Menimba Nilai Kehidupan dari Kisah Bubukshah dan Gagang Aking

Minggu, 16 Januari 2022 - 05:03 WIB
loading...
Menimba Nilai Kehidupan...
Sebuah relief yang mengisahkan perjalanan hidup Gagang Aking dan Bubukshah. Foto Wikipedia
A A A
JAKARTA - Para leluhur bangsa ini selalu mewariskan nilai-nilai kehidupan--moral, etika dan religius--dengan beragam macam cara. Karena itu, bangsa yang menghuni Nusantara yang kemudian disebut Indonesia ini, dikenal memiliki banyak warisan kearifan lokal. Antara lain kearifan dalam mewariskan nilai-nilai luhur entah lewat tutur lisan, tulisan, relief, dan lain sebaginya.

Salah satu kisah yang beredar luas pada abad ke-14 adalah kisah Bubukshah dan Gagang Aking. Kisah dua anak kembar yang berkembang pada masa Kerajaan Majapahit ini penuh dengan muatan nilai-nilai kehidupan. Kisah Bubukshah dan Gagang Aking adalah cerita tentang pergulatan abadi manusia melawan tubuh, perjuangan menolak atau melayani kenikmatan tubuh. Kisah Bubukshah dan Gagang Aking adalah kisah tentang cara meraih tujuan hidup akhirat.

Kisah ini awalnya dikisahkan secara lisan, dari mulut ke mulut. Karena itu, banyak ditemukan versi sedikit berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lainnya. Disebutkan, kisah yang sama juga ditemukan di Bali dengan versi sedikit berbeda dengan di Jawa. Kendati berbeda, namun substansinya tetap sama.

Dalam 'Siwa dan Buddha di Kepulauan Indonesia' tulisan Willem Huibert Rassers (1877-1973) dikisahkan bahwa pada masa Majapahit, hiduplah dua saudara kembar laki-laki. Yang kakak bernama Kebo Milih, yang adik bernama Kebo Ngraweg. Tidak disebutkan siapa nama orang tua kedua kembaran ini. Hanya dikisahkan bahwa keduanya yatim piatu sejak mereka masih orok dan keduanya dipelihara oleh keluarga di sebuah desa bernama Batur.

Dalam perkembangannya, kedua bocah kembar itu memiliki kebiasaan yang tidak lazim sebagaimana umumnya anak-anak seusia mereka. Keduanya suka menyepi dan bersemedi. Aktivitas membantu orang tua angkat jarang mereka lakoni. Kebiasaan itu tidak hanya membuat orang tua angkat gerah, tapi juga warga kampung umumnya.

Lama-kelamaan, keduanya tidak disukai warga dan akhirnya mereka diusir dari Desa Batur. Dikisahkan, merereka lalu meninggalkan desa, berkelana melewati jalan setapak di sebelah selatan sebuah bangunan candi, melintasi ladang-ladang padi di daerah Kediri, lalu sampai di tepi Sungai Brantas.

Keduanya ingin menyeberangi sungai. Atas kebaikan seorang warga, mereka dibolehkan menggunakan perahu untuk menyeberang. Namun, penyeberangan itu tidak mudah. Arus kuat sungai menghanyutkan perahu yang mereka tumpangi. Beruntung, mereka selamat sampai ke seberang.

Keduanya meneruskan perjalanan, dan sampai di sebuah padepokan. Mereka istirahat, duduk sejenak sekadar minta air minum di pendopo padepokan tersebut. Melihat keduanya, guru di padepokan itu menyuruh salah seorang muridnya untuk menanyakan siapa kedua anak kembar itu, dari mana dan untuk apa mereka ada di situ. Keduanya menghadap sang guru dan menjawab bahwa mereka ingin berguru agar memperoleh ilmu tentang hakikat Tuhan Yang Maha Mulia. Keduanya pun diterima sebagai murid di situ.

Di tempat ini, nama kedua anak kembar itu diganti. Sang guru mengganti nama Kebo Milih dengan Gagang Aking, sedang Kebo Ngraweg diganti dengan Bubukshah.



