Kisah Sunan Kuning Pimpin Pemberontakan VOC Terbesar di Nusantara
loading...
![Kisah Sunan Kuning Pimpin...](https://pict.sindonews.net/dyn/732/pena/news/2020/04/18/29/3729/sunan-kuning-pemimpin-pemberontakan-voc-terbesar-di-nusantara-bzb.jpeg)
Gerbang Makam Sunan Kuning di Semarang. FOTO/ayosemarang.com
A
A
A
Nama Sunan Kuning sangat akrab di telinga masyarakat Jawa Tengah (Jateng) khususnya Semarang. Jika menyebut nama ini, maka langsung terngiang dengan keberadaan kompleks lokalisasi yang berada di Semarang barat itu.
Ya, Sunan Kuning merupakan lokasi komplek lokalisasi terbesar di Kota Semarang, meski kini sudah ditutup. Namun dibalik itu semua, tahukah bahwa Sunan Kuning ini sebenarnya sosok penting di Kota Semarang. Bahkan Sunan Kuning disebut-sebut sebagai salah satu tokoh penyebar agama Islam di Semarang.
Dalam buku berjudul "9 Oktober 1740; Drama Sejarah, dalam Catatan Seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe", Sunan Kuning sebenarnya memiliki nama Raden Mas Garendi. Ada juga yang menyebut Sri Susuhunan Amangkurat V.
Dia adalah penguasa terakhir di Kasunanan Kartasura sebelum akhirnya direbut kembali oleh Pakubuwana II atas bantuan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie).
![Kisah Sunan Kuning Pimpin Pemberontakan VOC Terbesar di Nusantara]()
Saat peristiwa “Geger Pacinan”, Amangkurat V memimpin persekutuan Tionghoa – Jawa melawan VOC. Di sinilah nama Sunan Kuning muncul. Nama ini sebenarnya meruju pada kata “cun ling” atau bangsawan tertinggi. Namun karena lidah orang Tionghoa susah mengejanya, maka menjadi Soen An Ing.
Sunan Kuning bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawanan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara.
Para pemberontak Tionghoa – Jawa kemudian menobatkan Raden Mas Garendi sebagai Sunan Kartasura bergelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrohman Sayidin Panotagomo pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati. Ketika itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC ini baru berumur 16 tahun, sumber lain menyebut 12 tahun.
Dia pun dianggap sebagai “Rajanya orang Jawa dan Tionghoa”. Sunan Kuning kemudian dijadikan sebagai simbol perlawanan rakyat Kartasura yang dikhianati Pakubuwana II yang bersekutu dengan VOC.
Kisah sukses Sunan Kuning bertempur melawan tentara VOC berawal ketika balatentara Sunan Kuning memasuki Kartasura pada Juni 1742, setelah sebelumnya bertempur dari Salatiga hingga Boyolali. Kapitan Sepanjang atau Khe Panjang yang bertugas di garis belakang sebagai pengawal Sunan Kuning, bertindak sebagai komandan tentara pendudukan.
![Kisah Sunan Kuning Pimpin Pemberontakan VOC Terbesar di Nusantara]()
Merasa terdesak, Pakubuwana II kemudian melarikan diri dari Kartasura dan dievakuasi Kapten Van Hohendorf (VOC) ke arah timur Kartasura menyeberangi Bengawan Solo ke Magetan. Peristiwa itu oleh orang Jawa ditandai dengan Candrosengkolo atau penanda waktu yang berbunyi “Pandito Enem Angoyog Jagad” artinya raja yang telah kehilangan keratonnya.
Sunan Kuning bertahta di Kasunanan Kartasura terhitung sejak 1 Juli 1742. Dia kemudian mengangkat komandan perlawanan seperti Mangunoneng sebagai patih dan Raden Suryokusumo atau Pangeran Prangwedana sebagai panglima perang.
Segera setelah itu, Sunan Kuning merencanakan menggempur pasukan VOC di Semarang. Sebanyak 1.200 prajurit gabungan Tionghoa-Jawa dipimpin Raden Mas Said atau Mangkunegara I dan Singseh atau Tan Sin Ko menuju Welahan, Jepara.
