Duh! Angka Perkawinan Anak di Sulsel Masih Tinggi, Ini Datanya
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Kasus perkawinan anak di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) terbilang masih tinggi. Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan perkawinan anak yang terjadi di Kabupaten Wajo, tepatnya di Kelurahan Wiring Palannae, Kecamatan Tempe.
Kedua mempelai diketahui sama-sama masih di bawah umur. Mempelai wanita NK baru berusia 16 tahun, sementara mempelai pria, MF masih berusia 15 tahun. Keduanya masih duduk di bangku SMP.
Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPA-Dalduk KB) Provinsi Sulawesi Selatan mencatat, tingkat pernikahan anak di Sulsel relatif tinggi dalam kurun empat tahun terakhir.
Pada 2021 saja, ada 3.713 peristiwa perkawinan anak di Sulsel. Dengan rincian, 3.183 perempuan dan 530 laki-laki. Tertinggi dipegang oleh Kabupaten Wajo dengan 707 peristiwa, masing-masing 624 perempuan dan 83 laki-laki.
Kemudian disusul Kabupaten Sidrap dengan 671 peristiwa masing-masing 584 perempuan dan 87 untuk laki-laki. Sementara di urutan ketiga adalah Kabupaten Soppeng dengan 327 peristiwa, 286 perempuan dan 41 laki-laki.
"Kami masih berupaya mendorong Pemda untuk mengatur tentang pencegahan perkawinan anak ini berdasarkan UU 16 tahun 2019. Terkait batas perkawinan usia anak," ucap Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DPPPA-Dalduk KB Sulsel, A. Fitriana.
Di samping itu, Fitriana juga mengaku pihaknya telah mendorong berbagai program untuk menekan angka perkawinan anak. Di antaranya pembentukan road map pencegahan perkawinan anak 2019-2023.
Pihaknya juga mengklaim telah mendorong sejumlah program diantaranya road map pencegahan perkawinan anak 2019-2023, Kegiatan gerakan bersama (Geber) pencegahan perkawinan anak, Gerakan bersama edukasi pernikahan untuk kesejahteraan anak, dan Pakta Integrias Pencegahan Perkawinan anak oleh Sekda, DPRD, serta OPD/Pimpinan struktural, baik provinsi dan kabupaten/kota serta mitra pembangunan/organisasi masyarakat Sulsel.
"Kemudian ada pula penyusunan bersama rencana aksi daerah (RAD) pencegahan perkawinan anak," jelasnya.
Hanya saja, sejumlah langkah ini dinilai belum optimal, lantaran angka perkawinan anak ini masih saja tinggi.
Menyikapi hal ini, Ketua Institute of Community Justice (ICJ), Waridah menuturkan, persoalan utama dari tingginya angka perkawinan anak di Sulsel bukan pada regulasinya. Melainkan pola pikir dari masyarakat sendiri.
Terbukti pada kasus perkawinan anak di Wajo yang secara hukum tak diberi izin oleh pemerintah daerah setempat. "Artinya pemerintahnya sudah jalan, sisa orang-orangnya yang kurang edukasi," bebernya.
Waridah menyatakan, ada banyak dampak buruk yang dihasilkan dari perkawinan anak, mulai dari fisik hingga psikis. Misalnya, kesehatan reproduksi yang belum begitu siap, meningkatnya potensi penyakit kelamin, hingga rentannya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Selain itu dari sisi ekonomi dimana anak-anak yang dinikahkan dini otomatis putus sekolah yang berimplikasi pada rendahnya pendidikan. Ujung-ujungnya berakhir pada kesulitan ekonomi. "Pola pikir mereka belum dewasa sehingga rentan terjadi hal seperti itu," jelas Waridah.
Maraknya perkawinan anak yang terjadi belakangan juga membuat sejumlah aktivis dari berbagai non government organization (NGO) yang tergabung dalam Koalisi Stop Perkawinan Anak (KSPA) Sulawesi Selatan menaruh atensi penuh.
KSPA bakal berkoordinasi dengan DPPPA-Dalduk KB Sulsel dan Forum Komunikasi PPA, serta melakukan kunjungan ke Kabupaten Wajo terkait langkah konkret untuk perlindungan bagi anak yang terlibat dalam perkawinan.
"Sebenarnya ini tamparan buat kita semua. Karena peristiwanya sudah terjadi, yang bisa dilakukan untuk kasus di Wajo ini adalah memastikan anak-anak ini baik pihak laki-laki maupun perempuan tetap dalam pantauan koalisi dan memberikan edukasi mengenai kesehatan reproduksi kepada keduanya termasuk keluarganya,” ujar Anggota KSPA, Andi Yudha Yunus.
Dirinya mengaku, sejumlah langkah strategis telah disusun oleh pihaknya, salah satunya meminta media agar tidak mengeksploitasi anak-anak yang menjadi korban perkawinan anak. "Saya kira media paham soal kode etik jurnalistik dan bagaimana pemberitaan yang ramah anak,” ungkap Yudha.
