AKIK Menyihir Akademisi
A
A
A
Harga batu akik terus menukik. Siklus menghantarkan batu aji— istilah lain akik— berada pada posisi puncak tren sekarang ini. Seperti sebelumnya, tosan aji semacam keris, adenium, dan bunga gelombang cinta, burung, ikan, dan lainnya pernah juga booming .
Booming kini mampu menggeser stigma yang menyebut akik bagian dari klenik . Terlepas asumsi itu masih ada, tergantung tingkatan sosial dan strata pendidikan mereka yang mengenakan akik.
Akik dan batu permata tidak sekadar menjadi obyek koleksi atau bahkan investasi. Lebih dari itu, sekarang menjadi bagian dari gengsi, terutama di kalangan mereka yang berduit . Kaum cerdik pandai di kampus juga tidak luput dari akik. Mulai sekelas rektor, pembantu rektor, dekan, dosen, dan mahasiswa sekali pun.
Sudut pandang berbeda mereka lontarkan untuk batu hasil pemolesan yang dimiliki. Ini menjadi bagian dinamika akik yang melambung. Rektor Universitas Widya Kartika (Uwika) Surabaya, Murpin Josua Sembiring, adalah salah seorang di kalangan cerdik pandai yang mengenakan akik. Bahkan, Murpin,—sapaan akrabnya— sudah memakai batu akik yang diikat pada cincin sejak lama, sebelum “musim” seperti sekarang.
“Saya pakai batu garnet roseberry , mirip merah delima. Nama lainnya akik biduri delima,” kata Murpin, kemarin. Sudah empat tahun salah satu jari dari pria yang masuk 100 tokoh berpengaruh Suku Karo ini berhiaskan garnet roseberry , yang didapat dari pemberian kerabat. “Ada banyak batu akik di rumah yang diberi teman dan saudara. Tapi yang saya pakai satu ini saja. Terlalu ramai juga kurang pas,” ungkapnya. Garnet roseberry yang disebut Murpin sudah ada sejak abad XIV ini berasal dari Inggris. Alasan berikut pengetahuan seputar batu yang dikenakan dilontarkan Murpin.
“Kenapa saya pakai? Saya hanya ingin tunjukan batu ini keindahan pahatan Tuhan. Melalui proses alam, Tuhan membuat campuran sekaligus pembentukan batu yang alami. Saya pakai bukan karena ikutikutan. Jauh tahun sebelum akik tren, saya sudah pakai,” papar pria berkacamata minus ini. Murpin yang juga ketua Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (Askrindo) Jawa Timur ini mengaku merasa lebih percaya diri (PD) dengan garnet roseberry yang dikenakan. Batu yang dikenakannya juga lambang kesehatan, lambang semangat. “Menilik sejarah, Nabi Nuh dulu juga memiliki garnet rossebery .
Waktu itu di atas bahtera, di atas kapal Nabi Nuh menggunakan batu garnet rosseberry ini sebagai lentera, semacam senter,” Murpin mengutip cerita. Garnet roseberry untuk menyinari menjadi alasan Murpin setia memakainya. “Ini pas dengan profesi saya sebagai dosen, sebagai rektor, menyinari mahasiswa dari kegelapan yang diartikan sebagai kebodohan,” ulasnya. Karena mban atau ikatnya berbahan emas, membuat batu garnet roseberry yang dipakai Murpin tidak ada yang menawar.
“Bisa jadi sungkan. Paling teman yang melihat sebatas mengatakan batunya bagus. Jadi tidak ada yang pernah menawar langsung,” katanya. Selain Murpin, Siswanto, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya juga mengenakan akik, dan bahkan mengoleksinya.
Pria asli Banyuwangi ini mulai mengoleksi akik sejak 1996. Kala itu, bapak dari dua putri dan satu putri ini dikirim ke Barito untuk meneliti sekaligus mengawal pemberlakuan otonomi daerah. “Sebelum 1996 saya kenal akik. Waktu itu masih menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Surabaya yang sekarang jadi Unitomo. Saat jalan-jalan ke Pacitan, saya beli akik. Setelah di Barito selatan meneliti otonomi daerah, kecintaan pada akik semakin kuat,” ucap suami Sri Windu Handayani ini.
