Sulap Jagung Jadi Bubur, Es Krim, Nugget, dan Kerupuk
A
A
A
SURABAYA - Tiga mahasiswa Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya punya inovasi baru mengelola jagung sebagai pengganti konsumsi nasi. Jagung mereka sulap menjadi bubur, es krim, nugget, dan kerupuk.
Ketiga mahasiswa tersebut adalah Sulis Indriyawati dan Septi Andriana, program pendidikan D-3 Kebidanan, serta Adam Joko Santoso, program pendidikan D-3 Keperawatan. Rencananya karya yang juga diharapkan menambah kaya khasanah kuliner Tanah Air itu bakal diikutsertakan dalam kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian pada Masyarakat di Kendari, Sulawesi Tenggara, bulan depan.
Ketiganya yang tergabung dalam Kader Mahabarata (Mahasiswa Bank dengan Tren Bantal Jagung) ini berharap inovasinya menyita perhatian juri yang berujung juara. ”Istilah Kader Mahabarata ini kami gunakan supaya mudah diingat karena cerita pewayangan Mahabarata yang ada di masyarakat. Selain itu, tiga orang ini berupaya menyejajarkan filosofi jagung dengan kelapa. Artinya, tidak ada yang dibuang,” tutur Sulis yang asli Surabaya.
Alumnus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Farmasi Kapasan Surabaya ini juga menjelaskan, istilah bantal jagung yaitu kemasan kerupuk yang mirip bantal, berbahan kelobot alias pelepah jagung. Septi Andriana yang mendampingi Sulis menambahkan, inovasi mereka terinspirasi dari Kabupaten Lamongan sebagai produsen jagung lima terbesar di Indonesia.
Contohnya di Dusun Bakon, Desa Tlemang, Kecamatan Ngimbang, Lamongan, banyak dihasilkan jagung. ”Dalam setahun bisa panen tiga kali. Saat musim hujan maupun kemarau bisa ditanam dan harganya tetap murah,” ungkapnya. Sayangnya, keberadaan jagung di desa paling banter dibuat nasi jagung.
Lebih parah, dalam masyarakat terbangun asumsi bahwa yang makan nasi jagung hanya orang kere atau melarat. Kalaupun ada yang makan, paling pengidap penyakit gula. ”Selain menguntungkan dari sisi ekonomis di tengah mahalnya harga beras, makanan olahan ini bisa menangkal penyakit radikal bebas, salah satunya kanker. Ini karena kandungan antioksidan tinggi. Belum lagi melorotnya produktivitas beras dalam negeri sekarang ini,” ulas Adam Joko Santoso sambil menyiapkan proses pembuatan bubur jagung.
Hasil penelitian komparasi gizi dari tiap 100 gram jagung dengan beras tak luput dipaparkan ketiganya. Dari tiap 100 gram jagung mengandung energi 108 kkal, protein 3,3 gram, serat 2,8 gram, dan vitamin C 6 mg. Sedangkan, pada beras mengandung energi 130 kkal, protein 2,4 gram, serat 0,3 gram, dan vitamin C 0 mg.
Cara pembuatan produk berbahan jagung pun mereka bedah. Untuk es krim, tepung jagung, susu, dan gula dicampur. Gula tidak perlu banyak lantaran rasa manis sudah tercipta dari susu. Setelah semua tercampur menjadi adonan, lantas dididihkan, dituang, dan didinginkan. Tahap berikutnya dimasukkan ke frezzer . ”Kemudian, dikeluarkan lagi dan diblender supaya teksturnya lebih halus. Gelatin tidak digunakan karena kentalnya kami manfaatkan susu,” ulas Sulis yang berjilbab ini.
Kerupuk, bahannya tepung jagung berpadu tepung tapioka, garam, bawang putih, dan air. Adonan yang tercipta dikukus hingga padat. Setelah itu diiris tipis dan dijemur, kerupuk siap digoreng. Nugget, bahannya jagung muda dipipil, kemudian diserut dicampur ayam. Setelah digiling sebentar, dikukus dan diiris. Lantas dicelup putih telur dan dibalur tepung roti.
Harga ketiga produk beragam. Es krim Rp2.000/cup, bubur Rp3.000/mangkuk, kerupuk Rp7.000/bungkus, dan nugget Rp10.000/bungkus. ”Sebenarnya masyarakat bisa mengonsumsi makanan alternatif pengganti beras. Cuma pemerintah harus gencar sosialisasi. Jangan pada saat ada pameran saja,” kata Sulis.
Ketiganya berharap produknya ke depan bisa diproduksi massal. Bahkan, mereka siap berbagi resep pada produsen yang bersedia memproduksi dalam jumlah besar. Tanpa bahan pengawet tetap menjadi pakem ketiganya.
Rachmawati Ika, dosen Kebidanan UM Surabaya yang mendampingi tiga mahasiswa itu, mengaku bangga. ”Bubur jagung ini cocok menjadi makanan pendamping ASI (air susu ibu) bagi bayi usia 6 bulan ke atas. Baik juga untuk ibu hamil untuk mengurangi risiko bayi dengan diabetes,” sebut Ika. Rektor UM Surabaya, Sukadiono menilai upaya mahasiswanya bentuk kreativitas mulia.
”Yang mereka lakukan relevan bagi bangsa. Saat ini bangsa krisis beras dan tergantung impor. Mahasiswa ini beri alternatif pemanfaatan jagung. Kami akan mendorong pemerintah supaya menerapkan konversi beras ke jagung, seperti halnya minyak tanah ke elpiji,” pungkas Suko, sapaan Sukadiono.
