Masjid Keramat di Samarinda, Pilar Berdiri Sendiri saat Pembangunan
A
A
A
Warga muslim di Kota Samarinda tentu mengenal Masjid Shirathal Mustaqiem, karena masjid keramat dan tertua di Kota Samarinda, Kalimantan Timur ini dulunya menjadi pusat ajaran Islam pertama di Kerajaan Kutai.
Kisah pembangunannya pun menarik untuk disimak karena tak lepas dari hal supranatural dan di luar nalar manusia.
Kisah pembangunan masjid ini diturunkan secara turun temurun dan selalu menjadi cerita yang terus didengar di lingkungan sekitar masjid. Kisah-kisah itu kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Pemerintah Kota Samarinda.
Dalam catatan sejarah yang tertuang dalam buku kilas sejarah Masjid Shirathal Mustaqiem Samarinda, masjid ini mulai dibangun pada 1881 dan selesai 10 tahun kemudian. Kisah yang paling sering diceritakan adalah proses mendirikan empat pilar utama masjid ini.
Menurut Ketua Ikatan Remaja Masjid (Irma) Shirathal Mustaqiem, Abdurrahman Amin, saat Islam sudah mulai menyebar di Kerajaan Kutai, datanglah seorang saudagar kaya dari Pontianak, Kalimantan Barat yaitu Said Abdurachman bin Asegaf.
Karena belum adanya pusat kegiatan Islam di kawasan Samarinda Seberang membuat saudagar yang juga ulama ini berinisiatif membangun masjid.
Setelah berunding, akhirnya diputuskan pembangunan masjid pada sebidang tanah. Namun lahan ini sehari-hari digunakan untuk berjudi. Jika siang hari untuk judi sabung ayam, malam harinya dijadikan judi dadu.
“Untuk menutup lokasi perjudian itu, dan mengurangi masyarakat berjudi, dipilihlah lokasi ini untuk dibangun masjid oleh Said Abdurachman. Pengumuman pun dibuat agar warga ikut membantu pembangunannya,” kata Abdurahman.
Untuk membangun masjid dibutuhkan empat pilar utama. Satu pilar harus terbuat dari kayu yang dibuat dari sebuah pohon utuh.
Sayangnya, setelah persiapan dilakukan, pilar yang tersedia hanya ada tiga. Tiga pilar itu sudah berdiri tegak.
“Tiga pilar ini sumbangan dari berbagai warga yang ingin terlibat. Ada yang dari hulu Sungai Mahakam, ada juga yang dari hilir. Sayangnya yang terkumpul baru tiga, jadi kurang satu pilar lagi,” timpalnya.
Di tengah kebingungan mencari pilar keempat, datanglah seorang nenek yang berusia sepuh.
Nenek ini kemudian menawarkan satu pilar lagi. Warga yang sedang gotong royong membangun masjid awalnya tak percaya.
“Nenek ini meminta agar semua yang ikut gotong royong pulang saja dulu. Dia menjanjikan pilar keempat akan sudah berdiri keesokan harinya,” tukas Abdurahman.
Keesokan hari, saat cahaya pagi mulai muncul, warga berbondong-bondong mendatangi masjid.
Betapa terkejutnya mereka karena pilar keempat itu berdiri tegak, simetris dengan tiga pilar lainnya. Pembangunan pun dilanjutkan hingga tuntas pada 1891.
Jauh sebelum kedatangan Habib Said Abdurachman, para ulama Sulawesi Selatan dari Kerajaan Gowa-Tallo juga telah berupaya mengislamkan Kerajaan Kutai pada akhir abad ke-16.
Di awal abad ke-17, tepatnya pada 1607 Islam sudah menyebar di Kutai Kartanegara dengan lebih dulu mengIslamkan Sultan Kutai kala itu yaitu Sultan Adji Raja Mahkota.
Kemudian pada 1668 datanglah saudagar asal Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan La Mohang Daeng Mangkona.
Berdasarkan penuturan Abdurahman Amin, kedatangan Daeng Mangkona, sapaan untuk La Mohang Daeng Mangkona, bertujuan meminta izin ke Sultan Kutai untuk tinggal di Kutai Lama. Daeng Mangkona memilih meninggalkan Wajo karena terjadi pergulatan politik di sana.
Sultan Kutai pun menyetujui, lalu bersama pasukannya Daeng Mangkona kemudian mampu membantu Kerajaan Kutai mengusir perompak asal Solok, Filipina.
“Atas jasa itulah, Daeng Mangkona dan pengikutnya diberi daerah otonom di Samarinda seberang bagian ulu. Daeng Mangkona yang juga memiliki pemahaman Islam yang kuat kemudian membangun perkampungan di daerah itu,” kata Abdurahman.
Dia menambahkan, pemukiman ini kemudian berkembang pesat dan menjadi pusat syiar Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara. Sayangnya, belum ada pusat syiar Islam seperti masjid.
