Kisah Kekejaman Raja Amangkurat I Bunuh 6.000 Ulama, Termasuk Adik dan Ayah Mertuanya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kisah kekejaman Raja Amangkurat I yang membunuh tidak kurang dari 6.000 ulama dan keluarga mereka, menjadi satu-satunya periode sejarah kerajaan modern paling kelam dan tidak beradab. Bahkan atas nama kekuasaan, Amangkurat I tega membunuh adik dan ayah mertuanya sendiri.
Masa-masa pemerintahannya penuh dengan rasa was-was, cemas, dan takut, tidak hanya di kalangan pembesar istanah tapi juga kaum rakyat jelata. Dalam Babad Tanah Jawi digambarkan suasana kelam masa pemerintahannya. “Pada saat itu perilaku Sri Baginda berbeda dari yang biasa; sering menghukum dengan keras, dan terus-menerus melakukan kekejaman.”
Dan dalam Serat Jaya Baya, Amangkurat I dilukiskan sebagai Kalpa sru semune kenaka putung (masa kelaliman yang dimetaforakan dengan kuku yang putus). "Masa lalim" artinya kekejaman pemerintahan raja, dan "kuku yang putus" maksudnya banyaknya panglima yang dibunuh.
Puncak dari kelaliman Raja Amangkurat I terjadi di alun-alun Plered, Kesultanan Mataram , pada 1647, dua tahun setelah ayahnya Sultan Agung wafat. Ia memerintahkan agar membunuh semua ulama yang ada di wilayah Kerajaan Mataram. Semua itu berawal dari rasa cemas Amangkurat I yang kemudian menimbulkan dendam. Ia cemas akan kehilangan kekuasaan yang terus menghantuinya.
Dikisahkan, sebelum dia mengambil keputusan untuk menghabisi para ulama, raja menyepi sendirian di pendopo istanah. Pikirannya suntuk karena memikirkan siasat untuk mempertahankan tahta. Sebab dua hari sebelumnya, adiknya yang bernama Raden Mas Alit telah melakukan kudeta. Dalam kudeta yang gagal itu, Alit tewas terbunuh pasukannya.
Setelah menemukan siasat, Amangkurat I lalu memanggil empat orang pembesar keraton untuk menghadap dirinya. Kepada keempat pejabat kepercayaannya itu, raja mengutarakan niatnya. Keempat orang itu adalah Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wiranata. Kepada mereka, sang raja berharap niat balas dendam tereksekusi dengan baik.
Sebagaimana ditulis sejarawan H.J. de Graaf dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961), dikatakan bahwa raja berpesan agar tak seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram lolos dariaksi kejam itu.
Rencana eksekusi disiapkan sangat matang. Misalnya, nama ulama dan keluarganya yang menjadi target operasi harus dicatat. Demikian juga alamat-alamat mereka. Bagi Amangkurat I, aksi ini langkah efektif agar para pengkhianat bisa dilibas dalam sekali pukul.
Saat hari pelaksanaan eksekusi tiba, anak buah keempat orang kepercayaan raja disebar ke empat penjuri mata angin. Aba-aba dimulainya aksi pembunuhan ditandai dengan letusan meriam dari istanah. Berkat persiapan matang, eksekusi berjalan lancar. Dalam waktu tidak lebih 30 menit, 6.000 ulama tewas ditikam para serdadu yang dipimpin oleh keempat orang kepercayaan raja.
Sejarawan van Goens dalam catatannya menulis, "Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan.” Juga ditulis bahwa selama aksi pembunuhan berlangsung, raja mengurung diri di istanah. Dia bertingkah seolah tidak menghetahui apa yang terjadi di luar istanah.
Sehari setelah pembantaian berlangsung, raja tampil di muka umum dengan wajah marah dan terkejut. "Selama satu jam di depan para pejabat, tidak satu patah kata pun terucap dari mulutnya. Semua orang yang hadir pun diam dan suasana kian mencekam. Tidak seorang pun berani mengangkat kepalanya, apalagi memandang wajah Sunan,” catat van Goens.
Amangkurat I balik menuduh ulama yang bersekongkol membunuh adiknya Pangeran Alit. Ia seolah membenarkan bahwa pembantaian terhadap ulama sebagai balasan setimpal atas kematian adiknya.