SOEPRAYITNO
Ketiga mahasiswa tersebut adalah Sulis Indriyawati dan Septi Andriana, program pendidikan D-3 Kebidanan, serta Adam Joko Santoso, program pendidikan D-3 Keperawatan. Rencananya karya yang juga diharapkan menambah kaya khasanah kuliner Tanah Air itu bakal diikutsertakan dalam kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian pada Masyarakat di Kendari, Sulawesi Tenggara, bulan depan.
Ketiganya yang tergabung dalam Kader Mahabarata (Mahasiswa Bank dengan Tren Bantal Jagung) ini berharap inovasinya menyita perhatian juri yang berujung juara. ”Istilah Kader Mahabarata ini kami gunakan supaya mudah diingat karena cerita pewayangan Mahabarata yang ada di masyarakat. Selain itu, tiga orang ini berupaya menyejajarkan filosofi jagung dengan kelapa. Artinya, tidak ada yang dibuang,” tutur Sulis yang asli Surabaya.
Alumnus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Farmasi Kapasan Surabaya ini juga menjelaskan, istilah bantal jagung yaitu kemasan kerupuk yang mirip bantal, berbahan kelobot alias pelepah jagung. Septi Andriana yang mendampingi Sulis menambahkan, inovasi mereka terinspirasi dari Kabupaten Lamongan sebagai produsen jagung lima terbesar di Indonesia.
Contohnya di Dusun Bakon, Desa Tlemang, Kecamatan Ngimbang, Lamongan, banyak dihasilkan jagung. ”Dalam setahun bisa panen tiga kali. Saat musim hujan maupun kemarau bisa ditanam dan harganya tetap murah,” ungkapnya. Sayangnya, keberadaan jagung di desa paling banter dibuat nasi jagung.
Lebih parah, dalam masyarakat terbangun asumsi bahwa yang makan nasi jagung hanya orang kere atau melarat. Kalaupun ada yang makan, paling pengidap penyakit gula. ”Selain menguntungkan dari sisi ekonomis di tengah mahalnya harga beras, makanan olahan ini bisa menangkal penyakit radikal bebas, salah satunya kanker. Ini karena kandungan antioksidan tinggi. Belum lagi melorotnya produktivitas beras dalam negeri sekarang ini,” ulas Adam Joko Santoso sambil menyiapkan proses pembuatan bubur jagung.
Hasil penelitian komparasi gizi dari tiap 100 gram jagung dengan beras tak luput dipaparkan ketiganya. Dari tiap 100 gram jagung mengandung energi 108 kkal, protein 3,3 gram, serat 2,8 gram, dan vitamin C 6 mg. Sedangkan, pada beras mengandung energi 130 kkal, protein 2,4 gram, serat 0,3 gram, dan vitamin C 0 mg.
Cara pembuatan produk berbahan jagung pun mereka bedah. Untuk es krim, tepung jagung, susu, dan gula dicampur. Gula tidak perlu banyak lantaran rasa manis sudah tercipta dari susu. Setelah semua tercampur menjadi adonan, lantas dididihkan, dituang, dan didinginkan. Tahap berikutnya dimasukkan ke frezzer . ”Kemudian, dikeluarkan lagi dan diblender supaya teksturnya lebih halus. Gelatin tidak digunakan karena kentalnya kami manfaatkan susu,” ulas Sulis yang berjilbab ini.
Kerupuk, bahannya tepung jagung berpadu tepung tapioka, garam, bawang putih, dan air. Adonan yang tercipta dikukus hingga padat. Setelah itu diiris tipis dan dijemur, kerupuk siap digoreng. Nugget, bahannya jagung muda dipipil, kemudian diserut dicampur ayam. Setelah digiling sebentar, dikukus dan diiris. Lantas dicelup putih telur dan dibalur tepung roti.
Harga ketiga produk beragam. Es krim Rp2.000/cup, bubur Rp3.000/mangkuk, kerupuk Rp7.000/bungkus, dan nugget Rp10.000/bungkus. ”Sebenarnya masyarakat bisa mengonsumsi makanan alternatif pengganti beras. Cuma pemerintah harus gencar sosialisasi. Jangan pada saat ada pameran saja,” kata Sulis.
Ketiganya berharap produknya ke depan bisa diproduksi massal. Bahkan, mereka siap berbagi resep pada produsen yang bersedia memproduksi dalam jumlah besar. Tanpa bahan pengawet tetap menjadi pakem ketiganya.
Rachmawati Ika, dosen Kebidanan UM Surabaya yang mendampingi tiga mahasiswa itu, mengaku bangga. ”Bubur jagung ini cocok menjadi makanan pendamping ASI (air susu ibu) bagi bayi usia 6 bulan ke atas. Baik juga untuk ibu hamil untuk mengurangi risiko bayi dengan diabetes,” sebut Ika. Rektor UM Surabaya, Sukadiono menilai upaya mahasiswanya bentuk kreativitas mulia.
”Yang mereka lakukan relevan bagi bangsa. Saat ini bangsa krisis beras dan tergantung impor. Mahasiswa ini beri alternatif pemanfaatan jagung. Kami akan mendorong pemerintah supaya menerapkan konversi beras ke jagung, seperti halnya minyak tanah ke elpiji,” pungkas Suko, sapaan Sukadiono.
SOEPRAYITNO
(ftr)