“Kedatangan Said Abdurachman inilah yang kemudian memunculkan inisiatif pembangunan masjid. Lagi pula, di kawasan itu belum ada masjid, sehingga warga kesulitan menggelar salat Jumat,” kata Abdurahman yang juga menjabat Pemimpin Redaksi sebuah koran lokal di Kaltim.
Karena kekayaan dan kedermawanannya dalam membantu menyiarkan Islam, lalu Said Abdurachman kemudian diberi gelar Pangeran Bendahara.
Begitu masjid ini berdiri, kawasan Samarinda Seberang makin menjadi pusat kegiatan Islam di Kutai Kartanegara.
Imam pertama masjid ini adalah Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang kini diabadikan menjadi nama bandara di Kota Balikpapan.
“Informasi berdirinya masjid ini menyebar ke mana-mana. Banyak warga dari daerah lain yang datang menggunakan perahu untuk salat Jumat. Makanya kampung ini lebih dikenal dengan nama Kampung Masjid. Kini daerah itu diberi nama Kelurahan Masjid,” kata Abdurahman.
Hingga kini, masjid itu masih berdiri tegak. Meski direnovasi beberapa kali, namun tetap mempertahankan wujud asli bangunannya.
Ada kisah versi lain dalam pembangunan empat pilar itu. Di buku Kilas Sejarah Masjid Shirathal Mustaqiem Samarinda yang diterbitkan Pemkot Samarinda, kehadiran nenek itu bukan membawa pilar ke-empat. Namun mendirikan seluruh pilarnya.
Saat bergotong royong, warga kesulitan mendirikan empat pilar yang tingginya 15 meter dan berdiameter 60 centimeter.
Di tengah kesulitan mendirikan pilar, nenek itu datang menawarkan diri. Dia mengaku sanggup mendirikan empat pilar itu sendirian.
Meski awalnya ditertawakan, akhirnya nenek itu diberi kesempatan. Dia berjanji bisa mendirikan pilar hanya dalam semalam.
Terbukti, keesokan paginya, warga terkaget-kaget melihat empat pilar itu sudah berdiri tegak. Pembangunan masjid pun dilanjutkan hingga tuntas.
“Versi cerita memang ada dua. Namun yang kami dengar secara turun temurun di lingkungan sekitar masjid ya nenek itu yang membawa pilar keempat,” kata Abdurrahman yang tinggal tak jauh dari Masjid Shirathal Mustaqiem.
Usai membantu pembangunan masjid, nenek itu langsung menghilang. Tak pernah ada warga yang melihat kembali sang nenek.
Oleh Pemerintah Kota Samarinda, Masjid Shirathal Mustaqiem kemudian ditetapkan sebagai cagar budaya.
Tempat ini kemudian dijadikan wisata sejarah, berdampingan dengan pusat pembuatan sarung tenun Samarinda.
Kisah pembangunannya pun menarik untuk disimak karena tak lepas dari hal supranatural dan di luar nalar manusia.
Kisah pembangunan masjid ini diturunkan secara turun temurun dan selalu menjadi cerita yang terus didengar di lingkungan sekitar masjid. Kisah-kisah itu kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Pemerintah Kota Samarinda.
Dalam catatan sejarah yang tertuang dalam buku kilas sejarah Masjid Shirathal Mustaqiem Samarinda, masjid ini mulai dibangun pada 1881 dan selesai 10 tahun kemudian. Kisah yang paling sering diceritakan adalah proses mendirikan empat pilar utama masjid ini.
Menurut Ketua Ikatan Remaja Masjid (Irma) Shirathal Mustaqiem, Abdurrahman Amin, saat Islam sudah mulai menyebar di Kerajaan Kutai, datanglah seorang saudagar kaya dari Pontianak, Kalimantan Barat yaitu Said Abdurachman bin Asegaf.
Karena belum adanya pusat kegiatan Islam di kawasan Samarinda Seberang membuat saudagar yang juga ulama ini berinisiatif membangun masjid.
Setelah berunding, akhirnya diputuskan pembangunan masjid pada sebidang tanah. Namun lahan ini sehari-hari digunakan untuk berjudi. Jika siang hari untuk judi sabung ayam, malam harinya dijadikan judi dadu.
“Untuk menutup lokasi perjudian itu, dan mengurangi masyarakat berjudi, dipilihlah lokasi ini untuk dibangun masjid oleh Said Abdurachman. Pengumuman pun dibuat agar warga ikut membantu pembangunannya,” kata Abdurahman.
Untuk membangun masjid dibutuhkan empat pilar utama. Satu pilar harus terbuat dari kayu yang dibuat dari sebuah pohon utuh.
Sayangnya, setelah persiapan dilakukan, pilar yang tersedia hanya ada tiga. Tiga pilar itu sudah berdiri tegak.
“Tiga pilar ini sumbangan dari berbagai warga yang ingin terlibat. Ada yang dari hulu Sungai Mahakam, ada juga yang dari hilir. Sayangnya yang terkumpul baru tiga, jadi kurang satu pilar lagi,” timpalnya.
Di tengah kebingungan mencari pilar keempat, datanglah seorang nenek yang berusia sepuh.
