Kisah Para Bangsawan yang Cemaskan Sekolah Eropa Ubah Pemuda Indonesia Jadi Besar Kepala
loading...
A
A
A
Di luar itu masih ada beberapa orang Indonesia pemilik akte pengajaran pribumi yang juga tinggal di Negeri Belanda. Mereka sedang mengambil pendidikan akte Belanda. Salah satunya adalah Maharadja Soetan Casajangan Soripada. Casajangan yang selalu berpenampilan ningrat, yakni tak pernah lepas dengan lorgnet (kacamata) emasnya, merupakan orang Batak yang lahir di Tapanuli.
Ayah Casajangan adalah satu-satunya kepala di Tanah Batak waktu itu yang sempat mengenyam pendidikan Barat serta bergaul luas dengan orang Eropa. Pada tahun 1907, rombongan orang Indonesia atau Hindia Belanda yang datang ke Negeri Belanda dengan ongkos swadaya bertambah menjadi 20 orang.
Keluarga Pakoe Alam Yogyakarta memiliki andil besar. Empat putranya, ditambah saudara Pakoe Alam VI dan patihnya, belajar di Delft dan Leiden. Mereka di antaranya Notokworo, Notodiningrat, Gondowinoto, dan yang paling terkenal Noto Soeroto, yang selama 25 tahun memainkan peran penting di kalangan politik dan budaya orang Indonesia di Negeri Belanda.
Di Negeri Belanda mereka memiliki tempat berkumpul bersama. Termasuk membentuk perhimpunan untuk memandu orang-orang Indonesia yang baru tiba. “Rumah guru bahasa Jawa bagi para pangeran Solo yang bernama Sastropradoto di Leiden menjadi pusat pertemuan yang nyaman”.
Jumlah rombongan pemuda Indonesia yang belajar di Negeri Belanda memang terus bertambah. Namun seiring itu muncul kecemasan para orang tua, bahwa anak-anaknya terlalu diEropakan. Bukan sekedar soal keyakinan keagamaan. Begitu pulang ke kampung halaman, para orang tua melihat gejala sikap yang meremehkan lingkungan lama.
Di mata pribumi lainnya, prilaku mereka menjadi terlihat aneh yang diduga akibat masih tipisnya lapisan peradaban Eropa yang dipelajari. “Para pemuda itu lalu mulai membayangkan diri dalam segala hal lebih hebat dari lingkungannya yang lama. Dan sesuah kembali ke tanah airnya, mereka menjadi asing dengan lingkungannya,” tulis Dr A. A Fokker dalam Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Menurut Fokker, masalah yang terjadi bisa diobati dengan memberi pengetahuan umum yang dasarnya adalah sikap nasional. Dengan begitu, dampak pergaulan akrab di lingkungan Belanda atau pembelandaan akibat hidup indekos pada keluarga Belanda, dapat dikurangi.
Fokker bahkan pernah mengemukakan gagasan pembangunan masjid untuk para mahasiswa di Negeri Belanda. Gagasan yang didukung sejumlah organ pers saat itu, sayangnya tidak terealisasi. Di sisi lain pemerintah kolonial Belanda sengaja mempropagandakan pentingnya belajar di Negeri Belanda.
Baca juga: Kisah LB Moerdani yang Menolak Diambil Menantu Bung Karno
Propaganda itu untuk mengimbangi pendidikan ke Istambul, Turki yang bisa diperoleh orang Indonesia secara gratis. Pada tahun 1907 tercatat ada sebanyak 24 orang yang belajar ke Istambul. Kolonial Belanda khawatir, sekembalinya pulang dari Istambul mereka dimungkinkan membawa serta gagasan-gagasan Islam yang berbahaya.
Ayah Casajangan adalah satu-satunya kepala di Tanah Batak waktu itu yang sempat mengenyam pendidikan Barat serta bergaul luas dengan orang Eropa. Pada tahun 1907, rombongan orang Indonesia atau Hindia Belanda yang datang ke Negeri Belanda dengan ongkos swadaya bertambah menjadi 20 orang.
Keluarga Pakoe Alam Yogyakarta memiliki andil besar. Empat putranya, ditambah saudara Pakoe Alam VI dan patihnya, belajar di Delft dan Leiden. Mereka di antaranya Notokworo, Notodiningrat, Gondowinoto, dan yang paling terkenal Noto Soeroto, yang selama 25 tahun memainkan peran penting di kalangan politik dan budaya orang Indonesia di Negeri Belanda.
Di Negeri Belanda mereka memiliki tempat berkumpul bersama. Termasuk membentuk perhimpunan untuk memandu orang-orang Indonesia yang baru tiba. “Rumah guru bahasa Jawa bagi para pangeran Solo yang bernama Sastropradoto di Leiden menjadi pusat pertemuan yang nyaman”.
Jumlah rombongan pemuda Indonesia yang belajar di Negeri Belanda memang terus bertambah. Namun seiring itu muncul kecemasan para orang tua, bahwa anak-anaknya terlalu diEropakan. Bukan sekedar soal keyakinan keagamaan. Begitu pulang ke kampung halaman, para orang tua melihat gejala sikap yang meremehkan lingkungan lama.
Di mata pribumi lainnya, prilaku mereka menjadi terlihat aneh yang diduga akibat masih tipisnya lapisan peradaban Eropa yang dipelajari. “Para pemuda itu lalu mulai membayangkan diri dalam segala hal lebih hebat dari lingkungannya yang lama. Dan sesuah kembali ke tanah airnya, mereka menjadi asing dengan lingkungannya,” tulis Dr A. A Fokker dalam Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Menurut Fokker, masalah yang terjadi bisa diobati dengan memberi pengetahuan umum yang dasarnya adalah sikap nasional. Dengan begitu, dampak pergaulan akrab di lingkungan Belanda atau pembelandaan akibat hidup indekos pada keluarga Belanda, dapat dikurangi.
Fokker bahkan pernah mengemukakan gagasan pembangunan masjid untuk para mahasiswa di Negeri Belanda. Gagasan yang didukung sejumlah organ pers saat itu, sayangnya tidak terealisasi. Di sisi lain pemerintah kolonial Belanda sengaja mempropagandakan pentingnya belajar di Negeri Belanda.
Baca juga: Kisah LB Moerdani yang Menolak Diambil Menantu Bung Karno
Propaganda itu untuk mengimbangi pendidikan ke Istambul, Turki yang bisa diperoleh orang Indonesia secara gratis. Pada tahun 1907 tercatat ada sebanyak 24 orang yang belajar ke Istambul. Kolonial Belanda khawatir, sekembalinya pulang dari Istambul mereka dimungkinkan membawa serta gagasan-gagasan Islam yang berbahaya.