Gakkum KLHK Tindak Tambang Nikel di Konawe Utara, Begini Penjelasan PT JAP

Jum'at, 18 Maret 2022 - 05:57 WIB
loading...
Gakkum KLHK Tindak Tambang Nikel di Konawe Utara, Begini Penjelasan PT JAP
Direktur Utama PT JAP, RMY melalui kuasa hukumnya, Ricky K Margono menjelaskan kasus penangkapan yang dilakukan oleh Tim Gakkum KLHK. Foto/Inews TV/Febriono Tamenk
A A A
KONAWE UTARA - Langkah Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menindak tambang nikel ilegal di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra) menuai protes.

Tim penyidik Gakkum KLHK telah menangkap dan menetapkan Direktur Utama PT JAP (James & Armando Pundimas) berinisial RMY sebagai tersangka. Dirjen Penegakan Hukum HLHK, Rasio Ridho Sani mengatakan, RMY ditangkap karena terbukti telah menambang di kawasan hutan tanpa memiliki izin.



Berdasarkan hasil pemeriksaan tim Gakkum KLHK, penambangan nikel yang dilakukan PT JAP adalah ilegal. "Sebab, (PT JAP) tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan atau IPPKH dan perizinan lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku," ungkap Ridho, Kamis (10/3/2022).

Menanggapi hal tersebut, RMY melalui kuasa hukumnya Ricky K Margono menyebut penangkapan yang dilakukan oleh Tim Gakkum KLHK terhadap kliennya menuai kejanggalan.

Pasalnya, kliennya dituding melakukan aktifitas yang dinilai tidak pernah dilakukan, yakni menambang nikel ilegal dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Desa Lamondowo, Andowia, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Ricky menjelaskan, PT JAP adalah salah satu perusahaan tambang yang telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) berdasarkan SK Bupati Konut No. 361 Tahun 2013 tentang Persetujuan IUP Operasi tertanggal 13 Agustus 2013.

Bahkan, sejumlah persetujuan lainnya juga telah dikantongi termaksud sertifikat dari Dirjen Minerba pada 6 Mei 2014 lalu.

Sampai saat ini, pihaknya mengaku PT JAP belum pernah menambang karena sedang mengurus proses pengajuan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan telah mendapat rekomendasi dari Gubernur Sulawesi Tenggara.



Sampai saat ini juga tidak ada Putusan Pengadilan atau Tata Usaha Negara manapun yang pada pokoknya membatalkan IUP Operasi Produksi dan rekomendasi milik PT JAP.

"Tetapi kenapa Pak RMY ini ditangkap dan disangkakan menambang ilegal di kawasan hutan produksi bebas. Ada apa, bagaimana mungkin kami mau menambang sementara belum ada IPKKH," kesalnya.

Ricky menjelaskan, kasus ini bermula saat salah satu perusahaan (PT A) yang telah mengantongi Surat Persetujuan Penggunaan Koridor (SPPK) di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) berdasarkan IPPKH, meminta kepada salah satu perusahaan yakni PT B untuk mengerjakan perbaikan dan pelebaran koridor jalan berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) yang ada.

"Tetapi, PT B ini melewati dan memasuki kawasan IUP OP dari PT JAP. Dalam rangka penyelamatan dan dikhawatirkan ada nilai komersial dari tanah hasil pembuatan jalan tersebut, PT JAP meminta kepada PT B agar meletakan tanah tersebut di tempatnya," tambahnya.

Seiring berjalannya waktu, gumpalan tanah pelebaran lahan koridor yang dilakukan oleh PT B ini dan disimpan di lahan PT JAP ternyata menjadi temuan. Karena itulah, PT JAP dituding telah melakukan penambangan illegal.

"Padahal tanah penggalian tersebut bukan aktifitas dari PT JAP, hanya disimpan dalam lahan PT JAP," tambahnya.

Akibat masalah ini, Penyidik Balai Pengamanan dan Gakkum KLHK mendapat laporan dan mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) tertanggal 21 Oktober 2021. Dalam perjalanan, PT JAP yang terus berproses hukum menang saat praperadilan karena pelapor bukan masyarakat melainkan salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Masalah belum selesai, ternyata Penyidik Balai Pengamanan dan Gakkum KLHK masih menggunakan laporan yang sama untuk mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru tertanggal 14 Desember 2021.

"SPDP itulah yang kemudian digunakan untuk menetapkan Direktur Utama PT JAP (RMY) sebagai tersangka," katanya.

Ricky mengaku, ada kejanggalan penggunakan laporan lama (padahal PT JAP sudah menang praperadilan) untuk mengeluarkan SPDP.

Tak sampai disitu, dia menegaskan jika memang PT JAP ini melakukan penambangan apalagi ilegal, maka seharusnya penyidik bisa menunjukan kepada kliennya terkait lokasi mana yang dipakai menambang.

"Tapi kami sendiri tidak tahu TKP menambang ilegalnya. Kami tidak pernah ada transaksi uang penjualan. Makanya kami bingung dengan penyidik ini. Apalagi barang buktinya hanya 3 alat berat dan 3 truk. Kalau kami menambang, kenapa tidak sita semua saja kalau ada alat yang lain. Tidak masuk akal menambang dengan alat hanya 3 buah itu," tambah Ricky.

Ricky mengaku menghargai putusan hukum, tetapi pihaknya berharap agar kasus ini benar-benar diproses sesuai hukum yang berlaku tanpa tebang pilih.

"Jangan pilih kasih, kami tahu bahwa kami berhadapan dengan perusahaan BUMN. Tapi kami yakin hukum masih berlaku adil," pungkasnya.

Sebelumnya, Rasio Ridho Sani menjelaskan penindakan terhadap pelaku tambang nikel ilegal tersebut berawal dari informasi masyarakat terkait aktivitas penambang nikel dalam kawasan hutan produksi terbatas di Desa Lamondowo, Andowia, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Dari hasil penangkapan di lapangan, lanjutnya, petugas berhasil mengamankan barang bukti 6 buah alat berat, berupa tiga eksavator dan tiga dump truk.



Saat ini alat berat tersebut ditipkan di rumah penyimpanan benda sitaan dan barang rampasan negara, Rupbasan Kelas I Kendari. Tersangka dan barang bukti alat berat kemudian di serahkan kepada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3160 seconds (0.1#10.140)