Tidak heran selama di sana, pria kelahiran 24 September 1953 ini banyak menambah jumlah akik yang dimiliki. Ketika melaksanakan program otonomi daerah yang dilaksanakan Unitomo itu, Sis, begitu dia biasa disapa, juga kerap kali ke Martapura. “Saya beli black oval, pirus, safir, merah delima dan lain. Sekarang di rumah ada sekitar 75 jenis batu akik,” Sis bertutur. Hanya dua yang dipakai secara bergantian. Tidak jarang Sis sempat digoda mahasiswanya ketika mengenakan akik.
Mahasiswa mengira Sis baru saja kena demam akik padahal sudah lama. “Yo wis tak copote,” jawab Sis ketika ada mahasiswa S-1 yang menyinggung akiknya. Lain halnya saat Sis mengajar di Pascasarjana Unitomo, tidak ada seorang pun mahasiswanya yang mempersoalkan akiknya. “Saya pakai hanya tidak ekstrem. Pakai empat sekaligus. Tidak seperti itu. Sekali pakai hanya dua. Kanan satu dan kiri satu,” papar pria yang pernah hunting akik hingga Sulawesi ini.
Tidak jarang Sis beli bahan berupa batu, dia gosokkan ke tukang. Bacan, soleman meksiko, kecubung teh dan black oval adalah di antara koleksinya. Asli Banyuwangi tidak lantas membuat Sis mengaitkan akik dengan magic , dengan klenik . “Soal klenik itu believe or not ,” ucapnya. Bersama para pehobi akik lain di Unitomo, Siswanto tidak jarang jumpa di timur gedung rektorat. Penggemar akik dari unsur rektorat, dosen dan mahasiswa tidak jarang sharing seputar batu akik.
Termasuk Pembantu Rektor I Unitomo, Soemantoro, yang juga mengenakan akik. Sementara Didik Ardian, warga Jalan Tambang Boyo 122-C Surabaya, adalah salah seorang pedagang akik dan batu permata di Surabaya. Pria ini mengaku banyak memiliki pelanggan dari kalangan pejabat kampus. “Sebenarnya tren akik ini sudah lama, cuma boomingnya baru saja. Dulu pandangan orang ke magis, dukun. Intelektual dulu tidak tertarik karena ada anggapan ada jin, khodam ,” ucap alumnus Universitas Pembangunan Nasional (UPS) Surabaya ini.
Keberadaan akik sekarang, kata Didik, bergeser sebagai aksesori badan. Salah satunya untuk mempercantik diri. “Kelas akik sampai permata jadi tren. Ditunjang keluarnya khas batu berbagai daerah, dari Sabang sampai Merauke,” ucap Didik. Batu untuk dekan, dosen dan bahkan mahasiswa, disiapkan Didik. Jenisnya bervariatif, mulai batu akik, batu bergambar (alami), red baron (merah), black jade , black onyx (batu kesehatan), dan lainnya. “Untuk kelas mahasiswa harganya berkisar Rp250.000,” ucap Didik. Untuk penggila batu, ada jenis bulu macan, blue safir, king safir, dan lainnya. Batu jenis fosil juga ada, semacam gali kelor, mani gajah.
Setuju Eks Dolly Jadi Pusat Akik
Sejak Lokalisasi Dolly ditutup, warga sekitar kecewa dengan kebijakan Pemkot Surabaya. Pasalnya, program yang digulirkan terkait pemberdayaan ekonomi warga, sebatas lips service . Kalaupun ada, sebatas untuk formalitas. Wajar kiranya di saat sekarang ada embrio bursa akik di eks Gang Dolly, warga tidak mau ini diklaim sebagai hasil kinerja pemkot. Melainkan hasil pemikiran dan upaya warga sendiri yang kehilangan sumber mata pencarian karena penutupan Dolly.