Tanda-tanda Keruntuhan
Kejayaan Mataram selama dipimpin Sultan Agung, semakin pudar saat dipimpin anaknya Amangkurat I. Boleh dikatakan, Amangkurat I naik tahta tanpa memiliki keutamaan sebagai raja. Baru dua tahun dia memerintah, gejolak di kerajaan mulai muncul. Raja mengatasinya dengan pendekatan kekerasan dan brutal.
Keutamaan yang dimiliki mendiang ayahnya Sultan Agung, sedikit pun tidak diwariskan kepada Amangkurat I. Seperti ditulis Ricklefs dalam War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993) bahwa sebagai pemimpin, Amangkurat I tidak memiliki kreativitas.“Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai. ”
Amangkurat I, tulis Ricklefs, tidak memperhatikan keseimbangan dalam berpolitik, sesuatu yang amat dibutuhkan dalam pemerintahan Jawa abad ke-17. Dia membangun kekuasaan terpusat dengan tujuan menyenangkan kepentingannya sendiri. Akibat, dia terasing dari semua aparatus pemerintahan: para pangeran, patih, tumenggung, dan pemuka agama.
Dalam keterasingan itu, raja mencurigai setiap orang yang berada di dekatnya. Hasrat kekuasaan membuat dia gelap mata dan membunuh semua ulama yang sesungguhnya basis yang kokoh dalam kerajaannya.Dalam babad-babad tradisional, tindakan gelap mata seorang penguasa adalah pertanda datangnya periode dekadensi sebuah negara.
Bagi masyarakat Jawa, perilaku demikian dianggap sangat tidak pantas. Pujangga Yasadipura dalam Serat Rama (1770) menjelaskan bahwa seorang raja yang menuruti nafsu amarah yang tak terkendali, hanya karena ingin dipatuhi dan ditakuti, akan dikutuk.
Mataram akhirnya memang terkutuk hingga runtuh. Kekuasaannya semakin melemah seiring menguatnya pengaruh VOC yang menggerus basis ekonominya. Ketika seorang pangeran dari Madura, yaitu Trunajaya melancarkan serangan ke keraton Mataram pada awal 1677, Mataram pun berakhir. Amangkurat I dan keluarganya melarikan diri meminta perlindungan VOC.
Sumber: wikipedia, okezone.com, Tirto.id
Masa-masa pemerintahannya penuh dengan rasa was-was, cemas, dan takut, tidak hanya di kalangan pembesar istanah tapi juga kaum rakyat jelata. Dalam Babad Tanah Jawi digambarkan suasana kelam masa pemerintahannya. “Pada saat itu perilaku Sri Baginda berbeda dari yang biasa; sering menghukum dengan keras, dan terus-menerus melakukan kekejaman.”
Dan dalam Serat Jaya Baya, Amangkurat I dilukiskan sebagai Kalpa sru semune kenaka putung (masa kelaliman yang dimetaforakan dengan kuku yang putus). "Masa lalim" artinya kekejaman pemerintahan raja, dan "kuku yang putus" maksudnya banyaknya panglima yang dibunuh.
Puncak dari kelaliman Raja Amangkurat I terjadi di alun-alun Plered, Kesultanan Mataram , pada 1647, dua tahun setelah ayahnya Sultan Agung wafat. Ia memerintahkan agar membunuh semua ulama yang ada di wilayah Kerajaan Mataram. Semua itu berawal dari rasa cemas Amangkurat I yang kemudian menimbulkan dendam. Ia cemas akan kehilangan kekuasaan yang terus menghantuinya.
Dikisahkan, sebelum dia mengambil keputusan untuk menghabisi para ulama, raja menyepi sendirian di pendopo istanah. Pikirannya suntuk karena memikirkan siasat untuk mempertahankan tahta. Sebab dua hari sebelumnya, adiknya yang bernama Raden Mas Alit telah melakukan kudeta. Dalam kudeta yang gagal itu, Alit tewas terbunuh pasukannya.
Setelah menemukan siasat, Amangkurat I lalu memanggil empat orang pembesar keraton untuk menghadap dirinya. Kepada keempat pejabat kepercayaannya itu, raja mengutarakan niatnya. Keempat orang itu adalah Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wiranata. Kepada mereka, sang raja berharap niat balas dendam tereksekusi dengan baik.
