Sunan Kalijaga, Penyebar Islam di Jawa dan Legenda Santri Dikutuk Jadi Monyet

Sabtu, 19 Maret 2022 - 05:00 WIB
loading...
Sunan Kalijaga, Penyebar Islam di Jawa dan Legenda Santri Dikutuk Jadi Monyet
Sunan Kalijaga, penyebar ajaran Islam di Tanah Jawa.Foto/ist
A A A
Sunan Kalijaga adalah tokoh penyebar agama Islam di Tanah Jawa. Banyak legenda yang melekat pada pria dengan nama kecil Raden Mas Said ini. Dalam menyebarkan Islam, Sunan Kalijaga juga memiliki jalan unik menggunakan tradisi dan budaya Jawa. Usianya membentang lebih dari 100 tahun.

Namanya lekat dengan Walisongo dan dikenal memiliki kesaktian sangat dahsyat. Cerita secara turun temurun juga menyebutkan adanya legenda 99 santri yang dikutuk menjadi monyet.

Sunan Kalijaga melintasi banyak zaman. Dimulai dari akhir kekuasaan Kerajaan Majapahit, dan turut membidani lahirnya Kesultanan Demak Bintoro, serta menjadi saksi lahirnya Kesultanan Cirebon, Kesulutanan Banten, Kerajaan Pajang, hingga lahirnya Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin Panembahan Senopati.

Baca juga: Dewi Suhita, Raja Perempuan Kedua Majapahit yang Masih Misteri Asal Usulnya

Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan, Sunan Kalijaga lahir dari pada 1455 dengan nama Raden Mas Said. Ayahnya adalah Ki Tumenggung Wilatikta, Bupati di Tuban, Jawa Timur.

Menurut beberapa riwayat, nama Kalijaga berasaal dari rangkaian bahasa Arab “Qadli Zaka”, yang disesuaikan dengan lidah orang Jawa. Nama itu sendiri berarti pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.

Sunan Kalijaga dalam berdakwah memakai pertunjukan wayang kulit, memodifikasi wayang purwa yang terbuat dari kulit kerbau menjadi wayang kulit bercorak Islami. Sunan Kalijaga selalu menyelenggarakan pertunjukan wayang di tempat-tempat yang tidak jauh dari masjid.

Di sekeliling tempat pagelaran wayang, Sunan Kalijaga lalu membuat parit yang mengalir di dalamnya air yang jernih. Parit ini dibuat untuk melatih para penonton wayang agar mencuci kaki sebelum masuk masjid.

Sunan Kalijaga melakukan perjalanan berkeliling untuk berdakwah, keluar masuk hutan dan pegunungan, siang malam. Kegiatan dakwahnya itu membuatnya dikenal sebagai “mubaligh keliling” atau dai keliling.

Sebagai ulama besar atau seorang wali memiliki karisma tersendiri di antara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Di sebagian tempat dia juga dikenal bernama “Syeh Malaya”.

Karya
Sunan Kalijaga merupakan seorang ahli budaya, yang mengenalkan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat atau kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami). Dia menciptakan baju taqwa. Ia juga pencipta seni ukir bermotif daun-daunan.

Karya lain adalah tiang Masjid Demak yang terbuat dari tatal, gamelan Naga Wilanga, gamelan Guntur Madu, gamelan Nyai Sekati, gamelan Kyai Sekati, wayang kulit Purwa, baju takwa, kain balik, tembang Dhandhanggula dan syair-syair pesantren. Di dalam tembang Dhandhanggula tergambar makna-makna kehidupan.

Sunan Kalijaga memerintahkan sang murid bernama Sunan Bayat untuk membuat bedug di masjid guna mengerjakan shalat berjamaah. Selain itu membuat acara ritual berupa gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh atau pengajian akbar yang diselenggarakan di Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi.

Ia dikenal juga sebagai pencipta gong sekaten atau Gong Syahadatain (dua kalimah syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakna bahwa “mumpung masih hidup agar berkumpul masuk agama Islam”. Tercatat pula sebagai pencipta wayang kulit di atas kulit kambing juga sebagai dalang (dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar).

Di antara para wali sembilan, Sunan Kalijaga merupakan sosok wali yang berjiwa besar, pemimpin, mubaligh, pujangga dan filsuf, yang berdakwah di area yang luas. Saat melakukan tabligh, Sunan Kalijaga senantiasa diikuti oleh para kaum ningrat dan pelajar.

Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau, karena arena caranya beliau menyiarkan agama Islam yang disesuaikan dengan aliran zaman. Dia adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh ke masa depan. Ia seorang wali yang ternama serta disegani.

Ia terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan. Dalam cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an, hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha. Dengan kata lain, masyarakat masih memegang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.

Cerita wayang itu antara lain Jimat Kalimasada dan Dewa Ruci serta Petruk Jadi Raja dan Wahyu Widayat, serta sebagai ahli dalam hal pengaturan istana atau kabupaten dengan alun-alun serta pohon beringin dan masjid.

Masyarakat saat itu masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya. Oleh karena itu mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam.

Petilasan Sunan Kalijaga
Petilasan Sunan Kalijaga dan Situs Taman Kera di Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat menjadi bukti jika Sunan Kalijaga turut menyebarkan Islam di pesisir utara Pulau Jawa. Menurut legenda yang dikenal masyarakat, kera ekor panjang di Taman Kera dan Petilasan Sunan Kalijaga itu adalah wujud 99 santri yang dikutuk Sunan Kalijaga.

Taman Kera Kalijaga adalah salah satu peninggalan Sunan Kalijaga semasa di Cirebon dalam misinya menyebarkan agama Islam bersama Sunan Gunung Jati. Kemudian, dalam situs Sunan Kalijaga itu ada sebuah masjid, 2 sumur tua, pasarean, hingga tempat Sunan Kalijaga bertapa.

Berdasarkan cerita turun temurun, 99 ekor kera panjang di wilayah petilasan itu dipercaya adalah santri dari Sunan Kalijaga yang pada saat itu tidak menghiraukan perkataannya. Menurut legenda, kutukan 99 santri itu berawal pada hari Jumat beberapa saat sebelum Salat Jumat yang diwajibkan untuk para lelaki.

Sunan Kalijaga lantas melihat para santrinya itu justru asyik mencari ikan di tepian sungai. Sunan Kalijaga sempat menegur para santri untuk bergegas melaksanakan Salat Jumat.

Setelah mendengar perintah itu, para santri lalu keluar dari sungai untuk segera melaksanakan Salat Jumat. Akan tetapi hingga waktu Salat Jumat selesai, Sunan Kalijaga melihat para santri masih berada di sungai dan masih mencari ikan.

Sunan Kalijaga pun menegur dan bertanya kepada santri alasan mereka tidak Salat Jumat. Para santri tidak bisa berkata-kata dan saat itu Sunan Kalijaga berkata jika lelaki yang tidak mengerjakan Salat Jumat wujudnya seperti kera.

Dari perkataan itu ke 99 santri berubah menjadi kera ekor panjang. Tak sadar jika ucapannya berbuah kenyataan, Sunan Kalijaga lalu menugaskan para kera jelmaan santri itu untuk menjaga situs peninggalannya.

Menurut mitos yang berkembang 99 kera itu jumlahnya tidak berubah. Jika ada kera yang meninggal, selalu ada kera yang melahirkan sehingga tidak bertambah maupun mengurangi populasi kera di kawasan tersebut.(Diolah dari berbagai sumber)
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0938 seconds (0.1#10.140)