Dulunya mereka buka warung, buka jasa parkir, dan lainnya. “Saya ini mengasah batu menjadi akik dan menjualnya atas inisiatif sendiri. Bukan karena pemkot. Ingat, warga di sini tidak mau jika ini diakui sebagai hasil kerja pemkot. Pemkot menutup Dolly tanpa solusi ekonomi bagi warga,” ucap Suyitno, salah seorang penjual batu akik di eks Gang Dolly. Suyitno mengakui di sekitaran eks Gang Dolly kini banyak pengasah batu dan penjual batu akik tepi jalan. Namun, lagilagi dia tidak mau tumbuhnya embrio sentra akik itu diklaim sebagai prakarsa pemkot.
Pemkot selama ini sebatas pencitraan, terlebih jelang pemilihan wali kota. Kondisi ini yang membuat warga apatis, bahkan antipati terhadap masuknya pemkot untuk membesarkan sentra batu akik di eks Gang Dolly. Warga yakin “roh” sentra akik yang kini ada di eks Dolly dan sekitarnya, akan besar tanpa hadirnya pemkot. Didik Ardian, salah seorang pedagang akik juga setuju eks Dolly jadi sentra batu akik.
“Selama ini penjual akik di Surabaya tercecer di beberapa titik. Ada di tepi jalan. Kalau di eks Dolly ada, berarti keberadaan sentra bertambah,” sebutnya. Sementara itu, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Administrasi (FKIP) Universitas Dr. Soetomo (Unitomo), Siswanto, juga setuju eks Dolly disulap jadi bursa akik.
“Orang yang semula menganggur punya pekerjaan, menggosok, dan menjual batu akik. Orang kecil bisa dapat uang,” katanya. Siswanto menyebut tren batu akik sekarang lebih menggerakkan roda perekonomian. “Adik saya yang semula menganggur sekarang jadi tukang poles. Per hari ada 25 orang datang memoleskan batu. Ongkos poles per batu Rp25.000,” ucap Siswanto.
Soeprayitno
Booming kini mampu menggeser stigma yang menyebut akik bagian dari klenik . Terlepas asumsi itu masih ada, tergantung tingkatan sosial dan strata pendidikan mereka yang mengenakan akik.
Akik dan batu permata tidak sekadar menjadi obyek koleksi atau bahkan investasi. Lebih dari itu, sekarang menjadi bagian dari gengsi, terutama di kalangan mereka yang berduit . Kaum cerdik pandai di kampus juga tidak luput dari akik. Mulai sekelas rektor, pembantu rektor, dekan, dosen, dan mahasiswa sekali pun.
Sudut pandang berbeda mereka lontarkan untuk batu hasil pemolesan yang dimiliki. Ini menjadi bagian dinamika akik yang melambung. Rektor Universitas Widya Kartika (Uwika) Surabaya, Murpin Josua Sembiring, adalah salah seorang di kalangan cerdik pandai yang mengenakan akik. Bahkan, Murpin,—sapaan akrabnya— sudah memakai batu akik yang diikat pada cincin sejak lama, sebelum “musim” seperti sekarang.
“Saya pakai batu garnet roseberry , mirip merah delima. Nama lainnya akik biduri delima,” kata Murpin, kemarin. Sudah empat tahun salah satu jari dari pria yang masuk 100 tokoh berpengaruh Suku Karo ini berhiaskan garnet roseberry , yang didapat dari pemberian kerabat. “Ada banyak batu akik di rumah yang diberi teman dan saudara. Tapi yang saya pakai satu ini saja. Terlalu ramai juga kurang pas,” ungkapnya. Garnet roseberry yang disebut Murpin sudah ada sejak abad XIV ini berasal dari Inggris. Alasan berikut pengetahuan seputar batu yang dikenakan dilontarkan Murpin.
