Kisah Habib H Mutahar dan Lagu Mars Hari Merdeka
loading...
A
A
A
Sebagai ajudan H Mutahar pernah diberi tugas oleh Presiden Soekarno untuk menyelamatkan bendera pusaka saat Agresi Militer ke 2 Belanda. Dimana saat itu Kota Yogyakarta, yang menjadi ibu kota negara diserang oleh tentara Belanda baik lewat Udara maupun Darat. Sehingga Presiden Soekarno dan Wakilnya Bung Hatta ditawan Belanda sementara perang gerilya untuk mempertahankan kemerdekaan dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Dalam buku "Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat" karya Cindy Adams disebutkan perintah Bung Karno terhadap H Mutahar berikut kutipannya;
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apa pun, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu," demikian Soekarno kepada Husein Mutahar
Selain itu menurut buku Berkibarlah Benderaku: Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka yang ditulis oleh Bondan Winarno. Perintah Bung Karno langsung dijalankan H Mutahar. "Bendera ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh," kata Soekarno.
H Mutahar lalu membawa bendera pusaka tersebut dengan bendera tersebut dibagi menjadi dua oleh H Mutahar untuk mengelabui pemeriksaan dari tentara Belanda. '
Setelah Agresi Militer II Belanda, 6 Juli 1949, Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Yogyakarta dari pengasingan. Kemudian pada 17 Agustus 1949, bendera pusaka yang dibawa H Mutahar dikibarkan kembali di Gedung Agung Yogyakarta untuk memperingati hari ulang tahun ke-4 RI. Atas jasanya menjaga bendera pusaka, Mutahar mendapatkan anugerah Bintang Mahaputera pada 1961.
H Mutahar dalam karirnya pernah bekerja sebagai Sekretaris Panglima Angkatan Laut RI di Yogyakarta, kemudian menjadi pegawai tinggi Sekretariat Negara di Yogyakarta (1947). Selanjutnya, dia mendapat jabatan-jabatan yang meloncat-loncat antardepartemen. Puncak kariernya sebagai pejabat negara barangkali adalah sebagai Duta Besar RI di Tahta Suci (Vatikan) (1969-1973).[4] Ia diketahui menguasai paling tidak enam bahasa secara aktif. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Pejabat Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri (1974)
Selama hidup ia tidak menikah, namun mempunyai delapan anak semang (6 laki-laki dan 2 perempuan). Sebagian merupakan ”serahan” dari ibu mereka —yang janda— atau bapak mereka —beberapa waktu sebelum meninggal dunia. Ada pula bapak/ibu yang sukarela menyerahkan anaknya untuk diakui sebagai anak sendiri. Semua sudah berumah tangga dan mempunyai 15 orang cucu (7 laki-laki dan 8 perempuan).
Karya terakhirnya adalah lagu Dirgahayu Indonesiaku, menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50 Kemerdekaan Indonesia. Sementara Lagu anak-anak ciptaannya, antara lain: "Gembira", "Tepuk Tangan Silang-silang", "Mari Tepuk", "Slamatlah", "Jangan Putus Asa", "Saat Berpisah", dan "Hymne Pramuka".
Dalam buku "Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat" karya Cindy Adams disebutkan perintah Bung Karno terhadap H Mutahar berikut kutipannya;
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apa pun, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu," demikian Soekarno kepada Husein Mutahar
Selain itu menurut buku Berkibarlah Benderaku: Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka yang ditulis oleh Bondan Winarno. Perintah Bung Karno langsung dijalankan H Mutahar. "Bendera ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh," kata Soekarno.
H Mutahar lalu membawa bendera pusaka tersebut dengan bendera tersebut dibagi menjadi dua oleh H Mutahar untuk mengelabui pemeriksaan dari tentara Belanda. '
Baca Juga
Setelah Agresi Militer II Belanda, 6 Juli 1949, Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Yogyakarta dari pengasingan. Kemudian pada 17 Agustus 1949, bendera pusaka yang dibawa H Mutahar dikibarkan kembali di Gedung Agung Yogyakarta untuk memperingati hari ulang tahun ke-4 RI. Atas jasanya menjaga bendera pusaka, Mutahar mendapatkan anugerah Bintang Mahaputera pada 1961.
H Mutahar dalam karirnya pernah bekerja sebagai Sekretaris Panglima Angkatan Laut RI di Yogyakarta, kemudian menjadi pegawai tinggi Sekretariat Negara di Yogyakarta (1947). Selanjutnya, dia mendapat jabatan-jabatan yang meloncat-loncat antardepartemen. Puncak kariernya sebagai pejabat negara barangkali adalah sebagai Duta Besar RI di Tahta Suci (Vatikan) (1969-1973).[4] Ia diketahui menguasai paling tidak enam bahasa secara aktif. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Pejabat Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri (1974)
Selama hidup ia tidak menikah, namun mempunyai delapan anak semang (6 laki-laki dan 2 perempuan). Sebagian merupakan ”serahan” dari ibu mereka —yang janda— atau bapak mereka —beberapa waktu sebelum meninggal dunia. Ada pula bapak/ibu yang sukarela menyerahkan anaknya untuk diakui sebagai anak sendiri. Semua sudah berumah tangga dan mempunyai 15 orang cucu (7 laki-laki dan 8 perempuan).
Karya terakhirnya adalah lagu Dirgahayu Indonesiaku, menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50 Kemerdekaan Indonesia. Sementara Lagu anak-anak ciptaannya, antara lain: "Gembira", "Tepuk Tangan Silang-silang", "Mari Tepuk", "Slamatlah", "Jangan Putus Asa", "Saat Berpisah", dan "Hymne Pramuka".