Di Welahan, mereka bertempur melawan pasukan VOC dipimpin Kapten Gerrit Mom. VOC yang menyerang dari berbagai sudut berhasil memukul mundur pasukan gabungan Tionghoa-Jawa ini. Setelahnya, berbagai kekalahan dialami pasukan gabungan Tionghoa-Jawa. Beberapa pimpinan terbunuh seperti Tan We Kie di Pulau Mandalika, lepas pantai Jepara, dan Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi mati di sana.
Pada November 1742, keadaan semakin tidak berpihak kepada Sunan Kuning. Kartasura diserang dari tiga penjuru, Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo, Pakubuwana II dari Ngawi, pasukan VOC dari Ungaran dan Salatiga. Sunan Kuning pun terpaksa meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke arah selatan bersama pasukan Tionghoa.
Walaupun Kartasura telah jatuh, perlawanan terus berlangsung di berbagai tempat di wilayah Jawa.
Akhir dari perjalanan Sunan Kuning terjadi pada September 1743, saat tedesak di sekitar Surabaya bagian selatan.
Terpisah dari kawalan Kapitan Sepanjang (pengawal Sunan Kuning), Sunan Kuning menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk, disusul banyak pemberontak lain. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, hingga akhirnya diasingkan ke Sri Lanka.
Sumber riwayat Semarang menyebutkan, makam atau petilasan Sunan Kuning berada di bagian barat Kota Semarang, di atas bukit Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Semarang. Sekitar makam Sunan Kuning itu, sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an dijadikan lokalisasi pelacuran.
Nama lokalisasi Sunan Kuning pun lebih populer dibanding nama resmi kawasan Resosialisasi Argorejo dan ini terus dikecam banyak kalangan yang mengira sebutan sunan niscaya berhubungan dengan Walisongo dan penguasa Kasunanan.
Makam Sunan Kuning ada di Jalan Taman Sri Kuncoro, RW 2 RT 3, Kali Banteng, Semarang Barat. Jaraknya sekitar 100 meter saja dari pusat lokalisasi. Terlihat makam tersebut berada di atas pemakaman umum di bukit Pekayangan atau sering disebut Tepis Wiring. “Karena tempatnya yang berbukit sekaligus miring, jadi sebutannya Tepis Wiring," ujar Tri, salah satu penjaga makam Sunan Kuning.
Tri menerangkan, jika nama Sunan Kuning adalah Soen An Ing dan nama tersebut tertulis jelas di Gapura masuk pemakaman yang sedikit bernuansa Tionghoa dengan gaya khas dari bentuk gapura dan warna merah. "Di sini ada 3 bangunan di tengah pemakaman umum yang dipisahkan gapura. 3 bangunan bergaya Tiongkok itu terdiri dari cungkup makam Sunan Kuning, cungkup makam 3 pengikutnya, dan musala. Di dalam cungkup makam Sunan Kuning sendiri terdapat 3 makam. Yakni makam Mbah Sunan Kuning, lalu ada makam Mbah Sunan Kali sama Mbah Sunan Ambarawa,” imbuhnya.
Menurut sejarah yang diketahuinya, makam Sunan Kuning ini ditemukan sekitar tahun 1700-an. Hal ini dikuatkan dengan prasasti dan tulisan di batu nisan perihal nama maupun jatidiri yang ada di makam tersebut.
"Tak hanya sebagai pendakwah agama Islam, Beliau juga dikenal sosok yang pandai ilmu pengobatan, bahkan keahliannya itu terkenal hingga mancanegara," katanya. Tri pun sempat menyayangkan jika dahulu sebutan nama Sunan Kuning malah lebih terkenal sebagai tempat wilayah yang dikenal karena lokalisasinya ketimbang tempat di mana dahulu pernah ada seorang pembawa agama Islam di wilayah tersebut. "Tapi harapannya setelah Lokalissi Argorejo ditutup. Sunan Kuning tidak dikaitkan lagi dengan tempat perempuan menjual kehangatan," tandasnya. (diolah dari berbagai sumber)
Ya, Sunan Kuning merupakan lokasi komplek lokalisasi terbesar di Kota Semarang, meski kini sudah ditutup. Namun dibalik itu semua, tahukah bahwa Sunan Kuning ini sebenarnya sosok penting di Kota Semarang. Bahkan Sunan Kuning disebut-sebut sebagai salah satu tokoh penyebar agama Islam di Semarang.
