Indonesia Minim Sarjana Teknik
A
A
A
SURABAYA - Presiden Joko Widodo bergelar insinyur. Kendati demikian, Indonesia minim insinyur. Dibandingkan sejumlah negara di dunia, Indonesia paling miskin ketersediaan sarjana teknik (ST) lulusan perguruan tinggi negeri/swasta.
Fakta ini diungkapkan Hermanto Dardak, Wakil Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) periode 2012–- 2015, di sela-sela Sarasehan Nasional 2014 bertema “Meningkatkan Kemampuan Rekayasa Anak Bangsa” di Gedung Pusat Robotika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, kemarin.
Sarasehan diselenggarakan ITS, Yayasan Toyota dan Astra (YTA), serta PII. Sarasehan juga dibarengi penyerahan satu unit mobil Toyota New Fortuner dari YTA ke pihak ITS. Menurutnya, PII didirikan pada 1952. Meski demikian, jumlah insinyur se-Indonesia sedikit, bahkan dari jumlah yang ada banyak yang tidak aktif.
“Kita (Indonesia) punya 750.000 insinyur. Di PII ada 21.000 insinyur yang terdaftar. Yang aktif diharapkan mendorong supaya insinyur lainnya memberi kontribusi, menghadapi sekaligus menjawab tantangan perkembangan,” ujar mantan Dirjen Bina Marga ini. Hermanto merinci pertumbuhan insinyur secara nasional dari waktu ke waktu. Tahun 2008, keberadaan insinyur baru mencapai 2.600 orang per 1 juta penduduk.
Lulusan dalam setahunnya sebatas 42.000 sarjana teknik. Jumlah itu jauh dibanding Tiongkok yang mencapai 700.000 sarjana teknik per tahun serta India dengan 400.000 sarjana teknik per tahun. Tantangan berat terkait kebutuhan sumber daya manusia (SDM) dengan keahlian sarjana teknik di depan mata.
“Tahun 2020, Indonesia membutuhkan 100.000 insinyur. Kita sekarang mendorong berbagai potensi dengan membina insinyur. Terlebih, sudah ada Undang- Undang No 11/2014 tentang Keinsinyuran. Kebutuhan dan payung hukum insinyur, imbuh Hermanto, harus menjadi bagian lain tumpuan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kita punya sumber daya. Kelapa sawit 456.000 ton per tahun. Bagaimana insinyur bisa beri nilai tambah tadi (terkait keberadaan sawit). Harus ada produk turunan sawit. PII akan fasilitasi untuk gerakan tadi,” tukasnya. Keberadaan sarjana teknik, kata Hermanto, juga diharapkan mampu menjawab pertambahan jumlah penduduk di perkotaan yang mencapai enam kali lipat selama beberapa dekade terakhir.
“Pertumbuhan kendaraan 1 juta unit per tahun. Salah satu upayanya membangun jalan tol. Harus digunakan demands manajemen untuk perbaiki manajemen transportasi,” paparnya. Pakar Pendidikan Teknik Indonesia M Nuh yang hadir sebagai pembicara juga menyorot pertumbuhan populasi penduduk utamanya urbanisasi.
“Ada perubahan komposisi masyarakat di perdesaan dan perkotaan. Ada migrasi populasi. Kalau tahun 2012, petani ada 53%, sekarang perkotaan ada 71%. Jika tidak dipersiapkan dengan baik, tidak ada rekayasa sosial akan muncul masalah,” papar mantan Mendikbud ini.
Sementara itu, Indonesia juga dihadapkan pada masalah minimnya vendor desain dan engineering. Ini membuat industri automotif dalam negeri belum mampu bersaing. Padahal, banyak produk automotif dengan lisensi asing dihasilkan di dalam negeri dengan kandungan komponen lokal 60%–- 70%.
Imbasnya, automotif nasional masih belum mampu bersaing saat pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diberlakukan pada Januari tahun depan. Direktur Jenderal Kerja Sama Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahayana yang juga pembicara sarasehan menyebut, selama ini produk automotif nasional minim melibatkan vendor desain dan engineering khususnya.
Keterlibatan lokal dalam industri ini hanya pada konten atau kandungan bahan. “Avanza, contohnya, kandungan lokal produk ini sudah 80%, tetapi masih minim keterlibatan industri rekayasanya. Bagaimana ke depan industri automotif ini tidak hanya kandungan lokal dalam bahan baku, tetapi secara keseluruhan di desain di Tanah Air,” ungkapnya.
