PKS: Pancasila So Pasti Yes, Komunisme No
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR, Mulyanto mengajak publik menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Hal tersebut dikatakannya dalam rangka menyambut Hari Lahir Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni .(BACA JUGA: Hemat Anggaran, Pemprov Sumut Siapkan Wisma Atlet untuk Tenaga Medis Covid-19)
Dia mengatakan, Pancasila yang merupakan hasil perenungan dan pemikiran para pendiri bangsa (founding fathers) sepatutnya menjadi landasan moral kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dia melanjutkan, Pancasila yang saat ini menjadi dasar negara Indonesia merupakan rumusan paling tepat yang telah dihasilkan para pendahulu bangsa. Sehingga sudah sepatutnya dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
"Salah satu wujud penghayatan nilai-nilai Pancasila adalah menolak ideologi komunisme, marxisme dan leninisme," ujar Mulyanto dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Minggu (31/5/2020). (BACA JUGA: Siap-siap! Kemenkes Fasilitasi Pemeriksaan Covid-19 untuk Jemaah Haji)
Dia melanjutkan, Pancasila mengajarkan Ketuhanan yang Mahaesa, sehingga sangat tidak cocok disandingkan dengan ideologi-ideologi yang tidak mengakui Tuhan.
"Pancasila itu antitesis komunisme, marxisme dan leninisme. Sehingga siapa saja yang meyakini Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia harus berani menyatakan secara tegas Pancasila Yes, Komunisme No!" kata alumni PPSA XV Lemhanas RI.
Dirinya pun mengutip istilah 'jas merah' dan 'jas hijau' untuk menjelaskan sikap yang sepatutnya dipahami masyarakat dalam menghayati nilai Pancasila.
Jas merah atau jangan sekali-kali melupakan sejarah, sedangkan jas hijau adalah jangan sekali-kali melupakan jasa ulama, merupakan prinsip dasar untuk memahami spirit Pancasila secara tepat. Mulyanto menambahkan, Bung Karno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan Pancasila dengan sila kelima, “Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. (BACA JUGA: Bharata Sena AKABRI Angkatan 96 Berikan 2.000 Paket Sembako Kepada Warga)
Namun oleh Panitia Sembilan yang diketuai Bung Karno sendiri, yang menghimpun kaum kebangsaan dan para ulama, berhasil memantapkan rumusan Pancasila pada tanggal 22 Juni 1945 menjadi Pancasila sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta dimana Sila Pertama berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
"Tapi karena ada elemen bangsa yang keberatan dengan rumusan Pancasila Piagam Jakarta tersebut, khususnya Sila Pertama dan karena kebesaran hati para ulama, maka di sidang PPKI, 7 kata dalam Sila Pertama yaitu Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya diubah. Barulah pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan Pancasila sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD tahun 1945, seperti yang ada sekarang ini," kata Mulyanto.
Tiga bulan setelah itu muncul pemberontakan PKI yang tidak puas dengan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Karena itu, menurut Mulyanto, dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila, yang sedang dibahas DPR RI, perlu memasukkan Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang larangan penyebaran faham komunisme dalam konsideran, sebagai penegasan Pancasila menolak ajaran komunisme, marxisme dan leninisme.
Selain itu, Mulyanto minta pasal-pasal terkait Trisila, Ekasila dan Ketuhanan yang berkebudayaan dalam RUU HIP dihapus serta mengembalikan makna Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. (BACA JUGA: Ini 15 Daerah di Sumut Masuk Zona Hijau Dapat Laksanakan Kegiatan Warga Produktif)
"Kalau Pancasila dapat diperas menjadi trisila dan ekasila lagi maka itu sama saja kita mundur ke 1 Juni 1945. Dan ini terkesan tidak menghargai perjuangan Bung Karno sebagai Ketua Panitia Sembilan pada sidang BPUPKI tanggal 22 Juni 1945, yang dengan pilu dan sangat memelas kepada peserta sidang untuk menerima Pancasila Piagam Jakarta, serta kita tidak menghormati kebesaran hati para ulama yang berlapang dada menghapus 7 kata dalam Sila Pertama Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945," kata anggota Badan Legislasi DPR RI ini.