Dalam buku berjudul "9 Oktober 1740; Drama Sejarah, dalam Catatan Seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe", Sunan Kuning sebenarnya memiliki nama Raden Mas Garendi. Ada juga yang menyebut Sri Susuhunan Amangkurat V.
Dia adalah penguasa terakhir di Kasunanan Kartasura sebelum akhirnya direbut kembali oleh Pakubuwana II atas bantuan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie).
![Kisah Sunan Kuning Pimpin Pemberontakan VOC Terbesar di Nusantara](https://pict.sindonews.net/dyn/600/pena/sindo-article/original/2020/04/18/peta%20semarang.jpg)
Saat peristiwa “Geger Pacinan”, Amangkurat V memimpin persekutuan Tionghoa – Jawa melawan VOC. Di sinilah nama Sunan Kuning muncul. Nama ini sebenarnya meruju pada kata “cun ling” atau bangsawan tertinggi. Namun karena lidah orang Tionghoa susah mengejanya, maka menjadi Soen An Ing.
Sunan Kuning bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawanan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara.
Para pemberontak Tionghoa – Jawa kemudian menobatkan Raden Mas Garendi sebagai Sunan Kartasura bergelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrohman Sayidin Panotagomo pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati. Ketika itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC ini baru berumur 16 tahun, sumber lain menyebut 12 tahun.
Dia pun dianggap sebagai “Rajanya orang Jawa dan Tionghoa”. Sunan Kuning kemudian dijadikan sebagai simbol perlawanan rakyat Kartasura yang dikhianati Pakubuwana II yang bersekutu dengan VOC.
Kisah sukses Sunan Kuning bertempur melawan tentara VOC berawal ketika balatentara Sunan Kuning memasuki Kartasura pada Juni 1742, setelah sebelumnya bertempur dari Salatiga hingga Boyolali. Kapitan Sepanjang atau Khe Panjang yang bertugas di garis belakang sebagai pengawal Sunan Kuning, bertindak sebagai komandan tentara pendudukan.
![Kisah Sunan Kuning Pimpin Pemberontakan VOC Terbesar di Nusantara](https://pict.sindonews.net/dyn/600/pena/sindo-article/original/2020/04/18/geger%20pecinan.jpg)
Merasa terdesak, Pakubuwana II kemudian melarikan diri dari Kartasura dan dievakuasi Kapten Van Hohendorf (VOC) ke arah timur Kartasura menyeberangi Bengawan Solo ke Magetan. Peristiwa itu oleh orang Jawa ditandai dengan Candrosengkolo atau penanda waktu yang berbunyi “Pandito Enem Angoyog Jagad” artinya raja yang telah kehilangan keratonnya.
Sunan Kuning bertahta di Kasunanan Kartasura terhitung sejak 1 Juli 1742. Dia kemudian mengangkat komandan perlawanan seperti Mangunoneng sebagai patih dan Raden Suryokusumo atau Pangeran Prangwedana sebagai panglima perang.
Segera setelah itu, Sunan Kuning merencanakan menggempur pasukan VOC di Semarang. Sebanyak 1.200 prajurit gabungan Tionghoa-Jawa dipimpin Raden Mas Said atau Mangkunegara I dan Singseh atau Tan Sin Ko menuju Welahan, Jepara.
