Misteri Gunung Penanggungan, Tanah Suci di Era Kerajaan Majapahit

Selasa, 03 Januari 2023 - 05:05 WIB
loading...
Misteri Gunung Penanggungan, Tanah Suci di Era Kerajaan Majapahit
Misteri Gunung Penanggunang, tanah suci di era kerajaan majapahit. Foto ilustrasi
A A A
JAKARTA - Kerajaan Majapahit memiliki banyak cerita yang menggambarkan relasi horizontal antara manusia dengan sesama ciptaan dan hubungan vertikal dengan wujud yang diyakini penguasa semesta.

Gunung yang menjulang tinggi, kerap diyakini sebagai titik persinggungan yang menghubungkan manusia dengan penguasa semesta itu. Maka tidak heran pula, gunung (tertentu) diyakini sebagai tempat suci yang tidak bisa sesuka hati dijelajahi, apalagi digunduli.

Gunung Penanggungan, dengan aneka cerita suci yang menyertainya, salah satu warisan peninggalan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Gunung Penanggungan, yang dianggap sebagai wilayah suci, tentu tidak lepas dari Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada yang saat itu tidak hanya mampu menciptakan stabilitas politik, kemakmuran ekonomi, tapi juga kehidupan keagamaan warganya.

Di wilayah suci itulah warga yang ingin menyempurnakan kehidupan religius dengan bertapa, bisa menjalankannya. Gunung Penanggunang atau nama kunonya Gunung Pawitra berlokasi di Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Gunung Pawitra berada di ketinggian 1.653 m dpl dan berbentuk kerucut.

Secara geografis, Gunung Penanggungan berada di perbatasan dua kabupaten, yaitu Kabupaten Mojokerto (bagian barat) dan Kabupaten Pasuruan (bagian timur) dan berjarak kurang lebih 55 km sebelah selatan kota Surabaya.

Gunung Penanggungan merupakan gunung kecil yang berada pada satu klaster dengan Gunung Arjuno dan Gunung Welirang yang jauh lebih besar. Walaupun kecil, Gunung Penanggungan diliputi aura mistis, keramat dan suci. Tidak hanya dirasakan di puncak gunung, suasana atau aura mistis itu terasa mulai dari kaki gunung.

Bagaimana tidak, di area gunung ini ditemukan candi-candi khas bangunan peninggalan Hindu-Buddha. Tidak hanya suasana kesucian gunung yang didukung bangunan Hindu-Budha, tapi juga ada kisah tentang asal-muasal gunung suci itu.

Cerita yang diwariskan turun-temurun, konon gunung keramat itu merupakan jelmaan Mahameru, gunungnya para dewa di zaman. Bahkan tidak hanya cerita lisan, dalam kitab Tantu Panggelaran Saka 1.557 atau 1.635 M, konon, para dewa sepakat untuk menyetujui bahwa manusia boleh berkembang di Pulau Jawa, namun pulau itu tidak stabil, selalu diguncang diterpa ombak lautan.

Agar kondisi Pulau Jawa stabil, para dewa sepakat memindahkan Gunung Mahameru dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Namun, dalam perjalanan kepindahan tersebut, sebagian Mahameru ada yang rontok berjatuhan.

Akibat material yang jatuh itu, muncul gunung-gemunung di Pulau Jawa dari barat ke timur. Bagian terbesarnya jatuh menjelma menjadi Gunung Semeru, sedang puncak Mahameru dihempaskan oleh para dewa menjadi Pawitra yang sekarang disebut Gunung Penanggungan.

Berada tidak jauh dari pusat keraton Majapahit di Trowulan, gunung dengan ketinggian 1.653 meter di atas permukaan laut tersebut seakan menjadi pusat spiritual kerajaan. Di setiap jengkal kaki melangkah, pecahan terakota berserakan di tanah. Ratusan situs purbakala berupa candi-candi yang dibangun pada abad 15 mengelilingi puncak Pawitra.

Gunung Penanggungan sendiri dikelilingi empat bukit di bawahnya yaitu Gajah Mungkur (1.087 m), Bekel (1.238 m), Kemuncup (1.227m) dan Sarah Klopo (1.275 m). Setiap bukit terdapat situs purbakala dengan ragam cerita yang melegenda di masyarakat.

Dari lereng Gunung Penanggungan, Candi Jedong berdiri megah dan kokoh. Candi ini punya dua bangunan gapura yaitu Candi Jedong 1 dan Jedong 2. Menurut para peneliti, di Desa Jedong terdapat tiga gapura, namun kini hanya tersisa dua gapura.

Candi Jedong pertama bernama Candi Lanang (laki-laki), letaknya dekat pintu masuk. Sedangkan Candi Jedong kedua disebut Candi Wadon (perempuan).

Kedua candi tersebut dihubungkan oleh tembok yang terbuat dari susunan batu sekitar sepanjang 50 meter. Meski nampak sama, namun rupanya kedua candi ini memiliki tinggi dan ukiran yang berbeda.

Candi Jedong Lanang memiliki tinggi 9,75 meter, sedangkan Candi Wadon tinggi 7,19 meter. Pada bagian ambang pintu Candi I terdapat candrasengkala yang berbunyi Brahma Nora Kaya Bhumi yang berarti tahun 1.307 Saka atau 1.385 M. Sedangkan candi 2 terdapat hiasan kala dengan ukiran apik lainnya.

Ada dua bangunan berbentuk paduraksa, bangunan berbentuk gapura yang memiliki penutup. Paduraksa adalah sebuah pintu gerbang, yaitu terdiri atas tiga bagian; kaki atau landasan tempat tangga, tubuh bangunan tempat gawang pintu, dan atap bersusun yang dilengkapi kemuncak atau mastaka. Paduraksa dilengkapi dengan lawang (lubang gawang pintu) dan daun pintu.

Adanya gapura paduraksa menandakan bahwa kompleks bangunan yang memiliki gerbang seperti ini adalah bangunan penting, seperti tempat suci, atau istana. Kabarnya, dahulu Candi ini menjadi tempat peristirahatan para Raja Majapahit dan Singosari bersama permaisurinya.

Jika dilihat lebih saksama pada bagian atas ambang pintu Candi 2 terdapat hiasan kala bagian kepala. Relief kala memang biasanya diletakkan di ambang atas pintu, jendela, atau relung pada candi. Relief kala bukan hanya sekedar hiasan semata, namun juga memiliki makna.

Berada di lereng Gunung Penanggungan, suasana di Candi Jedong masih tetap asri. Dilengkapi dengan tumbuhan rimbun di sekeliling candi. Walau usianya sudah ratusan tahun, namun candi ini masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik.
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0756 seconds (0.1#10.140)