Nenek ini kemudian menawarkan satu pilar lagi. Warga yang sedang gotong royong membangun masjid awalnya tak percaya.
“Nenek ini meminta agar semua yang ikut gotong royong pulang saja dulu. Dia menjanjikan pilar keempat akan sudah berdiri keesokan harinya,” tukas Abdurahman.
Keesokan hari, saat cahaya pagi mulai muncul, warga berbondong-bondong mendatangi masjid.
Betapa terkejutnya mereka karena pilar keempat itu berdiri tegak, simetris dengan tiga pilar lainnya. Pembangunan pun dilanjutkan hingga tuntas pada 1891.
Jauh sebelum kedatangan Habib Said Abdurachman, para ulama Sulawesi Selatan dari Kerajaan Gowa-Tallo juga telah berupaya mengislamkan Kerajaan Kutai pada akhir abad ke-16.
Di awal abad ke-17, tepatnya pada 1607 Islam sudah menyebar di Kutai Kartanegara dengan lebih dulu mengIslamkan Sultan Kutai kala itu yaitu Sultan Adji Raja Mahkota.
Kemudian pada 1668 datanglah saudagar asal Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan La Mohang Daeng Mangkona.
Berdasarkan penuturan Abdurahman Amin, kedatangan Daeng Mangkona, sapaan untuk La Mohang Daeng Mangkona, bertujuan meminta izin ke Sultan Kutai untuk tinggal di Kutai Lama. Daeng Mangkona memilih meninggalkan Wajo karena terjadi pergulatan politik di sana.
Sultan Kutai pun menyetujui, lalu bersama pasukannya Daeng Mangkona kemudian mampu membantu Kerajaan Kutai mengusir perompak asal Solok, Filipina.
“Atas jasa itulah, Daeng Mangkona dan pengikutnya diberi daerah otonom di Samarinda seberang bagian ulu. Daeng Mangkona yang juga memiliki pemahaman Islam yang kuat kemudian membangun perkampungan di daerah itu,” kata Abdurahman.
Dia menambahkan, pemukiman ini kemudian berkembang pesat dan menjadi pusat syiar Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara. Sayangnya, belum ada pusat syiar Islam seperti masjid.
“Kedatangan Said Abdurachman inilah yang kemudian memunculkan inisiatif pembangunan masjid. Lagi pula, di kawasan itu belum ada masjid, sehingga warga kesulitan menggelar salat Jumat,” kata Abdurahman yang juga menjabat Pemimpin Redaksi sebuah koran lokal di Kaltim.
Karena kekayaan dan kedermawanannya dalam membantu menyiarkan Islam, lalu Said Abdurachman kemudian diberi gelar Pangeran Bendahara.
Begitu masjid ini berdiri, kawasan Samarinda Seberang makin menjadi pusat kegiatan Islam di Kutai Kartanegara.
Imam pertama masjid ini adalah Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang kini diabadikan menjadi nama bandara di Kota Balikpapan.
“Informasi berdirinya masjid ini menyebar ke mana-mana. Banyak warga dari daerah lain yang datang menggunakan perahu untuk salat Jumat. Makanya kampung ini lebih dikenal dengan nama Kampung Masjid. Kini daerah itu diberi nama Kelurahan Masjid,” kata Abdurahman.
Hingga kini, masjid itu masih berdiri tegak. Meski direnovasi beberapa kali, namun tetap mempertahankan wujud asli bangunannya.
Ada kisah versi lain dalam pembangunan empat pilar itu. Di buku Kilas Sejarah Masjid Shirathal Mustaqiem Samarinda yang diterbitkan Pemkot Samarinda, kehadiran nenek itu bukan membawa pilar ke-empat. Namun mendirikan seluruh pilarnya.
Saat bergotong royong, warga kesulitan mendirikan empat pilar yang tingginya 15 meter dan berdiameter 60 centimeter.
Di tengah kesulitan mendirikan pilar, nenek itu datang menawarkan diri. Dia mengaku sanggup mendirikan empat pilar itu sendirian.
Meski awalnya ditertawakan, akhirnya nenek itu diberi kesempatan. Dia berjanji bisa mendirikan pilar hanya dalam semalam.
Terbukti, keesokan paginya, warga terkaget-kaget melihat empat pilar itu sudah berdiri tegak. Pembangunan masjid pun dilanjutkan hingga tuntas.
“Versi cerita memang ada dua. Namun yang kami dengar secara turun temurun di lingkungan sekitar masjid ya nenek itu yang membawa pilar keempat,” kata Abdurrahman yang tinggal tak jauh dari Masjid Shirathal Mustaqiem.
Usai membantu pembangunan masjid, nenek itu langsung menghilang. Tak pernah ada warga yang melihat kembali sang nenek.
Oleh Pemerintah Kota Samarinda, Masjid Shirathal Mustaqiem kemudian ditetapkan sebagai cagar budaya.
Tempat ini kemudian dijadikan wisata sejarah, berdampingan dengan pusat pembuatan sarung tenun Samarinda.
(sms)