Mengunjungi Kampung Jamu Wonolopo Semarang, Teduh Berhias Tanaman Empok-empon

Senin, 08 Maret 2021 - 05:12 WIB
loading...
Mengunjungi Kampung Jamu Wonolopo Semarang, Teduh Berhias Tanaman Empok-empon
Seorang penjual jamu di Kampung Wonolopo Semarang saat melayani pembeli jamu.Foto/Taufik Budi
A A A
SEMARANG - Berkunjung ke Kampung Jamu Wonolopo Mijen , Kota Semarang, Jawa Tengah akan disambut dengan teduhnya suasana perkampungan. Selain bersih, pemandangan juga asri karena banyak tanaman yang berada di sekitar rumah-rumah warga.

Bukan hanya pohon buah-buahan konsumsi, tapi berderet-deret juga tanaman empon-empon. Tanaman rempah yang diyakini memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Bahkan menurut catatan sejarah, rempah-rempah lah yang menjadi daya tarik penjajah masuk ke Tanah Air.

Baca juga: Pasar Rembang Direlokasi, Lokasi Lama Dijadikan Ruang Terbuka

Kampung ini semakin tenar pada masa awal pandemi COVID-19. Banyak orang yang berburu minuman jamu. Selain hangat dan segar, jamu racikan warga di Wonolopo juga bisa meningkatkan imunitas tubuh. Warga menjulukinya dengan jamu anticorona.

“Iya, alhamdulillah kalau jamu tetep eksis,” kata Tarti, penjual jamu gendong yang puluhan tahun melakoni profesinya.

Beragam jenis jamu olahannya telah banyak dinikmati warga Kota Semarang. Kunyit asem yang dipercaya untuk melangsingkan tubuh, kerap diburu ibu-ibu muda. Biasanya racikan minuman itu, juga disertai jamu beras kencur yang berkhasiat bikin langsing dengan pinggang ramping. “Tapi saya udah pensiun (karena usia), dan ganti adik yang berjualan jamu,” singkatnya.

Sekretaris Paguyuban Jamu Gendong Wonolopo Supriyanto, mengatakan, terdapat sekira 40 orang yang menjalani profesi sebagai peracik jamu. Seiring waktu, jumlahnya menyusut hingga kini hanya sekira 25 orang yang masih setia menjadi penjual jamu.

“Selama pandemi proses produksi lancar, karena kebutuhan lumayan meningkat terutama pada awal-awal pandemi,” kata Supriyanto.

Bapak tiga anak itu menyampaikan, penghasilannya melonjak drastis pada awal pandemi. Semua minuman jahe yang mengandung temulawak, jahe, dan kunyit banyak dicari pembeli. Stok minuman jahe yang dibawa beredar ditambah untuk memenuhi pesanan.

Baca juga: Kembali Terpilih Menjadi Ketua PKB Semarang, Mahsun Pasang Target Pemilu 2024

“Kalau dulu peningkatan yaitu sekira awal Maret itu, saya saja meningkat hampir 50%. Belum lagi penjua jamu yang lain. Dulu itu biasanya hanya dapat Rp400 ribu, tapi ketika pandemi melonjak menjadi Rp700 ribu,” ungkapnya.

“Untuk jamu yang dibawa macam-macam, misalnya beras kencur dulunya hanya 1 jeriken harus ditambah menjadi 2,5 jeriken. Permintaan paling banyak jenis temulawak, kunir, dan jahe. Itu sudah siap dalam bentuk minuman, siap konsumsi,” tandasnya.

Lambat laun badai pandemi juga berdampak bagi perajin jamu. Jumlah pembeli berkurang. Banyaknya buruh yang kehilangan pekerjaan dan sulitnya mencari penghasilan, membuat jamu bukan lagi bahan pokok untuk dipenuhi.

“Sekarang ini agak turun karena dampak ekonomi. Banyak yang di-PHK. Sekarang ini banyak yang pengangguran, jadi daya beli juga berkurang, tapi enggak sampai turun drastis. Masih standar penghasilan masih standar,” ujarnya.

Menurutnya, lesunya ekonomi hampir merata di seluruh daerah. Penjual jamu yang tiap hari berkeliling sesuai “wilayah kerja” tak lagi mendapatkan penghasilan menakjubkan sebagaimana setahun lalu. Dari pasar tradisional hingga perumahan elite, semua sama tak ada lonjakan permintaan.

“Kita kan muter dari masing-masing (penjual jamu) sudah punya lokasi. Ada yang di Kedungpane, Ngaliyan, Pasar BK Ngemplak semongan, Pasar Ngaliyan, Kalipancur, Boja, Mangkang, dan sebagainya,” beber dia.

Dia mengatakan, kini membatasi jumlah pengunjung di Kampung Jamu. Anjuran pemerintah untuk mengurangi kerumunan dan mobilitas massa sangat dipatuhi. Mereka berkomitmen menjaga protokol kesehatan di kampung agar tak terjadi klaster Covid-19.

“Untuk sementara kita tidak menerima kunjungan. Hanya pada masa awal pandemi kita menerima kunjungan dari ibu-ibu PKK dari Kabupaten Semarang. Awalnya itu direncanakan jumlahnya 50 orang tapi kita batasi hanya 25 orang yang diizinkan,” terangnya.

Pengunjung diajak melihat dari dekat tanaman rempah yang biasa diracik sebagai jamu. Cara pengolahan hingga siap diminum juga akan ditunjukkan sehingga bisa memberikan edukasi kepada pengunjung.

“Ya bisa melihat semua tahapan dari nol sampai sispa konsumsi. Ini kan jamu segar jadi memang dari bahan-bahan yang basar, bukan dikeringkan seperti dari prabrik-pabrik itu. Rasanya lebih seger kalau pakai bahan yang masih basah,” ungkapnya.

“Kita kan rutin ada pembinaan dari BPOM dan dinas terkait yang memberikan edukasi kepada kita. Mana saja tanaman yang bisa digunakan sebagai jamu. Sehingga jamu yang kita produksi memang benar sesuai aturan kesehatan,” pungkasnya.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 2.6105 seconds (0.1#10.140)