“Kenapa saya pakai? Saya hanya ingin tunjukan batu ini keindahan pahatan Tuhan. Melalui proses alam, Tuhan membuat campuran sekaligus pembentukan batu yang alami. Saya pakai bukan karena ikutikutan. Jauh tahun sebelum akik tren, saya sudah pakai,” papar pria berkacamata minus ini. Murpin yang juga ketua Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (Askrindo) Jawa Timur ini mengaku merasa lebih percaya diri (PD) dengan garnet roseberry yang dikenakan. Batu yang dikenakannya juga lambang kesehatan, lambang semangat. “Menilik sejarah, Nabi Nuh dulu juga memiliki garnet rossebery .
Waktu itu di atas bahtera, di atas kapal Nabi Nuh menggunakan batu garnet rosseberry ini sebagai lentera, semacam senter,” Murpin mengutip cerita. Garnet roseberry untuk menyinari menjadi alasan Murpin setia memakainya. “Ini pas dengan profesi saya sebagai dosen, sebagai rektor, menyinari mahasiswa dari kegelapan yang diartikan sebagai kebodohan,” ulasnya. Karena mban atau ikatnya berbahan emas, membuat batu garnet roseberry yang dipakai Murpin tidak ada yang menawar.
“Bisa jadi sungkan. Paling teman yang melihat sebatas mengatakan batunya bagus. Jadi tidak ada yang pernah menawar langsung,” katanya. Selain Murpin, Siswanto, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya juga mengenakan akik, dan bahkan mengoleksinya.
Pria asli Banyuwangi ini mulai mengoleksi akik sejak 1996. Kala itu, bapak dari dua putri dan satu putri ini dikirim ke Barito untuk meneliti sekaligus mengawal pemberlakuan otonomi daerah. “Sebelum 1996 saya kenal akik. Waktu itu masih menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Surabaya yang sekarang jadi Unitomo. Saat jalan-jalan ke Pacitan, saya beli akik. Setelah di Barito selatan meneliti otonomi daerah, kecintaan pada akik semakin kuat,” ucap suami Sri Windu Handayani ini.
Tidak heran selama di sana, pria kelahiran 24 September 1953 ini banyak menambah jumlah akik yang dimiliki. Ketika melaksanakan program otonomi daerah yang dilaksanakan Unitomo itu, Sis, begitu dia biasa disapa, juga kerap kali ke Martapura. “Saya beli black oval, pirus, safir, merah delima dan lain. Sekarang di rumah ada sekitar 75 jenis batu akik,” Sis bertutur. Hanya dua yang dipakai secara bergantian. Tidak jarang Sis sempat digoda mahasiswanya ketika mengenakan akik.
Mahasiswa mengira Sis baru saja kena demam akik padahal sudah lama. “Yo wis tak copote,” jawab Sis ketika ada mahasiswa S-1 yang menyinggung akiknya. Lain halnya saat Sis mengajar di Pascasarjana Unitomo, tidak ada seorang pun mahasiswanya yang mempersoalkan akiknya. “Saya pakai hanya tidak ekstrem. Pakai empat sekaligus. Tidak seperti itu. Sekali pakai hanya dua. Kanan satu dan kiri satu,” papar pria yang pernah hunting akik hingga Sulawesi ini.
Tidak jarang Sis beli bahan berupa batu, dia gosokkan ke tukang. Bacan, soleman meksiko, kecubung teh dan black oval adalah di antara koleksinya. Asli Banyuwangi tidak lantas membuat Sis mengaitkan akik dengan magic , dengan klenik . “Soal klenik itu believe or not ,” ucapnya. Bersama para pehobi akik lain di Unitomo, Siswanto tidak jarang jumpa di timur gedung rektorat. Penggemar akik dari unsur rektorat, dosen dan mahasiswa tidak jarang sharing seputar batu akik.