Dia berharap, tidak ada lagi kasus perkawinan anak yang terjadi di Sulsel dan masyarakat bisa terlibat aktif melakukan pencegahan mulai dari tingkat dusun, desa, sampai kabupaten dan provinsi.
Kedua mempelai diketahui sama-sama masih di bawah umur. Mempelai wanita NK baru berusia 16 tahun, sementara mempelai pria, MF masih berusia 15 tahun. Keduanya masih duduk di bangku SMP.
Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPA-Dalduk KB) Provinsi Sulawesi Selatan mencatat, tingkat pernikahan anak di Sulsel relatif tinggi dalam kurun empat tahun terakhir.
Pada 2021 saja, ada 3.713 peristiwa perkawinan anak di Sulsel. Dengan rincian, 3.183 perempuan dan 530 laki-laki. Tertinggi dipegang oleh Kabupaten Wajo dengan 707 peristiwa, masing-masing 624 perempuan dan 83 laki-laki.
Kemudian disusul Kabupaten Sidrap dengan 671 peristiwa masing-masing 584 perempuan dan 87 untuk laki-laki. Sementara di urutan ketiga adalah Kabupaten Soppeng dengan 327 peristiwa, 286 perempuan dan 41 laki-laki.
"Kami masih berupaya mendorong Pemda untuk mengatur tentang pencegahan perkawinan anak ini berdasarkan UU 16 tahun 2019. Terkait batas perkawinan usia anak," ucap Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DPPPA-Dalduk KB Sulsel, A. Fitriana.
Di samping itu, Fitriana juga mengaku pihaknya telah mendorong berbagai program untuk menekan angka perkawinan anak. Di antaranya pembentukan road map pencegahan perkawinan anak 2019-2023.
Pihaknya juga mengklaim telah mendorong sejumlah program diantaranya road map pencegahan perkawinan anak 2019-2023, Kegiatan gerakan bersama (Geber) pencegahan perkawinan anak, Gerakan bersama edukasi pernikahan untuk kesejahteraan anak, dan Pakta Integrias Pencegahan Perkawinan anak oleh Sekda, DPRD, serta OPD/Pimpinan struktural, baik provinsi dan kabupaten/kota serta mitra pembangunan/organisasi masyarakat Sulsel.
"Kemudian ada pula penyusunan bersama rencana aksi daerah (RAD) pencegahan perkawinan anak," jelasnya.
Hanya saja, sejumlah langkah ini dinilai belum optimal, lantaran angka perkawinan anak ini masih saja tinggi.
Menyikapi hal ini, Ketua Institute of Community Justice (ICJ), Waridah menuturkan, persoalan utama dari tingginya angka perkawinan anak di Sulsel bukan pada regulasinya. Melainkan pola pikir dari masyarakat sendiri.
Terbukti pada kasus perkawinan anak di Wajo yang secara hukum tak diberi izin oleh pemerintah daerah setempat. "Artinya pemerintahnya sudah jalan, sisa orang-orangnya yang kurang edukasi," bebernya.
Waridah menyatakan, ada banyak dampak buruk yang dihasilkan dari perkawinan anak, mulai dari fisik hingga psikis. Misalnya, kesehatan reproduksi yang belum begitu siap, meningkatnya potensi penyakit kelamin, hingga rentannya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Selain itu dari sisi ekonomi dimana anak-anak yang dinikahkan dini otomatis putus sekolah yang berimplikasi pada rendahnya pendidikan. Ujung-ujungnya berakhir pada kesulitan ekonomi. "Pola pikir mereka belum dewasa sehingga rentan terjadi hal seperti itu," jelas Waridah.
Maraknya perkawinan anak yang terjadi belakangan juga membuat sejumlah aktivis dari berbagai non government organization (NGO) yang tergabung dalam Koalisi Stop Perkawinan Anak (KSPA) Sulawesi Selatan menaruh atensi penuh.
KSPA bakal berkoordinasi dengan DPPPA-Dalduk KB Sulsel dan Forum Komunikasi PPA, serta melakukan kunjungan ke Kabupaten Wajo terkait langkah konkret untuk perlindungan bagi anak yang terlibat dalam perkawinan.
"Sebenarnya ini tamparan buat kita semua. Karena peristiwanya sudah terjadi, yang bisa dilakukan untuk kasus di Wajo ini adalah memastikan anak-anak ini baik pihak laki-laki maupun perempuan tetap dalam pantauan koalisi dan memberikan edukasi mengenai kesehatan reproduksi kepada keduanya termasuk keluarganya,” ujar Anggota KSPA, Andi Yudha Yunus.
Dirinya mengaku, sejumlah langkah strategis telah disusun oleh pihaknya, salah satunya meminta media agar tidak mengeksploitasi anak-anak yang menjadi korban perkawinan anak. "Saya kira media paham soal kode etik jurnalistik dan bagaimana pemberitaan yang ramah anak,” ungkap Yudha.
Dia berharap, tidak ada lagi kasus perkawinan anak yang terjadi di Sulsel dan masyarakat bisa terlibat aktif melakukan pencegahan mulai dari tingkat dusun, desa, sampai kabupaten dan provinsi.
(tri)