Hari Kebudayaan Makassar, Bahasa Daerah Didorong Kembali Masuk Kurikulum Sekolah

Jum'at, 01 April 2022 - 21:08 WIB
loading...
Hari Kebudayaan Makassar,...
Sejumlah siswa-siswi mengikuti Parade Budaya dalam rangka rangkaian Hari Budaya Kota Makassar digelar di SD Inpres Perumnas Antang, Kecamatan Manggala, Jumat (1/4/2022). Foto/SINDOnews/Maman Sukirman
A A A
MAKASSAR - Momentum Hari Kebudayaan Kota Makassar kembali diperingati untuk tahun keempat usai perdana digelar dan ditetapkan pada 1 April 2018 lalu.

Rangkaian peringatan Hari Kebudayaan ini dimulai dengan upacara peringatan di Halaman Balai Kota Makassar, yang dilanjutkan karnaval budaya di sepanjang ruas jalan Balai Kota.



Karnaval budaya ini diikuti sebanyak 200 peserta. Terdiri terdiri dari paguyuban etnis serta sanggar-sanggar seni yang merupakan binaan Dinas Kebudayaan Kota Makassar .

Pasa peserta mengenakan baju karnaval, baju adat nusantara, kemudian menunjukkan atraksi di depan panggung utama, yang dipusatkan di depan Museum Kota Makassar.

Dalam momentum ini juga, Wali Kota Makassar, Moh. Ramdhan Pomanto, mengukuhkan Dewan Kebudayaan Kota Makassar dalam mendukung upaya pemajuan kebudayaan daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan nasional.

"Dewan kebudayaan ini strategis. Bisa saja memberi penghargaan dan penghormatan untuk tamu-tamu agung yang berjasa bagi kota Makassar," ucap Danny, sapaan akrabnya.

Dewan Kebudayaan sendiri beranggotakan sejumlah pihak yang terdiri atas akademisi, tokoh adat Toraja, Mandar, Bugis dan Makassar .

Mereka yakni Aminuddin Dalle selaku ketua, Prof. Andi Ima Kesuma selaku wakil ketua, dan Aura Aulia Imandara selaku sekretaris.

Adapun anggotanya yakni Kepala Dinas Kebudayaan Rusnaini, Prof Husain Syam, Prof Yusran Jusuf, Mohammad Roem, Naida Naing, Siti Subaedah Nur, Simon Petrus, Arwan Cahyadi, Andi Muhammad Redo, dan Sofyan Setyawan.



Danny sendiri telah mengaku telah memberi tugas kepada Dewan Kebudayaan untuk mendorong bahasa daerah masuk kembali ke dalam kurikulum sekolah.

"Saya baru meminta di forum tadi bahwa satu hari diajarkan bahasa daerah . Itu permintaan saya di awal bagi Dewan Kebudayaan. Saya minta ada rekomendasi dari mereka untuk bahasa diterapkan di sekolah-sekolah," ungkapnya.

Menurut Danny, pelajaran bahasa daerah saat ini tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah. Padahal, hal ini sangat krusial dan penting untuk mempertahankan kebudayaan agar tidak tergerus zaman.

"Dulu kan ada pelajaran lontara, dan itu saya masih hapal sampai sekarang. Sekarang sudah tidak ada," katanya.

"Makanya kami mendorong untuk masukkan ke mata pelajaran. Tapi kan sekarang kami ikuti mekanisme, biar Dewan Kebudayaan yang kaji, kemudian keluar rekomendasi dan dari rekomendasi itu saya keluarkan Perwali," imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulsel, Yani Paryono, belum lama ini mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa daerah atau yang dikenal dengan istilah bahasa ibu cenderung mulai ditinggalkan oleh generasi milenial dan generasi Z.

Hal itu disebabkan beberapa faktor, antara lain karena rasa bangga akan bahasa daerah yang semakin berkurang, keuntungan yang mereka peroleh dengan menggunakan bahasa daerah dianggap tidak signifikan, dan juga adanya perasaan lebih bangga jika dapat menguasai bahasa asing tertentu dibandingkan dengan menguasai bahasa daerah.

Oleh karena itu, kata Yani, bahasa ibu perlu dipertahankan keberadaannya dengan dukungan dari berbagai pihak, utamanya pemerintah daerah.

"Melakukan pembiaran dengan membiarkan bahasa tersebut berjalan ke depan secara apa adanya akan menyebabkan bahasa daerah semakin berkurang dari hari ke hari," jelasnya.

Yani berujar, penggunaan bahasa ibu ke depan akan mengalami banyak tantangan karena semakin berkurangnya penggunaan bahasa tersebut di rumah tangga, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Selain itu bahasa asing yang mengglobalisasi akan membuat posisi bahasa daerah semakin tergerus.



Agar bahasa ibu tetap digunakan oleh penggunanya, sambung dia, maka perlu ditumbuhkan sikap positif pengguna bahasa terhadap bahasa daerah.

"Harus disadari bahwa banyak dimensi budaya yang tidak bisa diserap dan dijelaskan tanpa menggunakan bahasa daerah, selain itu dalam setiap bahasa daerah ada identitas budaya yang melekat dan akan hilang seiring dengan punahnya suatu bahasa," pungkasnya.
(tri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1544 seconds (0.1#10.140)