Industri Tembakau Berpotensi Tumbuh Subur di Jatim, Setahun Hasilkan Cukai Rp104,5 T
loading...
A
A
A
SURABAYA - Jawa Timur (Jatim) merupakan salah satu provinsi penghasil terbesar Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia. Di provinsi ini, industri pengolahan tembakau menghasilkan cukai sebesar Rp104,56 triliun, atau setara 63,42% dari total penerimaan cukai hasil tembakau secara nasional yang mencapai Rp164,87 triliun.
Menurut catatan Dirjen Bea Cukai, di Jatim terdapat 425 perusahaan pengolahan tembakau yang mempekerjakan lebih dari 80.000 tenaga kerja. Hal itu menunjukkan potensi Jatim sebagai provinsi pengembang sektor Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) terbuka lebar.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) disebutkan, KIHT merupakan kawasan tempat pemusatan kegiatan industri hasil tembakau yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana, serta fasilitas penunjang industri hasil tembakau yang disediakan, dikembangkan, dan dikelola oleh pengusaha kawasan industri hasil tembakau.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jatim, Drajat Irawan mengatakan, KIHT dibentuk untuk meningkatkan pelayanan, pembinaan industri, dan pengawasan terhadap produksi dan peredaran hasil tembakau . Dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian daerah.
"Dari jumlah perusahaan industri rokok dan temuan peredaran rokok ilegal oleh Bea Cukai, maka daerah yang potensial untuk pembentukan KIHT di Jawa Timur antara lain adalah Pamekasan, Pasuruan, dan Malang," kata Drajat, Sabtu (20/2/2021).
Untuk merealisasikan KIHT di Jatim , pekan lalu, Pemprov Jatim yang diwakili oleh Kadisperindag Jatim, Drajat Irawan, Kadisbun Jatim, Karyadi, serta Kabiro Perekonomian Jatim, Tiat S Suwardi melakukan studi banding ke KIHT Kudus.
Dari kunjungan tersebut, KIHT diperuntukkan khusus bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan beberapa kemudahan. Di antaranya adalah IKM tidak harus memiliki luas paling sedikit 200 meter persegi, serta penundaan pembayaran cukai selama 90 hari sejak pemesanan pita cukai dengan jaminan bank.
"Pembentukan KIHT, selain dapat menciptakan lapangan pekerjaan, juga dapat mempermudah pengawasan. KIHT diupayakan dapat mendorong pengusaha yang belum memiliki legalitas agar bergabung dan dapat menjalankan usaha yang sah ," imbuh Drajat.
Industri pengolahan tembakau , kata dia, menyumbang devisa melalui net ekspor yang surplus di Jatim selama tahun 2017-2019 kisaran nilai USD227,36 juta hingga USD243,89 juta. Pada tahun 2019, Jatim menghasilkan 132.648 ton tembakau dan menempati urutan pertama penghasil tembakau nasional. "Petani di Jatim mencapai 370.000 orang. Dimana perkebunan tembakau sekitar 99,71% diusahakan oleh petani rakyat, bukan korporasi," tandas Drajat.
Menurut catatan Dirjen Bea Cukai, di Jatim terdapat 425 perusahaan pengolahan tembakau yang mempekerjakan lebih dari 80.000 tenaga kerja. Hal itu menunjukkan potensi Jatim sebagai provinsi pengembang sektor Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) terbuka lebar.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) disebutkan, KIHT merupakan kawasan tempat pemusatan kegiatan industri hasil tembakau yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana, serta fasilitas penunjang industri hasil tembakau yang disediakan, dikembangkan, dan dikelola oleh pengusaha kawasan industri hasil tembakau.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jatim, Drajat Irawan mengatakan, KIHT dibentuk untuk meningkatkan pelayanan, pembinaan industri, dan pengawasan terhadap produksi dan peredaran hasil tembakau . Dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian daerah.
"Dari jumlah perusahaan industri rokok dan temuan peredaran rokok ilegal oleh Bea Cukai, maka daerah yang potensial untuk pembentukan KIHT di Jawa Timur antara lain adalah Pamekasan, Pasuruan, dan Malang," kata Drajat, Sabtu (20/2/2021).
Untuk merealisasikan KIHT di Jatim , pekan lalu, Pemprov Jatim yang diwakili oleh Kadisperindag Jatim, Drajat Irawan, Kadisbun Jatim, Karyadi, serta Kabiro Perekonomian Jatim, Tiat S Suwardi melakukan studi banding ke KIHT Kudus.
Dari kunjungan tersebut, KIHT diperuntukkan khusus bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan beberapa kemudahan. Di antaranya adalah IKM tidak harus memiliki luas paling sedikit 200 meter persegi, serta penundaan pembayaran cukai selama 90 hari sejak pemesanan pita cukai dengan jaminan bank.
"Pembentukan KIHT, selain dapat menciptakan lapangan pekerjaan, juga dapat mempermudah pengawasan. KIHT diupayakan dapat mendorong pengusaha yang belum memiliki legalitas agar bergabung dan dapat menjalankan usaha yang sah ," imbuh Drajat.
Industri pengolahan tembakau , kata dia, menyumbang devisa melalui net ekspor yang surplus di Jatim selama tahun 2017-2019 kisaran nilai USD227,36 juta hingga USD243,89 juta. Pada tahun 2019, Jatim menghasilkan 132.648 ton tembakau dan menempati urutan pertama penghasil tembakau nasional. "Petani di Jatim mencapai 370.000 orang. Dimana perkebunan tembakau sekitar 99,71% diusahakan oleh petani rakyat, bukan korporasi," tandas Drajat.
(eyt)