Strategi Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, Pimpin Gerilyawan dari Hutan Usir VOC Belanda

Kamis, 24 Februari 2022 - 05:49 WIB
loading...
Strategi Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, Pimpin Gerilyawan dari Hutan Usir VOC Belanda
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, dua periode memimpin Kesultanan Buton, yakni periode 1752-1755 dan 1760-1763. Foto/Ist.
A A A
Kecongkaan pedagang-pedagang VOC Belanda, yang menguasai sebagian besar pasar rempah-rempah di wilayah Kesultanan Buton, membuat darah La Karambau mendidih. Kesewenang-wenangan kongsi dagang bentukan Belanda itu, membawanya ke garis perlawanan lewat perang gerilya.



La Karambau yang akhirnya diangkat menjadi Sultan Buton, dengan gelar Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, merupakan sultan ke-20 yang menjabat pada periode 1752-1755. Setelah itu, dia memilih berada di hutan-hutan bersama rakyatnya untuk bergerilya melawan penjajah Belanda.



Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, kembali dinobatkan sebagai Sultan Buton, untuk kali ke dua pada periode 1760-1763. Kala itu, dia menjabat sebagai sultan ke-23. Selama periode memimpin Kesultanan Buton, hingga wafatnya, banyak dihabiskannya untuk menentang kekuasaan Belanda di tanah Buton.



Dari dalam hutan, sultan yang sangat dicintai rakyatnya ini terus memutar otak mengatur strategi guna mengusir Belanda dari tanah airnya. Berkat kegigihannya dalam berjuang melawan Belanda, dia dinobatkan sebagai Oputa Yi Koo oleh Kesultanan Buton, karena sukses mengusir penjajah Belanda di tanah Buton. Gelar itu bemakna raja atau penguasa yang bergerilya melawan penjajah di dalam hutan.

Kesultanan Buton, terletak di kaki sebelah kanan pulau Sulawesi, tepatnya di daerah Sulawesi Tenggara. Kekuasaan Kesultanan Buton meliputi seluruh Pulau Buton dan beberapa pulau yang terdapat di Sulawesi. Lokasi tersebut merupakan kawasan Kerajaan Buton yang sudah ada sejak abad ke-12.

Jika dikonversi pada saat ini wilayah Kesultanan Buton meliputi Kabupaten Buton, Wakatobi, hingga Bau-bau. Kesultanan Buton terletak di pulau yang strategis dengan jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di kawasan timur Nusantara.

Meskipun Portugis dan Belanda sudah masuk ke Indonesia sejak 1600-an, dua bangsa Eropa tersebut tak pernah berani menjajah Kesultanan Buton. Bahkan penduduk tidak pernah mengalami kerja paksa.

Sebaliknya, Buton dijadikan tempat singgah karena letaknya yang strategis. Bahkan Belanda dan Portugis menjalin hubungan baik untuk mendapatkan rempah-rempah. Bukan itu saja, mereka menilai Kesultanan Buton memiliki struktur monarki yang solid dan kekuatan pertahanan yang kokoh.



Apalagi Kesultanan Buton juga aktif memantau bajak laut yang mendekat, dan tidak segan untuk angkat senjata untuk mengusirnya. Kesultanan Buton memiliki sistem pemerintahan yang cukup ideal dengan adanya raja, perdana menteri, tentara sebagai badan pertahanan dan tentunya rakyat.

Eksistensi Kesultanan Buton sebagai sebuah negeri tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni.

Digambarkan, Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Dalam surat-menyurat dengan Majapahit, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni.

Sedangkan orang Bugis menyebutnya Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong). Kerajaan Buton semakin berkembang hingga Islam masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16.

Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya perempuan. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.



Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17. Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Buton dipegang oleh Sultan. Struktur kekuasaan di Kesultanan ditopang oleh dua golongan bangsawan, yaitu Kaomu dan Walaka.

Walaka adalah golongan yang memegang adat dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, Namun, sultan harus berasal dari golongan Kaomu.

Untuk mempermudah jalannya pemerintahan, Buton menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72 wilayah kecil yang disebut Kadie. Beberapa jabatan yang ada di struktur pemerintahan Buton adalah Bontona (Menteri), Menteri Besar, Bonto, Kepala Siolimbona, dan Sekretaris Sultan.

Ikatan kerajaan dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan.

Di masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit. Sebagai alat tukar dalam aktivitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional.



Kesultanan Buton juga mempunyai sistem pertahanan berlapis, yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).

Untuk memperkuat sistem pertahanan berlapis tersebut, kemudian dibangun benteng dan kubu-kubu pertahanan. Pembangunan benteng dimulai pada 1634 oleh Sultan Buton ke-6, La Buke. Tembok keliling benteng panjangnya 2.740 meter, melindungi area seluas 401.900 meter persegi.

Tembok benteng memiliki ketebalan 1-2 meter dan ketinggian antara 2-8 meter, dilengkapi dengan 16 bastion dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah perbukitan berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai.

Periode Kesultanan Buton terdiri dari era pra-Islam dari 1332 hingga 1542. Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja. Pada periode Islam dari 1542 hingga 1960 dan diperintah 38 Sultan.

Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya berakhir pada 1960. Mengetahui kedudukan Kesultanan Buton yang berdaulat, maka pada awal Februari 1950, Presiden Sukarno menggelar Pertemuan di Malino (Sulawesi Selatan) dengan mengundang seluruh raja se-Sulawesi dihadiri Sultan Andi Mappanyuki (Raja Bone) dan Andi Pangerang Pettarani (Gubenur Afdeling Makassar) yang telah masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia.



Sedangkan Kesultanan Buton diwakili oleh Sultan La Ode Muh Falihi. Pada Pertemuan tersebut Presiden Soekarno mengajak Sultan La Ode Falihi agar Kesultana Buton masuk dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan Presiden Sukarno menawarkan Kesultanan Buton dengan opsi menjadi wilayah istimewa.

Pada 15 Januari 1951, democratiseering dilakukan terhadap anggota-anggota swapraja Buton dan disaksikan Kepala Daerah Sulawesi Tenggara Abdul Razak Bagindo Maharaja Lelo dan Kesultanan Buton pun berakhir.

Dalam proses selanjutnya, Buton pada 1952 menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tengara (Suseltra) yang terdiri atas dua kabupaten, yaitu Kabupaten Sulawesi Selatan dengan ibu kota di Ujung Pandang, dan Kabupaten Sulawesi Tenggara (bekas wilayah Kesultanan Buton) dengan ibu kota di Baubau (Buton) dengan pusat pemerintahan di Ujung Pandang (Makassar).

Pada 1960, Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi empat kabupaten, yaitu Buton, Muna, Kolaka dan Kendari. Selanjutnya di tahun 1962, Sulawesi tenggara menjadi sebuah provinsi dengan ibu kota di Kendari.

Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa Yii Ko) adalah salah satu tokoh yang diberikan gelar pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi, melalui keputusan presiden (Keppres) Nomor 120/TK/2019 tertanggal 7 November 2019.

Diolah dari berbagai sumber:
Kesultananbuton.blogspot.com
Wikipedia
Cakapcakap.com
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1144 seconds (0.1#10.140)