Hal tersebut dikatakannya dalam rangka menyambut Hari Lahir Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni .(BACA JUGA: Hemat Anggaran, Pemprov Sumut Siapkan Wisma Atlet untuk Tenaga Medis Covid-19)
Dia mengatakan, Pancasila yang merupakan hasil perenungan dan pemikiran para pendiri bangsa (founding fathers) sepatutnya menjadi landasan moral kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dia melanjutkan, Pancasila yang saat ini menjadi dasar negara Indonesia merupakan rumusan paling tepat yang telah dihasilkan para pendahulu bangsa. Sehingga sudah sepatutnya dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
"Salah satu wujud penghayatan nilai-nilai Pancasila adalah menolak ideologi komunisme, marxisme dan leninisme," ujar Mulyanto dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Minggu (31/5/2020). (BACA JUGA: Siap-siap! Kemenkes Fasilitasi Pemeriksaan Covid-19 untuk Jemaah Haji)
Dia melanjutkan, Pancasila mengajarkan Ketuhanan yang Mahaesa, sehingga sangat tidak cocok disandingkan dengan ideologi-ideologi yang tidak mengakui Tuhan.
"Pancasila itu antitesis komunisme, marxisme dan leninisme. Sehingga siapa saja yang meyakini Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia harus berani menyatakan secara tegas Pancasila Yes, Komunisme No!" kata alumni PPSA XV Lemhanas RI.
Dirinya pun mengutip istilah 'jas merah' dan 'jas hijau' untuk menjelaskan sikap yang sepatutnya dipahami masyarakat dalam menghayati nilai Pancasila.
Jas merah atau jangan sekali-kali melupakan sejarah, sedangkan jas hijau adalah jangan sekali-kali melupakan jasa ulama, merupakan prinsip dasar untuk memahami spirit Pancasila secara tepat. Mulyanto menambahkan, Bung Karno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan Pancasila dengan sila kelima, “Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. (BACA JUGA: Bharata Sena AKABRI Angkatan 96 Berikan 2.000 Paket Sembako Kepada Warga)
Namun oleh Panitia Sembilan yang diketuai Bung Karno sendiri, yang menghimpun kaum kebangsaan dan para ulama, berhasil memantapkan rumusan Pancasila pada tanggal 22 Juni 1945 menjadi Pancasila sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta dimana Sila Pertama berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
"Tapi karena ada elemen bangsa yang keberatan dengan rumusan Pancasila Piagam Jakarta tersebut, khususnya Sila Pertama dan karena kebesaran hati para ulama, maka di sidang PPKI, 7 kata dalam Sila Pertama yaitu Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya diubah. Barulah pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan Pancasila sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD tahun 1945, seperti yang ada sekarang ini," kata Mulyanto.
Tiga bulan setelah itu muncul pemberontakan PKI yang tidak puas dengan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Karena itu, menurut Mulyanto, dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila, yang sedang dibahas DPR RI, perlu memasukkan Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang larangan penyebaran faham komunisme dalam konsideran, sebagai penegasan Pancasila menolak ajaran komunisme, marxisme dan leninisme.
Selain itu, Mulyanto minta pasal-pasal terkait Trisila, Ekasila dan Ketuhanan yang berkebudayaan dalam RUU HIP dihapus serta mengembalikan makna Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. (BACA JUGA: Ini 15 Daerah di Sumut Masuk Zona Hijau Dapat Laksanakan Kegiatan Warga Produktif)
"Kalau Pancasila dapat diperas menjadi trisila dan ekasila lagi maka itu sama saja kita mundur ke 1 Juni 1945. Dan ini terkesan tidak menghargai perjuangan Bung Karno sebagai Ketua Panitia Sembilan pada sidang BPUPKI tanggal 22 Juni 1945, yang dengan pilu dan sangat memelas kepada peserta sidang untuk menerima Pancasila Piagam Jakarta, serta kita tidak menghormati kebesaran hati para ulama yang berlapang dada menghapus 7 kata dalam Sila Pertama Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945," kata anggota Badan Legislasi DPR RI ini.
(vit)