Mediasi Gugatan PMH Perusahaan Asuransi Gagal, Penggugat Berharap Hakim Adil dan Terima Gugatan

Sabtu, 17 April 2021 - 08:31 WIB
loading...
Mediasi Gugatan PMH Perusahaan Asuransi Gagal, Penggugat Berharap Hakim Adil dan Terima Gugatan
Sidang mediasi gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) seorang nasabah asuransi, Anan, warga Jalan Mesjid Kecamatan Medan Barat, Kota Medan (penggugat) diwakili istrinya, Pretty, terhadap tergugat PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia, berakhir gagal. Foto
A A A
MEDAN - Sidang mediasi gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) seorang nasabah asuransi , Anan (penggugat), warga Jalan Mesjid, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan terhadap tergugat PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia, berakhir gagal.

Pasalnya, dalam mediasi yang dipimpin hakim Mian Munthe, tidak terjadi titik temu kesepakatan antara penggugat dan tergugat untuk berdamai. Tergugat menolak membayar sisa klaim asuransi sebesar Rp500 juta lagi dari total Rp1 MIliar karena pemegang polis sakit permanen. Sebaliknya penggugat, yang diwakili istrinya, Pretty, menganggap sakit permanen yang dialami pemegang polis menjadi tanggung jawab asuransi.

"Terjadi hal yang krusial antara kedua belah pihak. Karena tidak ada kesepakatan, hakim mediasi menyerahkan kepada Ketua PN untuk memeriksa pokok perkara. Hakim akan memberitahukan jadwalkan hari persidangan," kata hakim Mian usai sidang mediasi di Lantai II Pengadilan Negeri Medan, Jumat (16/4), petang.

Pretty mewakili suaminya Anan, didampingi kuasa hukumnya Denny Roberto SH dari Kantor Hukum, Martin Silalahi & Rekan, mengatakan gugatan material dan imaterial tersebut dikarenakan perusahaan asuransi tersebut tidak mau membayar sisa kekurangan dari pembayaran klaim polis asuransi.

"Di mana saya mewakili suami saya merasa ditipu pihak asuransi Generali, karena suami saya tidak leave dan tidak mau membayar sisa kekurangan dari pada pembayaran klaim mereka. Bahkan mereka melaporkan suami saya yang sakit ke Polda Sumut terkait kasus dugaan penipuan dan penggelapan," tutur Pretty.

Akibat laporan tersebut, suaminya mengalami depresi berat hingga sampai saat ini suami saya harus terus kontrol ke rumah sakit jiwa. "Letak menipu dan menggelapkannya yang mereka (tuduh) di mana? Sedangkan saat penyerahan uang itu transparan diwakili oleh pihak asuransi Generali dan uang itu ditransfer ke rekening saya, tidak ada saya mengemis-ngemis datang ke kantor mereka. Jadi terus terang saya menggugat ini agar tidak ada lagi korban seperti saya," ungkapnya.

Pretty mengatakan, dalam sidang mediasi itu pihak asuransi mengatakan tidak akan mengambil kebijakan apapun. Pihaknya pun menolak mediasi. "Karena saya mau pihak asuransi Generali ini mendapatkan hukuman minimal ditutup," ungkapnya. Baca juga: Hadir di Makassar, Qoala Plus Dekatkan Warga dengan Layanan Asuransi Digital

Menurutnya, tergugat sengaja ingin mencari alasan untuk lari dari tanggungjawab. Padahal, lanjut Pretty, pihaknya punya beberapa asuransi lain, tetapi ketika pengklaiman kondisi cacat suaminya lancar dan tidak ada pemotongan sedikit pun. Ia pun berharap majelis hakim nanti memberikan keputusan yang adil dalam perkara ini.

"Sisa yang belum dibayar senilai Rp500 juta lagi, tapi saya sudah tidak berharap lagi dengan uang sisa asuransi itu, saya hanya tidak mau ada korban lagi dari mereka. Minimal masyarakat/nasabah tahu jika perusahaan asuransi Generali ini suka lari dari tanggung jawab," ujarnya.

Kuasa hukum penggugat, Denny Roberto, menjelaskan, kronologi yang terjadi pada kliennya. Pada 12 Februari 2019, kliennya Anan, mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah beberapa diagnosa terjadi masalah di otak dan mengakibatkan lumpuh permanen pada saat itu.

Setelah kecelakaan terjadi suaminya kembali dibawa ke Rumah Sakit Royal Prima untuk ditangani. Saat itu beberapa orang dari pihak asuransi Generali Indonesia hadir, salah satunya Rosaline menyaksikan kliennya sedang dalam perawatan serta mengetahui kondisinya semakin memburuk dan kritis
sempat mengalami koma.

Beberapa hari setelah kecelakaan, istri kliennya Pretty mengajukan proses klaim. Hasilnya, klaim tersebut adalah penolakan pencairan dengan alasan klaim tersebut tidak memenuhi syarat dengan cacatan masa tunggu 90 hari dan tidak termasuk kondisi kritis dengan diagnosa dokter menyatakan masih bisa sembuh apabila menjalani operasi.

"Setelah penolakan atas klaim terjadi istri klien kami melaporkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meminta bantuan hukum. Pihak klien kami mengetahui adanya dugaan pemalsuan tandatangan dan diagnosa Dokter Sabri, M.ked, SpBs, oleh karyawan rumah sakit dengan dikirimkannya diagnosa tanpa sepengetahuan dokter yang menangani kliennya ke pihak asuransi yang didahului desakan oleh pihak asuransi dengan menghubunginya secara terus-menerus, hal dapat dibuktikan dengan adanya rekaman oleh istri klien kami," sebutnya.

Menurutnya, dalam perkara aquo, penggugat sebagai konsumen dari tergugat tentunya mempunyai hak untuk mendapat biaya pertanggungan sebagai mana mestinya. "Sebagaimana yang telah diuraikan di atas sampai saat ini tergugat tidak bersedia melakukan pembayaran klaim dan menanggung segala bentuk biaya sebelum proses klaim pertama dicairkan," ungkapnya.

Sementara itu, kuasa hukum tergugat, Benedick, ketika dikonfirmasi melalui Whatsapp mengatakan tidak diberikan kewenangan untuk menjawab. "Kalau untuk menjawab pertanyaan media, saya tidak diberikan kewenangan. Bisa hubungi langsung pihak generalinya (Pak Isa). Saya sarankan untuk hubungi beliau di hari dan jam kerja. terimakasih," tandasnya.
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2121 seconds (0.1#10.140)