Soeprayitno
Fakta ini diungkapkan Hermanto Dardak, Wakil Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) periode 2012–- 2015, di sela-sela Sarasehan Nasional 2014 bertema “Meningkatkan Kemampuan Rekayasa Anak Bangsa” di Gedung Pusat Robotika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, kemarin.
Sarasehan diselenggarakan ITS, Yayasan Toyota dan Astra (YTA), serta PII. Sarasehan juga dibarengi penyerahan satu unit mobil Toyota New Fortuner dari YTA ke pihak ITS. Menurutnya, PII didirikan pada 1952. Meski demikian, jumlah insinyur se-Indonesia sedikit, bahkan dari jumlah yang ada banyak yang tidak aktif.
“Kita (Indonesia) punya 750.000 insinyur. Di PII ada 21.000 insinyur yang terdaftar. Yang aktif diharapkan mendorong supaya insinyur lainnya memberi kontribusi, menghadapi sekaligus menjawab tantangan perkembangan,” ujar mantan Dirjen Bina Marga ini. Hermanto merinci pertumbuhan insinyur secara nasional dari waktu ke waktu. Tahun 2008, keberadaan insinyur baru mencapai 2.600 orang per 1 juta penduduk.
Lulusan dalam setahunnya sebatas 42.000 sarjana teknik. Jumlah itu jauh dibanding Tiongkok yang mencapai 700.000 sarjana teknik per tahun serta India dengan 400.000 sarjana teknik per tahun. Tantangan berat terkait kebutuhan sumber daya manusia (SDM) dengan keahlian sarjana teknik di depan mata.
“Tahun 2020, Indonesia membutuhkan 100.000 insinyur. Kita sekarang mendorong berbagai potensi dengan membina insinyur. Terlebih, sudah ada Undang- Undang No 11/2014 tentang Keinsinyuran. Kebutuhan dan payung hukum insinyur, imbuh Hermanto, harus menjadi bagian lain tumpuan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kita punya sumber daya. Kelapa sawit 456.000 ton per tahun. Bagaimana insinyur bisa beri nilai tambah tadi (terkait keberadaan sawit). Harus ada produk turunan sawit. PII akan fasilitasi untuk gerakan tadi,” tukasnya. Keberadaan sarjana teknik, kata Hermanto, juga diharapkan mampu menjawab pertambahan jumlah penduduk di perkotaan yang mencapai enam kali lipat selama beberapa dekade terakhir.
“Pertumbuhan kendaraan 1 juta unit per tahun. Salah satu upayanya membangun jalan tol. Harus digunakan demands manajemen untuk perbaiki manajemen transportasi,” paparnya. Pakar Pendidikan Teknik Indonesia M Nuh yang hadir sebagai pembicara juga menyorot pertumbuhan populasi penduduk utamanya urbanisasi.
“Ada perubahan komposisi masyarakat di perdesaan dan perkotaan. Ada migrasi populasi. Kalau tahun 2012, petani ada 53%, sekarang perkotaan ada 71%. Jika tidak dipersiapkan dengan baik, tidak ada rekayasa sosial akan muncul masalah,” papar mantan Mendikbud ini.
Sementara itu, Indonesia juga dihadapkan pada masalah minimnya vendor desain dan engineering. Ini membuat industri automotif dalam negeri belum mampu bersaing. Padahal, banyak produk automotif dengan lisensi asing dihasilkan di dalam negeri dengan kandungan komponen lokal 60%–- 70%.
Imbasnya, automotif nasional masih belum mampu bersaing saat pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diberlakukan pada Januari tahun depan. Direktur Jenderal Kerja Sama Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahayana yang juga pembicara sarasehan menyebut, selama ini produk automotif nasional minim melibatkan vendor desain dan engineering khususnya.
Keterlibatan lokal dalam industri ini hanya pada konten atau kandungan bahan. “Avanza, contohnya, kandungan lokal produk ini sudah 80%, tetapi masih minim keterlibatan industri rekayasanya. Bagaimana ke depan industri automotif ini tidak hanya kandungan lokal dalam bahan baku, tetapi secara keseluruhan di desain di Tanah Air,” ungkapnya.
Soeprayitno
(ars)