Setelah berguru berapa lama di tempat ini, keduannya melanjutkan pertualangan mereka. Di sebuah tempat yang ada pancuran air, keduanya berhenti mandi. Setelahnya melanjutkan perjalanan, melintasi hutan-hutan yang sunyi hingga tiba di lereng perbukitan. Dari tempat ini bisa dilihat padang-padang Jenggala dan Majapahit terbentang.

Tidak berhenti di sini, mereka kemudian meneruskan perjalanan menaklukkan gunung. Setelah sampai di puncak, keduanya memutuskan untuk berhenti dam mendirikan gubuk masing-masing. Sang adik Bubukshah membangun gubuk di sebelah timur. Gagang Aking, sebagai yang tua, mendirikan gubuknya di sebelah barat.

Di tengah-tengah dua gubuk tersebut, kedua kembaran mendirikan balai bersama. Ketika gubuk dan balai selesai dibangun, keduanya mulai membuka hutan dengan menebangi pohon-pohon serta membakarnya.

Menimba Nilai Kehidupan dari Kisah Bubukshah dan Gagang Aking


Saat lahan dibakar, binatang-bibatang berhamburan lari. Ada yang terbakar. Di sinilah kecenderungan manusiawi mulai menantang keduanya. Bubukshah yang rakus, menyantap daging hewan itu sepuas-puasnya. Minumannya air nira. Sungguh dia menikmati hidup.

Sementara sang kakak, menahan diri, sesuai apa yang diajarkan guru di padepokan sebelumnya. Sebagai kakak, Gagang Aking mengingatkan sang adik agar tidak tamak. Mati raga, menurut sang kakak, adalah jalan memuliakan tubuh agar mencapai kehidupan akhirat yang kekal. Alih-alih, mati raga, Bubukshah terus menikmati isi hutan dengan berburu. Tubuhnya pun tambun, sedang kakaknya kerempeng.

Meski keduanya berbeda kebiasaan, namun ada kebiasaan yang sama yakni bertapa olah rasa. Dikisahkan, suatu waktu kebiasaan bertapa keduannya terdengar sampai nirwana para dewa. Keduanya lantas mendapat tantangan berpuasa. Gagang Aking berhasil karena terbiasa menahan hawa nafsu. Sedangkan sang adik Bubukshah gagal total. Liurnya meleleh saat melihat daging dan ikan di hadapannya.

Keduanya pun jatuh dalam kesombongan. Kakak merasa cara hidupnya paling benar dan diterima para dewa. Sang adik pun tak mau kalah, bahwa cara hidupnya lebih mulia karena mensyukuri pemberian yang ada.
Ego keduanya kian menguat, merasa diri sendiri paling benar dan paling hebat.

Tibalah saatnya pengadilan itu. Dewa menjelma dalam diri macan putih Kalawijaya, menjumpai keduanya untuk diuji. Pertama-tama ia datangi Gagang Aking. Macan putih meminta makanan sedikit saja, yaitu daging manusia.

Gagang Aking menolak. Dia mengaku masih menyayangi tubuhnya dan mengatakan bahwa tubuhnya terlalu kurus. Ia menyarankan kepada macan putih agar menyantap saudaranya yang gemuk.

Lalu, macan putih mendatangi Bubukshah dan menyampaikan permintaan yang sama. Bubukshah menyambut dengan sukacita dan menyiapkan nasi, daging, tuak, dan ikan. Dan ketika macan putih Kalawijaya menyatakan hanya dapat memakan daging manusia, Bubukshah dengan gembira ingin persembahkan tubuh gemuknya untuk dimakan macan putih.

Bubukshah kemudian mandi, membersihkan diri sebelum tubuhnya diserahkan menjadi santapan macan putih. Atas keikhlasan itu, sang adik lulus ujian kehidupan. Dikisahkan bahwa Bubukshah kemudian dibawa dalam keadaan jiwa dan raganya menuju nirwana suci dengan menunggang macan putih.

Namun, begitu sayangnya dia terhadap sang kakak, dia pun meminta kepada jelmaan dewa macan putih, agar kakaknya juga ikut. Permintaannya disetujui. Sang kakak pun ikut ke tujuan akhir hidup, ke nirwana suci dengan memegang ekor macan.

Diolah dari berbagai sumber
(don)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3304 seconds (0.1#10.24)