Termasuk Pembantu Rektor I Unitomo, Soemantoro, yang juga mengenakan akik. Sementara Didik Ardian, warga Jalan Tambang Boyo 122-C Surabaya, adalah salah seorang pedagang akik dan batu permata di Surabaya. Pria ini mengaku banyak memiliki pelanggan dari kalangan pejabat kampus. “Sebenarnya tren akik ini sudah lama, cuma boomingnya baru saja. Dulu pandangan orang ke magis, dukun. Intelektual dulu tidak tertarik karena ada anggapan ada jin, khodam ,” ucap alumnus Universitas Pembangunan Nasional (UPS) Surabaya ini.
Keberadaan akik sekarang, kata Didik, bergeser sebagai aksesori badan. Salah satunya untuk mempercantik diri. “Kelas akik sampai permata jadi tren. Ditunjang keluarnya khas batu berbagai daerah, dari Sabang sampai Merauke,” ucap Didik. Batu untuk dekan, dosen dan bahkan mahasiswa, disiapkan Didik. Jenisnya bervariatif, mulai batu akik, batu bergambar (alami), red baron (merah), black jade , black onyx (batu kesehatan), dan lainnya. “Untuk kelas mahasiswa harganya berkisar Rp250.000,” ucap Didik. Untuk penggila batu, ada jenis bulu macan, blue safir, king safir, dan lainnya. Batu jenis fosil juga ada, semacam gali kelor, mani gajah.
Setuju Eks Dolly Jadi Pusat Akik
Sejak Lokalisasi Dolly ditutup, warga sekitar kecewa dengan kebijakan Pemkot Surabaya. Pasalnya, program yang digulirkan terkait pemberdayaan ekonomi warga, sebatas lips service . Kalaupun ada, sebatas untuk formalitas. Wajar kiranya di saat sekarang ada embrio bursa akik di eks Gang Dolly, warga tidak mau ini diklaim sebagai hasil kinerja pemkot. Melainkan hasil pemikiran dan upaya warga sendiri yang kehilangan sumber mata pencarian karena penutupan Dolly.
Dulunya mereka buka warung, buka jasa parkir, dan lainnya. “Saya ini mengasah batu menjadi akik dan menjualnya atas inisiatif sendiri. Bukan karena pemkot. Ingat, warga di sini tidak mau jika ini diakui sebagai hasil kerja pemkot. Pemkot menutup Dolly tanpa solusi ekonomi bagi warga,” ucap Suyitno, salah seorang penjual batu akik di eks Gang Dolly. Suyitno mengakui di sekitaran eks Gang Dolly kini banyak pengasah batu dan penjual batu akik tepi jalan. Namun, lagilagi dia tidak mau tumbuhnya embrio sentra akik itu diklaim sebagai prakarsa pemkot.
Pemkot selama ini sebatas pencitraan, terlebih jelang pemilihan wali kota. Kondisi ini yang membuat warga apatis, bahkan antipati terhadap masuknya pemkot untuk membesarkan sentra batu akik di eks Gang Dolly. Warga yakin “roh” sentra akik yang kini ada di eks Dolly dan sekitarnya, akan besar tanpa hadirnya pemkot. Didik Ardian, salah seorang pedagang akik juga setuju eks Dolly jadi sentra batu akik.
“Selama ini penjual akik di Surabaya tercecer di beberapa titik. Ada di tepi jalan. Kalau di eks Dolly ada, berarti keberadaan sentra bertambah,” sebutnya. Sementara itu, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Administrasi (FKIP) Universitas Dr. Soetomo (Unitomo), Siswanto, juga setuju eks Dolly disulap jadi bursa akik.
“Orang yang semula menganggur punya pekerjaan, menggosok, dan menjual batu akik. Orang kecil bisa dapat uang,” katanya. Siswanto menyebut tren batu akik sekarang lebih menggerakkan roda perekonomian. “Adik saya yang semula menganggur sekarang jadi tukang poles. Per hari ada 25 orang datang memoleskan batu. Ongkos poles per batu Rp25.000,” ucap Siswanto.
Soeprayitno
(ars)