Kisah Para Bangsawan yang Cemaskan Sekolah Eropa Ubah Pemuda Indonesia Jadi Besar Kepala

Senin, 29 Agustus 2022 - 16:01 WIB
loading...
Kisah Para Bangsawan yang Cemaskan Sekolah Eropa Ubah Pemuda Indonesia Jadi Besar Kepala
Orang Indonesia pada masa Kolonial Belanda yang bersekolah di Negeri Belanda.Foto/repro
A A A
Penyakit gaya ke-Eropa-eropaan atau ke-Belanda-belandaan yang diikuti sikap besar kepala, pernah dicemaskan akan menjangkiti para pemuda pribumi Hindia Belanda (Indonesia) yang belajar di Negeri Belanda.

Para orang tua di Hindia Belanda merasa khawatir, sepulang dari Belanda anak-anak mereka akan kehilangan jati diri sebagai pribumi, yakni terutama munculnya sifat merasa paling hebat dibanding lingkungan sekitarnya.

Kecemasan yang terjadi pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda itu membuat tidak sedikit orang tua yang kemudian berfikir ulang mempertahankan Negeri Belanda sebagai tempat menimba ilmu.

Baca juga: Kisah Serangan Berdarah Raden Wijaya, Hancurkan 18.000 Pasukan Mongol

“Keenganan terbesar pada orang tua Islam untuk mengirimkan anak-anaknya ke Negeri Belanda adalah bahwa dengan tinggal bertahun-tahun di sana, mereka akan terlalu di-Eropakan,” kata Dr A. A Fokker dalam buku Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.

Pada tahun pertama abad ke-20, jumlah orang Indonesia yang datang ke Negeri Belanda dengan biaya mandiri, mengalami peningkatan. Sebagian besar berasal dari golongan aristokrat (bangsawan). Separuh lebih merupakan putra-putra raja berada, termasuk juga banyak dari anak-anak golongan priyayi Jawa.

Sejarah Indonesia mencatat, kecuali Soekarno atau Bung Karno yang bersekolah di Jawa, tidak sedikit tokoh pergerakan mencicipi pendidikan di Negeri Belanda. Sebut saja Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Kemudian Sutan Sjahrir, Tan Malaka dan Hamengkubuwono IX.

Pada tahun pertama abad ke-20, tujuan orang tua menyekolahkan ke Negeri Belanda adalah agar anak-anak mereka bisa belajar bahasa Belanda dengan lebih baik. Di samping itu juga agar memiliki pengetahuan umum serta memperoleh orientasi umum mengenai Negeri Belanda.

Saat itu Sultan Kutai mengirimkan dua putranya ke Negeri Belanda. Kemudian Sultan Asahan, juga mengirimkan seorang putra dan adiknya. Susuhunan Solo mengirimkan dua putranya, yang kemudian disusul tiga lagi putranya yang masih muda.

Di Negeri Belanda mereka menimba ilmu di institut swasta atau pelajaran privat. “Tjokroadikoesoemo, putra Bupati Magelang juga masuk dalam kategori ini,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.

Pada tahun 1903, Baginda Djamaloedin bin Moh Rasad tiba di Negeri Belanda sekaligus menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanian di Wageningen. Setahun berikutnya, Raden Hoesein Djajadiningrat masuk ke Universitas Leiden Belanda untuk belajar bahasa-bahasa Timur.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1229 seconds (0.1#10.140)