Di Welahan, mereka bertempur melawan pasukan VOC dipimpin Kapten Gerrit Mom. VOC yang menyerang dari berbagai sudut berhasil memukul mundur pasukan gabungan Tionghoa-Jawa ini. Setelahnya, berbagai kekalahan dialami pasukan gabungan Tionghoa-Jawa. Beberapa pimpinan terbunuh seperti Tan We Kie di Pulau Mandalika, lepas pantai Jepara, dan Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi mati di sana.
Pada November 1742, keadaan semakin tidak berpihak kepada Sunan Kuning. Kartasura diserang dari tiga penjuru, Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo, Pakubuwana II dari Ngawi, pasukan VOC dari Ungaran dan Salatiga. Sunan Kuning pun terpaksa meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke arah selatan bersama pasukan Tionghoa.
Walaupun Kartasura telah jatuh, perlawanan terus berlangsung di berbagai tempat di wilayah Jawa.
Akhir dari perjalanan Sunan Kuning terjadi pada September 1743, saat tedesak di sekitar Surabaya bagian selatan.
Terpisah dari kawalan Kapitan Sepanjang (pengawal Sunan Kuning), Sunan Kuning menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk, disusul banyak pemberontak lain. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, hingga akhirnya diasingkan ke Sri Lanka.
Sumber riwayat Semarang menyebutkan, makam atau petilasan Sunan Kuning berada di bagian barat Kota Semarang, di atas bukit Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Semarang. Sekitar makam Sunan Kuning itu, sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an dijadikan lokalisasi pelacuran.
Nama lokalisasi Sunan Kuning pun lebih populer dibanding nama resmi kawasan Resosialisasi Argorejo dan ini terus dikecam banyak kalangan yang mengira sebutan sunan niscaya berhubungan dengan Walisongo dan penguasa Kasunanan.
Makam Sunan Kuning ada di Jalan Taman Sri Kuncoro, RW 2 RT 3, Kali Banteng, Semarang Barat. Jaraknya sekitar 100 meter saja dari pusat lokalisasi. Terlihat makam tersebut berada di atas pemakaman umum di bukit Pekayangan atau sering disebut Tepis Wiring. “Karena tempatnya yang berbukit sekaligus miring, jadi sebutannya Tepis Wiring," ujar Tri, salah satu penjaga makam Sunan Kuning.
![Kisah Sunan Kuning Pimpin Pemberontakan VOC Terbesar di Nusantara](https://pict.sindonews.net/dyn/600/pena/sindo-article/original/2020/04/18/gegere.jpg)
Tri menerangkan, jika nama Sunan Kuning adalah Soen An Ing dan nama tersebut tertulis jelas di Gapura masuk pemakaman yang sedikit bernuansa Tionghoa dengan gaya khas dari bentuk gapura dan warna merah. "Di sini ada 3 bangunan di tengah pemakaman umum yang dipisahkan gapura. 3 bangunan bergaya Tiongkok itu terdiri dari cungkup makam Sunan Kuning, cungkup makam 3 pengikutnya, dan musala. Di dalam cungkup makam Sunan Kuning sendiri terdapat 3 makam. Yakni makam Mbah Sunan Kuning, lalu ada makam Mbah Sunan Kali sama Mbah Sunan Ambarawa,” imbuhnya.
Menurut sejarah yang diketahuinya, makam Sunan Kuning ini ditemukan sekitar tahun 1700-an. Hal ini dikuatkan dengan prasasti dan tulisan di batu nisan perihal nama maupun jatidiri yang ada di makam tersebut.
"Tak hanya sebagai pendakwah agama Islam, Beliau juga dikenal sosok yang pandai ilmu pengobatan, bahkan keahliannya itu terkenal hingga mancanegara," katanya. Tri pun sempat menyayangkan jika dahulu sebutan nama Sunan Kuning malah lebih terkenal sebagai tempat wilayah yang dikenal karena lokalisasinya ketimbang tempat di mana dahulu pernah ada seorang pembawa agama Islam di wilayah tersebut. "Tapi harapannya setelah Lokalissi Argorejo ditutup. Sunan Kuning tidak dikaitkan lagi dengan tempat perempuan menjual kehangatan," tandasnya. (diolah dari berbagai sumber)
(nbs)