Sebagaimana ditulis sejarawan H.J. de Graaf dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961), dikatakan bahwa raja berpesan agar tak seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram lolos dariaksi kejam itu.
Rencana eksekusi disiapkan sangat matang. Misalnya, nama ulama dan keluarganya yang menjadi target operasi harus dicatat. Demikian juga alamat-alamat mereka. Bagi Amangkurat I, aksi ini langkah efektif agar para pengkhianat bisa dilibas dalam sekali pukul.
Saat hari pelaksanaan eksekusi tiba, anak buah keempat orang kepercayaan raja disebar ke empat penjuri mata angin. Aba-aba dimulainya aksi pembunuhan ditandai dengan letusan meriam dari istanah. Berkat persiapan matang, eksekusi berjalan lancar. Dalam waktu tidak lebih 30 menit, 6.000 ulama tewas ditikam para serdadu yang dipimpin oleh keempat orang kepercayaan raja.
Sejarawan van Goens dalam catatannya menulis, "Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan.” Juga ditulis bahwa selama aksi pembunuhan berlangsung, raja mengurung diri di istanah. Dia bertingkah seolah tidak menghetahui apa yang terjadi di luar istanah.
Sehari setelah pembantaian berlangsung, raja tampil di muka umum dengan wajah marah dan terkejut. "Selama satu jam di depan para pejabat, tidak satu patah kata pun terucap dari mulutnya. Semua orang yang hadir pun diam dan suasana kian mencekam. Tidak seorang pun berani mengangkat kepalanya, apalagi memandang wajah Sunan,” catat van Goens.
Amangkurat I balik menuduh ulama yang bersekongkol membunuh adiknya Pangeran Alit. Ia seolah membenarkan bahwa pembantaian terhadap ulama sebagai balasan setimpal atas kematian adiknya.
Tanda-tanda Keruntuhan
Kejayaan Mataram selama dipimpin Sultan Agung, semakin pudar saat dipimpin anaknya Amangkurat I. Boleh dikatakan, Amangkurat I naik tahta tanpa memiliki keutamaan sebagai raja. Baru dua tahun dia memerintah, gejolak di kerajaan mulai muncul. Raja mengatasinya dengan pendekatan kekerasan dan brutal.
Keutamaan yang dimiliki mendiang ayahnya Sultan Agung, sedikit pun tidak diwariskan kepada Amangkurat I. Seperti ditulis Ricklefs dalam War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993) bahwa sebagai pemimpin, Amangkurat I tidak memiliki kreativitas.“Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai. ”
Amangkurat I, tulis Ricklefs, tidak memperhatikan keseimbangan dalam berpolitik, sesuatu yang amat dibutuhkan dalam pemerintahan Jawa abad ke-17. Dia membangun kekuasaan terpusat dengan tujuan menyenangkan kepentingannya sendiri. Akibat, dia terasing dari semua aparatus pemerintahan: para pangeran, patih, tumenggung, dan pemuka agama.
Dalam keterasingan itu, raja mencurigai setiap orang yang berada di dekatnya. Hasrat kekuasaan membuat dia gelap mata dan membunuh semua ulama yang sesungguhnya basis yang kokoh dalam kerajaannya.Dalam babad-babad tradisional, tindakan gelap mata seorang penguasa adalah pertanda datangnya periode dekadensi sebuah negara.
Bagi masyarakat Jawa, perilaku demikian dianggap sangat tidak pantas. Pujangga Yasadipura dalam Serat Rama (1770) menjelaskan bahwa seorang raja yang menuruti nafsu amarah yang tak terkendali, hanya karena ingin dipatuhi dan ditakuti, akan dikutuk.
Mataram akhirnya memang terkutuk hingga runtuh. Kekuasaannya semakin melemah seiring menguatnya pengaruh VOC yang menggerus basis ekonominya. Ketika seorang pangeran dari Madura, yaitu Trunajaya melancarkan serangan ke keraton Mataram pada awal 1677, Mataram pun berakhir. Amangkurat I dan keluarganya melarikan diri meminta perlindungan VOC.
Sumber: wikipedia, okezone.com, Tirto.id
(don)