Paranoid Paramedis dalam Pandemi COVID-19

Senin, 15 Juni 2020 - 14:56 WIB
loading...
A A A
Pribadi paranoid ini menganggap orang lain atau semua orang di sekitarnya adalah menjadi sumber penyakit, menyikiti, membawa wabah, membawa virus, membahayakan.

Kita masuk di poli kesehatan mau konsultasi, begitu masuk dan suara kita serak, batuk, pilek, muncul tatapan dan pertanyaan dari petugas medis, apakah sudah lama batuk, adakah ada demam, apakah suhu pamas, pertanyaan apakah-apakah yang berorentasi pada kecurigaan kena virus pandemi COVID-19.

Apalagi data dari Ikatan Dokter Indonesia ( IDI) mengonfirmasi telah kehilangan 25 anggotanya akibat pandemi virus corona COVID-19 yang masih berlangsung. Hal itu disampaikan oleh anggota Bidang Kesekretariatan, Protokoler, dan Public Relations Pengurus Besar (PB) IDI, Halik Malik.

"Informasi yang diterima PB IDI setidaknya ada 25 dokter yang dikabarkan meninggal karena positif COVID-19 dan PDP COVID," kata Halik memberikan penjelasan saat dikonfirmasi wartawan.

Fakta-fakta yang disampaikan pihak IDI ini juga menjadi dasar bagaimana para medis melakukan protokol penanganan pasien, bukan hanya pasien yang terpapar (PDP) COVID-19, tapi juga pasien pada umumnya. Alasannya, penanganan pasien, terutama untuk tindakan operasi medis, harus aman bukan saja bagi pasien tapi juga harus aman bagi tenaga medis yang menanganinya.

Misalnya setiap pasien yang akan menjalani operasi akan melalui tahapan-tahapan tambahan, seperti pemeriksaan awal pasien harus melakukan test rapid, baik di awal maupun diulang saat menjelang operasi, juga melakukan swab test atau PCR, yang dulu sebelum pandemi, tidak ada prosedur ini. Bila ini berlaku juga untuk para medis yang menjalankan penanganan operasi, tentu cukup merepotkan.

Prosedur yang kian rumit dalam penanganan pasien ini, melahirkan keengganan di beberapa rumah sakit menunda untuk melakukan penanganan pasien yang perlu melakukan operasi curatif. Maka dalam beberapa bulan terakhir ini akan menimbulkan penumpukan atau antrian panjang untuk penanganan operasi curatif.

Meski sebetulnya dengan diskriminatif ini ada potensi menumbulkan pelanggaraan maladministrasi yang tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien. Serta ada penegasan dari UU No36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa dalam pelayanan pasien tidak boleh ada diskriminatif.

Catatan Singgih Sutoyo.
(sms)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3266 seconds (0.1#10.140)