Misteri Gunung Penanggungan, Tanah Suci di Era Kerajaan Majapahit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kerajaan Majapahit memiliki banyak cerita yang menggambarkan relasi horizontal antara manusia dengan sesama ciptaan dan hubungan vertikal dengan wujud yang diyakini penguasa semesta.
Gunung yang menjulang tinggi, kerap diyakini sebagai titik persinggungan yang menghubungkan manusia dengan penguasa semesta itu. Maka tidak heran pula, gunung (tertentu) diyakini sebagai tempat suci yang tidak bisa sesuka hati dijelajahi, apalagi digunduli.
Gunung Penanggungan, dengan aneka cerita suci yang menyertainya, salah satu warisan peninggalan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Gunung Penanggungan, yang dianggap sebagai wilayah suci, tentu tidak lepas dari Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada yang saat itu tidak hanya mampu menciptakan stabilitas politik, kemakmuran ekonomi, tapi juga kehidupan keagamaan warganya.
Di wilayah suci itulah warga yang ingin menyempurnakan kehidupan religius dengan bertapa, bisa menjalankannya. Gunung Penanggunang atau nama kunonya Gunung Pawitra berlokasi di Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Gunung Pawitra berada di ketinggian 1.653 m dpl dan berbentuk kerucut.
Secara geografis, Gunung Penanggungan berada di perbatasan dua kabupaten, yaitu Kabupaten Mojokerto (bagian barat) dan Kabupaten Pasuruan (bagian timur) dan berjarak kurang lebih 55 km sebelah selatan kota Surabaya.
Gunung Penanggungan merupakan gunung kecil yang berada pada satu klaster dengan Gunung Arjuno dan Gunung Welirang yang jauh lebih besar. Walaupun kecil, Gunung Penanggungan diliputi aura mistis, keramat dan suci. Tidak hanya dirasakan di puncak gunung, suasana atau aura mistis itu terasa mulai dari kaki gunung.
Bagaimana tidak, di area gunung ini ditemukan candi-candi khas bangunan peninggalan Hindu-Buddha. Tidak hanya suasana kesucian gunung yang didukung bangunan Hindu-Budha, tapi juga ada kisah tentang asal-muasal gunung suci itu.
Cerita yang diwariskan turun-temurun, konon gunung keramat itu merupakan jelmaan Mahameru, gunungnya para dewa di zaman. Bahkan tidak hanya cerita lisan, dalam kitab Tantu Panggelaran Saka 1.557 atau 1.635 M, konon, para dewa sepakat untuk menyetujui bahwa manusia boleh berkembang di Pulau Jawa, namun pulau itu tidak stabil, selalu diguncang diterpa ombak lautan.
Agar kondisi Pulau Jawa stabil, para dewa sepakat memindahkan Gunung Mahameru dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Namun, dalam perjalanan kepindahan tersebut, sebagian Mahameru ada yang rontok berjatuhan.
Akibat material yang jatuh itu, muncul gunung-gemunung di Pulau Jawa dari barat ke timur. Bagian terbesarnya jatuh menjelma menjadi Gunung Semeru, sedang puncak Mahameru dihempaskan oleh para dewa menjadi Pawitra yang sekarang disebut Gunung Penanggungan.
Gunung yang menjulang tinggi, kerap diyakini sebagai titik persinggungan yang menghubungkan manusia dengan penguasa semesta itu. Maka tidak heran pula, gunung (tertentu) diyakini sebagai tempat suci yang tidak bisa sesuka hati dijelajahi, apalagi digunduli.
Gunung Penanggungan, dengan aneka cerita suci yang menyertainya, salah satu warisan peninggalan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Gunung Penanggungan, yang dianggap sebagai wilayah suci, tentu tidak lepas dari Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada yang saat itu tidak hanya mampu menciptakan stabilitas politik, kemakmuran ekonomi, tapi juga kehidupan keagamaan warganya.
Di wilayah suci itulah warga yang ingin menyempurnakan kehidupan religius dengan bertapa, bisa menjalankannya. Gunung Penanggunang atau nama kunonya Gunung Pawitra berlokasi di Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Gunung Pawitra berada di ketinggian 1.653 m dpl dan berbentuk kerucut.
Secara geografis, Gunung Penanggungan berada di perbatasan dua kabupaten, yaitu Kabupaten Mojokerto (bagian barat) dan Kabupaten Pasuruan (bagian timur) dan berjarak kurang lebih 55 km sebelah selatan kota Surabaya.
Gunung Penanggungan merupakan gunung kecil yang berada pada satu klaster dengan Gunung Arjuno dan Gunung Welirang yang jauh lebih besar. Walaupun kecil, Gunung Penanggungan diliputi aura mistis, keramat dan suci. Tidak hanya dirasakan di puncak gunung, suasana atau aura mistis itu terasa mulai dari kaki gunung.
Bagaimana tidak, di area gunung ini ditemukan candi-candi khas bangunan peninggalan Hindu-Buddha. Tidak hanya suasana kesucian gunung yang didukung bangunan Hindu-Budha, tapi juga ada kisah tentang asal-muasal gunung suci itu.
Cerita yang diwariskan turun-temurun, konon gunung keramat itu merupakan jelmaan Mahameru, gunungnya para dewa di zaman. Bahkan tidak hanya cerita lisan, dalam kitab Tantu Panggelaran Saka 1.557 atau 1.635 M, konon, para dewa sepakat untuk menyetujui bahwa manusia boleh berkembang di Pulau Jawa, namun pulau itu tidak stabil, selalu diguncang diterpa ombak lautan.
Agar kondisi Pulau Jawa stabil, para dewa sepakat memindahkan Gunung Mahameru dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Namun, dalam perjalanan kepindahan tersebut, sebagian Mahameru ada yang rontok berjatuhan.
Akibat material yang jatuh itu, muncul gunung-gemunung di Pulau Jawa dari barat ke timur. Bagian terbesarnya jatuh menjelma menjadi Gunung Semeru, sedang puncak Mahameru dihempaskan oleh para dewa menjadi Pawitra yang sekarang disebut Gunung Penanggungan.