Kisah Kecantikan Putri Sunda yang Membuat 2 Pimpinan Tertinggi Majapahit Berselisih
loading...
A
A
A
Perang Bubat, menjadi pertempuran sengit dan paling berdarah antara pasukan Kerajaan Majapahit, dengan pasukan Kerajaan Sunda. Peristiwa berdarah ini, diduga tak lepas dari peran dan kebijakan Mahapatih Gajah Mada.
Sebagai seorang mahapatih di kerajaan terbesar di Nusantara, Gajah Mada disebut bisa mempengaruhi orang lain termasuk raja. Gajah Mada yang menjadi penentu kebijakan kedua setelah Raja Hayam Wuruk, justru berbalik.
Saat itu perjalanan rombongan Sunda ke Majapahit untuk melaksanakan pernikahan anak Raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi, dengan Hayam Wuruk gagal total. Hal ini diduga juga akibat kebijakan Gajah Mada yang begitu kuat.
Kidung Sunda sebagaimana dikutip dari buku "Gajah Mada: Sistem Politik dan Kepemimpinan" karya Enung Nurhayati, mengisahkan bagaimana Gajah Mada menjadi sutradara di balik Perang Bubat itu. Tak ayal citra Gajah Mada di Kidung Sunda itu disebutkan begitu buruk.
Gajah Mada sebagai seorang mahapatih, mempunyai peranan kuat dalam menentukan bahkan mempengaruhi Hayam Wuruk, untuk mengubah pendirian serta tindakan raja terhadap Raja Sunda dan putrinya. Gajah Mada dalam mempengaruhi rajanya, lebih mementingkan wibawa raja sebagai penguasa kerajaan daripada perasaan raja sebagai manusia.
Sebagai negarawan, Gajah Mada membuat kebijakan yang seolah-olah membenarkan berbagai cara, kebijakannya tidak dipahami oleh menteri-menteri lainnya. Alhasil pendirian Hayam Wuruk sang raja muda yang belum mempunyai istri ini pun goyah, terlebih kecantikan putri Sunda itu memang begitu menawan hatinya.
Semula Raja Hayam Wuruk ditanya oleh Raja Kahuripan dan Raja Daha, dua raja di bawah wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit, tentang bagaimana perasaannya ke putri Sunda Syah Pitaloka Citraresmi. Hayam Wuruk pun mantap menjawab bahwa dia mencintai Dyah Pitaloka Citraresmi dan ingin menikahinya.
Justru Gajah Mada yang tidak setuju dengan tindakan sang raja. Hal inilah yang membuat semua menteri yang menghadap tegang mengetahui perbedaan pandangan antara dua pucuk pimpinan tertinggi di Kerajaan Majapahit.
Sambil mengawasi Gajah Mada, semua menteri hanya bisa bertanya-tanya dalam hati apa yang dikehendaki Gajah Mada. Petikan-petikan naskah Kidung Sunda menceritakan tentang situasi semula dari para menteri, para penjaga, dan para pelayan pribadi raja yang setuju terhadap kehendak raja, namun prihatin terhadap perbedaan kehendak dari Gajah Mada.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Sebagai seorang mahapatih di kerajaan terbesar di Nusantara, Gajah Mada disebut bisa mempengaruhi orang lain termasuk raja. Gajah Mada yang menjadi penentu kebijakan kedua setelah Raja Hayam Wuruk, justru berbalik.
Saat itu perjalanan rombongan Sunda ke Majapahit untuk melaksanakan pernikahan anak Raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi, dengan Hayam Wuruk gagal total. Hal ini diduga juga akibat kebijakan Gajah Mada yang begitu kuat.
Kidung Sunda sebagaimana dikutip dari buku "Gajah Mada: Sistem Politik dan Kepemimpinan" karya Enung Nurhayati, mengisahkan bagaimana Gajah Mada menjadi sutradara di balik Perang Bubat itu. Tak ayal citra Gajah Mada di Kidung Sunda itu disebutkan begitu buruk.
Gajah Mada sebagai seorang mahapatih, mempunyai peranan kuat dalam menentukan bahkan mempengaruhi Hayam Wuruk, untuk mengubah pendirian serta tindakan raja terhadap Raja Sunda dan putrinya. Gajah Mada dalam mempengaruhi rajanya, lebih mementingkan wibawa raja sebagai penguasa kerajaan daripada perasaan raja sebagai manusia.
Sebagai negarawan, Gajah Mada membuat kebijakan yang seolah-olah membenarkan berbagai cara, kebijakannya tidak dipahami oleh menteri-menteri lainnya. Alhasil pendirian Hayam Wuruk sang raja muda yang belum mempunyai istri ini pun goyah, terlebih kecantikan putri Sunda itu memang begitu menawan hatinya.
Semula Raja Hayam Wuruk ditanya oleh Raja Kahuripan dan Raja Daha, dua raja di bawah wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit, tentang bagaimana perasaannya ke putri Sunda Syah Pitaloka Citraresmi. Hayam Wuruk pun mantap menjawab bahwa dia mencintai Dyah Pitaloka Citraresmi dan ingin menikahinya.
Justru Gajah Mada yang tidak setuju dengan tindakan sang raja. Hal inilah yang membuat semua menteri yang menghadap tegang mengetahui perbedaan pandangan antara dua pucuk pimpinan tertinggi di Kerajaan Majapahit.
Sambil mengawasi Gajah Mada, semua menteri hanya bisa bertanya-tanya dalam hati apa yang dikehendaki Gajah Mada. Petikan-petikan naskah Kidung Sunda menceritakan tentang situasi semula dari para menteri, para penjaga, dan para pelayan pribadi raja yang setuju terhadap kehendak raja, namun prihatin terhadap perbedaan kehendak dari Gajah Mada.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(eyt)