Duh! Angka Perkawinan Anak di Sulsel Masih Tinggi, Ini Datanya
loading...
A
A
A
Hanya saja, sejumlah langkah ini dinilai belum optimal, lantaran angka perkawinan anak ini masih saja tinggi.
Menyikapi hal ini, Ketua Institute of Community Justice (ICJ), Waridah menuturkan, persoalan utama dari tingginya angka perkawinan anak di Sulsel bukan pada regulasinya. Melainkan pola pikir dari masyarakat sendiri.
Terbukti pada kasus perkawinan anak di Wajo yang secara hukum tak diberi izin oleh pemerintah daerah setempat. "Artinya pemerintahnya sudah jalan, sisa orang-orangnya yang kurang edukasi," bebernya.
Waridah menyatakan, ada banyak dampak buruk yang dihasilkan dari perkawinan anak, mulai dari fisik hingga psikis. Misalnya, kesehatan reproduksi yang belum begitu siap, meningkatnya potensi penyakit kelamin, hingga rentannya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Selain itu dari sisi ekonomi dimana anak-anak yang dinikahkan dini otomatis putus sekolah yang berimplikasi pada rendahnya pendidikan. Ujung-ujungnya berakhir pada kesulitan ekonomi. "Pola pikir mereka belum dewasa sehingga rentan terjadi hal seperti itu," jelas Waridah.
Maraknya perkawinan anak yang terjadi belakangan juga membuat sejumlah aktivis dari berbagai non government organization (NGO) yang tergabung dalam Koalisi Stop Perkawinan Anak (KSPA) Sulawesi Selatan menaruh atensi penuh.
KSPA bakal berkoordinasi dengan DPPPA-Dalduk KB Sulsel dan Forum Komunikasi PPA, serta melakukan kunjungan ke Kabupaten Wajo terkait langkah konkret untuk perlindungan bagi anak yang terlibat dalam perkawinan.
"Sebenarnya ini tamparan buat kita semua. Karena peristiwanya sudah terjadi, yang bisa dilakukan untuk kasus di Wajo ini adalah memastikan anak-anak ini baik pihak laki-laki maupun perempuan tetap dalam pantauan koalisi dan memberikan edukasi mengenai kesehatan reproduksi kepada keduanya termasuk keluarganya,” ujar Anggota KSPA, Andi Yudha Yunus.
Dirinya mengaku, sejumlah langkah strategis telah disusun oleh pihaknya, salah satunya meminta media agar tidak mengeksploitasi anak-anak yang menjadi korban perkawinan anak. "Saya kira media paham soal kode etik jurnalistik dan bagaimana pemberitaan yang ramah anak,” ungkap Yudha.
Menyikapi hal ini, Ketua Institute of Community Justice (ICJ), Waridah menuturkan, persoalan utama dari tingginya angka perkawinan anak di Sulsel bukan pada regulasinya. Melainkan pola pikir dari masyarakat sendiri.
Terbukti pada kasus perkawinan anak di Wajo yang secara hukum tak diberi izin oleh pemerintah daerah setempat. "Artinya pemerintahnya sudah jalan, sisa orang-orangnya yang kurang edukasi," bebernya.
Waridah menyatakan, ada banyak dampak buruk yang dihasilkan dari perkawinan anak, mulai dari fisik hingga psikis. Misalnya, kesehatan reproduksi yang belum begitu siap, meningkatnya potensi penyakit kelamin, hingga rentannya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Selain itu dari sisi ekonomi dimana anak-anak yang dinikahkan dini otomatis putus sekolah yang berimplikasi pada rendahnya pendidikan. Ujung-ujungnya berakhir pada kesulitan ekonomi. "Pola pikir mereka belum dewasa sehingga rentan terjadi hal seperti itu," jelas Waridah.
Maraknya perkawinan anak yang terjadi belakangan juga membuat sejumlah aktivis dari berbagai non government organization (NGO) yang tergabung dalam Koalisi Stop Perkawinan Anak (KSPA) Sulawesi Selatan menaruh atensi penuh.
KSPA bakal berkoordinasi dengan DPPPA-Dalduk KB Sulsel dan Forum Komunikasi PPA, serta melakukan kunjungan ke Kabupaten Wajo terkait langkah konkret untuk perlindungan bagi anak yang terlibat dalam perkawinan.
"Sebenarnya ini tamparan buat kita semua. Karena peristiwanya sudah terjadi, yang bisa dilakukan untuk kasus di Wajo ini adalah memastikan anak-anak ini baik pihak laki-laki maupun perempuan tetap dalam pantauan koalisi dan memberikan edukasi mengenai kesehatan reproduksi kepada keduanya termasuk keluarganya,” ujar Anggota KSPA, Andi Yudha Yunus.
Dirinya mengaku, sejumlah langkah strategis telah disusun oleh pihaknya, salah satunya meminta media agar tidak mengeksploitasi anak-anak yang menjadi korban perkawinan anak. "Saya kira media paham soal kode etik jurnalistik dan bagaimana pemberitaan yang ramah anak,” ungkap Yudha.