gerabah sejak masa penjajahan Belanda. Sejak 1745, gerabah mulai hidup di wilayah itu. Kini Bangunjiwo pun berkembang menjadi desa wisata.

Kepada KORAN SINDO JATIM yang mengunjungi desa tersebut, Koordinator UPT Gerabah Kasongan Suwarjo menyatakan, saat ini jumlah perajin pecah belah yang berasal dari tanah tersebut telah mencapai sebanyak 582 orang. Mereka tersebar di lima pedukuhan sekitar, yakni Kajen, Kalipucang, Gedongan, Tirto, dan Sembungan.

“Setiap harinya memproduksi gerabah dan keramik. Secara umum, ada empat jenis untuk membuat tanah dan batu silikat menjadi gerabah, yaitu sistem putar, sistem cetak, sistem bebas, dan sistem tempel pilin. Meski begitu, ada saja kendala yang harus dihadapi para perajin, di antaranya bahan baku. Jadi, saat ini revolusi teknis terus dikembangkan agar varian produk dan kualitas tetap mampu menarik minat pasar. “Bahkan untuk uji mutu, kami sudah memakai sistem radiografi, memakai sinar X,” ujarnya.

Tak mengherankan saat ini produk gerabah Kasongan mampu menembus pasar ekspor. Rata-rata dalam satu bulan setidaknya 40 kontainer dengan aset sekitar Rp60 juta per kontainer keluar dari Kasongan. Sebanyak 60% diekspor dan 40%-nya dikirim ke berbagai daerah di dalam negeri.

Potensi yang demikian besar membuat warga Kasongan selalu serius mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Salah satunya dengan berdirinya Koperasi Setya Bawana yang menjadi wadah bagi para perajin. Tidak berhenti di situ. Para perajin juga terus berupaya melestarikan dan mewariskan seni dan keterampilan membuat gerabah ini kepada anak cucunya.

Seperti terlihat di salah satu sudut workshop di gedung UPT Koperasi Setya Bawana. Akhir pekan itu, puluhan siswa TK ABA Patehan Yogyakarta tampak memenuhi sudut pelatihan di gedung UPT Koperasi Setya Bawana tersebut. Tangan-tangan kecil mereka terlihat sibuk bergulat dengan tanah silikat bahan gerabah.

Seragam olah raga mereka pun tak sedikit yang belepotan lumpur cokelat. “Setiap akhir pekan, kami memang menerima rombongan pelajar untuk belajar membuat kerajinan keramik. Mulai anak TK sampai SMA. Kami tidak ingin anak-anak enggan berkotor-kotor dengan tanah dan lumpur, padahal inilah nafas dan hidup kami selama ini,” ujar Rohani, salah satu pengelola koperasi yang setia menemani setiap rombongan anak yang datang ke workshop tersebut.

Menurut Rohani, membuat gerabah gampang-gampang susah. Akan gampang bila dihayati dan dipahami alasan pembuatannya. Namun, akan menjadi susah bila nilai-nilai kehidupan dan berkesenian yang merupakan inti dari usaha gerabah tergerus budaya pop nan instan. Rohani dan para perajin gerabah lain tak ingin kejayaan gerabah Kasongan yang telah mendunia direbut daerah lain.

Memperkenalkannya kepada anak-anak hingga PAUD menjadi tanggung jawab tersendiri bagi para perajin gerabah Kasongan. “Kami ingin agar orang tetap tahu. Gerabah ya Kasongan, Kasongan ya gerabah,” ujarnya.

Dili Eyato
(ftr)
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2400 seconds (0.1#10.24)