Penculikan Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin, Gambaran Pergolakan Politik Awal Kemerdekaan
loading...
A
A
A
Rudolf Mrazek dalam “Sjahrir : Politik dan Pengasingan di Indonesia” mengiaskan Sjahrir sebagai jembatan yang rapuh.
Mengutip laporan De Kadt dalam “ Jaren die dubbel telden”, Mrazek menyebut hubungan Sjahrir khususnya dengan Jawa di luar Jakarta sangat lemah.
Pendapat itu diperkuat dengan nota Wertheim dalam “Officiele bescheiden“ yang menulis, “Sjahrir tampaknya juga sangat ragu-ragu ketika mulai memegang kekuasaan”.
Aksi penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir membuat Presiden Soekarno murka.
"Pada tanggal 30 Juni 1946, Presiden Soekarno berpidato di radio mengecam penculikan Sjahrir," tulis Pratama D Persadha dalam buku “Kode Untuk Republik, Peran Sandi Negara di Perang Kemerdekaan”.
Bung Karno dalam pidatonya meminta para penculik segera membebaskan Sjahrir. Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin mengusulkan kepada Bung Karno untuk mengambil alih jalannya pemerintahan.
Saat itu juga Bung Karno menyatakan seluruh Republik Indonesia dalam keadaan darurat.
Situasi makin panas ketika laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) mulai bergerak menuju Solo. Laskar Pesindo merupakan organ sayap Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir.
“Pesindo memberikan ancaman perang terbuka kepada para penculik apabila Sjahrir tidak dibebaskan”.